Beranda blog Halaman 543

Menakar Masa Depan Liverpool Jika Tanpa Sadio Mane

Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang dirasakan fans The Reds. Setelah gagal di final Liga Champions, kabarnya Liverpool akan kehilangan satu pemain pentingnya musim depan, yakni Sadio Mane.

Itu berarti berakhir sudah era trio Firmansyah (Firmino-Mane-Salah) yang selama ini didengung-dengungkan fans The Reds. Lantas, apakah Liverpool harus menyesali kepergian Mane? Liverpool mau tidak mau harus move on dengan kepergian bintangnya, Klopp pasti punya sesuatu di balik keluarnya Sadio Mane musim depan.

Mane Dan Prestasinya Di Anfield

Mane datang dari Southampton tahun 2016 dengan bandrol 34 juta pounds (625 miliar). Kedatangannya ke Anfield awalnya terdengar bukan suatu transfer yang “wah”. Namun dengan biaya segitu, ia diam-diam telah mencatatkan rekor sebagai pemain Afrika termahal ketika itu. Wajar saja kalau ia dihargai segitu. Karena ia di Soton sudah bisa mencatatkan 25 gol dan 14 assist dalam 75 laga

Berkat sentuhan Klopp ia tumbuh menjadi pemain besar dan konsisten hingga kini. Ia telah mencetak 120 gol dan 48 assist selama karirnya berseragam Liverpool. Gol ke 120-nya itu ia lesakan ke gawang Wolves di partai terakhir Liga Inggris pada Mei 2022.

Mane di Liverpool telah mendapatkan segalanya. Gelar Liga Inggris, Liga Champions, Piala FA, Piala Liga, serta Piala Dunia Antarklub sudah ia raih bersama The Reds. Ia bersama Liverpool sudah sekitar 6 tahun.

Gelar atas nama pribadi pun sudah ia raih bersama Liverpool. Seperti Golden Boot di musim 2018/19 dengan 22 gol. Kemudian ia beberapa kali menjadi Players Of The Month Liga Inggris, juga gelar Liverpool Players Of The Season. Lantas apa lagi yang belum diraih Mane? Juara bersama negaranya pun sudah di AFCON lalu bersama Senegal.

Lantas apa lagi, mungkin tantangan baru di klub lain atau gaji yang lebih di klub lain atau mungkin juga Ballon D’or? Mengingat dirinya sudah tak muda lagi sekarang.

Situasi Kontrak Di Anfield

Mane di Liverpool telah memperbaharui kontraknya di tahun 2018 dengan durasi 5 tahun dan akan habis pada tahun 2023 mendatang. Ya, ia akan habis tahun depan dan jika Liverpool tak memperpanjangnya ia akan berstatus free transfer. Tentu pihak Liverpool sangat menghindari itu.

Pasca final Liga Champions, belum ada kabar Liverpool ada gelagat untuk menambah masa pengabdian Mane di Anfield. Ya begitulah FSG (Fenway Sports Group) di bawah Henry pemilik Liverpool asal Amerika yang pelitnya minta ampun. Pemain penting seperti Mane yang mau minta gajinya dinaikkan saja malah enggan. Padahal secara prestasi sudah mereka hadirkan bagi klub.

Dikabarkan Mane meminta gajinya naik menjadi 300 ribu pounds per minggu atau sekitar 5,5 miliar rupiah. Kini, The Reds berada dalam posisi sulit. Ketika mereka juga harus menangani perpanjangan kontrak Mohamed Salah, yang kontraknya sendiri juga akan berakhir tahun depan dan juga minta kenaikan gaji 400 ribu pounds per minggu atau sekitar 7,3 miliar rupiah.

Apakah ada kemungkinan keduanya akan diperpanjang Liverpool musim depan? Kemungkinannya bahwa klub dipaksa untuk memilih salah satu dari Mane atau Salah yang diperpanjang. Hasil transfer Luis Diaz Januari lalu, sebenarnya telah membuktikan bahwa Anfield sudah siap ancang-ancang akan kehilangan salah satu dari Mane atau Salah.

Klopp sendiri berkomentar mengenai kemungkinan perginya Mane musim depan. Ia berdalih transfer itu akan diperbincangkan lebih lanjut setelah hasil final Liga Champions. Begitupun pernyataan sikap Mane. Ia juga mengatakan kepada beberapa media bahwa masa depannya akan ia putuskan setelah hasil final Liga Champions

Namun hasilnya, setelah final Liga Champions, Diario AS melaporkan bahwa Mane sudah mengucapkan selamat tinggal kepada rekan satu timnya dan memutuskan untuk pergi pada sela-sela parade perayaan gelar juara Liverpool. Beberapa jam kemudian, Fabrizio Romano juga mengkonfirmasi hal yang sama. Artinya kemungkinan Liverpool untuk merelakan Mane musim depan hampir 100%.

Kemana sebenarnya Sadio Mane akan berlabuh musim depan? Hal ini sebenarnya sudah diketahui dari 23 Mei 2022 setelah media Jerman, Bild melaporkan bahwa Mane menjadi target utama raksasa Bundesliga, Bayern Munchen. Hal itu semakin diperkuat oleh laporan media Prancis L’Equipe yang mengatakan bahwa Bayern semakin dekat dengan kepindahan Mane. L’Equipe melaporkan bahwa direktur olahraga Bayern Hasan Salihamidzic telah bertemu dengan perwakilan Mane.

End Of Era Trio Firmansyah

Artinya dengan kehilangan Mane musim depan maka berakhirlah sudah era trio penyerang Liverpool “Firmansyah” (Firmino-Mane-Salah). Trio itu sudah terbentuk sejak musim 2017/18.

Trio itu merupakan trio penyerang yang menakutkan di Eropa selain trio MSN (Messi-Suarez-Neymar) milik Barca maupun BBC (Benzema-Bale-Cristiano Ronaldo) milik Madrid. Trio Firmansyah telah menyumbangkan banyak prestasi bagi Liverpool di masa kejayaannya bersama Klopp hingga sekarang.

Mane dengan 120 golnya, Firmino dengan 98 golnya serta Salah dengan 156 golnya. Jika di total dari ketiga jumlah gol yang diraih trio tersebut yakni 374 gol sejak 2017/18 hingga sekarang.

Kehilangan Mane berarti Klopp harus punya rencana lain supaya torehan gol Liverpool maupun kekompakan lini depannya bisa terjamin musim depan. Otomatis dengan hilangnya Mane peta kekuatan harus diubah dan sekaligus Liverpool di atas kertas kehilangan satu kekuatannya musim depan.

Siapa Penggantinya?

Klopp tentu tau apa yang harus dilakukannya tanpa Mane. Dengan semakin nyetelnya Diaz dan Jota tentu Klopp tak terlalu dipusingkan dengan hengkangnya Mane. Diaz memang disiapkan sengaja untuk menjadi penerus Mane di posisi penyerang kiri Liverpool. Di posisi itu perannya juga sering diisi Jota.

Dengan tetap dipertahankannya Firmino dan Salah, otomatis posisi di penyerang tengah dan kanan Liverpool masih aman. Terlepas dengan hengkangnya legenda dewa penyelamat mereka Divock Origi di penyerang tengah. Kini, praktis hanya Firmino, atau Jota yang akan mengisi pos itu.

Dengan stok penyerangnya yang berkurang dua, mau tidak mau kedalaman Liverpool di lini penyerangan berkurang dan itu mempunyai efek buruk jika musibah cedera, absen, virus datang menimpa kubu The Reds. Sementara, di sisi pihak lawan macam City atau Chelsea terus memperdalam kedalaman skuadnya musim depan.

Dengan hal itu, mungkin Liverpool dengan mendapat dana segar penjualan Mane bisa dialihkan dengan mendatangkan 1 attacking lagi. Baik itu di sayap maupun tengah. Tapi dengan beberapa pasar pemain yang ada, serta harga yang masuk akal bagi Liverpool mungkin cuma Christopher Nkunku dari Leipzig. Itu pun masih bersaing dengan MU yang ngotot membelinya.

Ousmane Dembele dan Darwin Nunez yang kabarnya diincar, mungkin akan susah dengan keterbatasan harga dan gaji. Di mana Nunez dibandrol Benfica di kisaran 70-an juta pounds(1,2 triliun) Sedangkan Dembele meskipun gratis, gajinya yang akan menjadi masalah.

Liverpool memang akan kedatangkan wonderkid Fulham yang moncer musim lalu, Fabio Carvalho. Namun, Carvalho sejatinya lebih bertipe sebagai gelandang serang, bukan striker murni. Kalaupun diperlukan, Klopp mungkin saja bisa menyulapnya sebagai sayap penyerangan Liverpool di depan seperti peran Coutinho dulu.

Komposisi penyerangan dengan poros Diaz-Jota-Salah atau Diaz-Firmino-Salah mungkin tetap menjadi prioritas Klopp musim depan. Dengan backup pemain macam Carvalho, Minamino maupun Chamberlain. Dengan komposisi itu sebenarnya Liverpool tak usah terlalu khawatir.

Dengan sistem dan konsep yang sama tidak usah diragukan lagi Liverpool akan bermain seperti apa musim depan. Selama masih ada Klopp, fans Liverpool bisa tetap berharap lebih musim depan. Kecuali kalau Klopp yang hengkang, bisa hancur Liverpool.

https://youtu.be/PDpDFzO6y0k

Sumber Referensi : fourfourtwo, 90min, sportingnews, dailymail, si.com

Saint-Etienne: Dulu Berjaya, Kini Terdegradasi ke Kasta Kedua

0

Dari sepakbola Prancis, kita dihantam kabar yang tidak enak. Tentu bukan kebangkrutan PSG. Karena kalau itu beneran terjadi, ceritanya menjadi lain. Adalah Saint-Etienne, klub yang penuh sejarah dan tersukses Liga Prancis, nasibnya sama seperti Genoa, harus mengalami degradasi dari liga utama.

Saint-Etienne memastikan diri turun kasta setelah kalah dramatis atas Auxerre di babak play off. Les Verts takluk melalui adu penalti dengan skor 4-5. Terdegradasinya Saint-Etienne tentu menjadi catatan kelam. Apalagi mantan klub Aubameyang itu adalah klub tersukses, sebelum uang minyak mengalir ke PSG.  

Pernah Berjaya Pada Masanya

Saint-Etienne merupakan mantan klub papan atas. Era keemasannya pun sudah lapuk termakan usia. Memang betul, klub yang bermarkas di Stade Geoffrey-Guichard ini sempat mengalami masa keemasan di era 1960 hingga 1980-an. Kala itu, Jean Snella, Albert Batteux dan Robert Herbin, adalah nama-nama pelatih legendaris yang menjadi pionir dari kesuksesan Les Verts di Liga Prancis.

Ketiganya silih berganti membawa The Greens menjadi klub paling disegani di Prancis kala itu. Snella bisa dibilang jadi pembuka gerbang bagi kesuksesan masa lalu Saint-Etienne dengan meraih gelar juara ligue 1 untuk pertama kalinya pada musim 1956-1957. 

Sebelum PSG dan AS Monaco jadi klub kaya. Pesaing utama bagi The Greens kala itu adalah Stade de Reims. Ketika itu Stade de Reims adalah tim yang memberi sumbangsih pada Timnas Prancis. Beberapa pemainnya seperti Raymond Kopa dan Just Fontaine pernah memperkuat Les Blues

Setelah Snella memutuskan pergi di tahun 1967, giliran Albert Batteux yang melanjutkan kesuksesan Saint Etienne dengan memoles skuad muda peninggalan Snella menjadi generasi emas.

Dengan filosofi sepakbola yang mengandalkan pergerakan tanpa bola untuk menekan pemain lawan, Batteux membuat Saint Etienne banjir trofi. Praktis, Saint-Etienne asuhan Batteux langsung jadi penguasa sepakbola Prancis.

Pemain yang paling sensasional dalam era keemasan Saint Etienne adalah striker asal Mali, Salif Keita. Ia berhasil mencetak 125 gol dalam 149 pertandingan bersama klub, termasuk 71 gol yang luar biasa dalam dua musim terakhirnya berseragam Saint-Etienne.

Era Robert Herbin Jadi yang Terakhir

Pada musim 1972, Batteux angkat kaki dari Saint-Etienne dan Robert Herbin selaku pemain senior pun ditunjuk sebagai pelatih berikutnya. Hal ini memantapkan tradisi The Greens yang kerap menunjuk pelatih yang memang bekas pemainnya sendiri.

Penunjukan Herbin sebagai pelatih berikutnya terbilang tepat. Era kesuksesan Herbin sendiri terjadi ketika ia berhasil membawa Saint-Etienne double winner pada musim 1973-1974.

Herbin memiliki pendekatan yang berbeda dari pelatih-pelatih lain. Ia yang dibesarkan di Saint-Etienne tak melupakan akarnya. Herbin tak pernah membeda-bedakan pemain, ia juga selalu memangkas jarak antara pelatih dan pemain.

Hal tersebut membangun kepercayaan kepada anak asuhnya dan imbasnya adalah Herbin sukses membawa Saint-Etienne menjadi klub kedua Prancis yang masuk final European Cup 1974-1975. Sayang di final mereka harus mengakui keunggulan Bayern Munchen.

Pada musim 1977-1978, Saint Etienne gagal lolos ke Europa Champions yang mengakibatkan pemilik klub, Roger Rocher mengubah kebijakan transfer dengan mendatangkan beberapa pemain bintang seperti Patrick Battiston, Johnny Rep hingga Michel Platini.

Strategi tersebut membuahkan hasil. Pada  musim 1980-1981 Herbin kembali membawa Saint-Etienne juara sekaligus menjadi titel Ligue 1 terakhir bagi Les Verts. Saat itu Michel Platini menjadi top skorer klub sekaligus mencetak gol penting sebagai penentu juara Saint Etienne yang kesepuluh kalinya.

Awal Musim yang Buruk Bagi St-Etienne

Selepas itu? Kesuksesan hanyalah masa lalu bagi Saint-Etienne. Mereka justru menjadi tim yang problematik. Banyak utang dan lama kelamaan mengalami penurunan performa yang sangat drastis sehingga menghadapi paceklik di sepakbola Prancis.

Saint-Etienne menjelma tim gurem, medioker, papan tengah atau apa pun itu yang mencerminkan bahwa mereka bukan yang terbaik lagi. Target mereka bukan lagi menjuarai kompetisi, bahkan dalam beberapa tahun terakhir mereka hanya berusaha tak terdegradasi dan tetap bermain di kasta tertinggi.

Musim ini mungkin jadi yang terburuk bagi The Greens. Mereka menjalani pertandingan demi pertandingan dengan sangat buruk. Anak asuh Claudie Puel bahkan tak meraih satu kemenangan pun dalam 12 pertandingan di paruh pertama musim 2021-2022.

Bahkan dalam periode akhir Agustus hingga pertengahan September, Saint-Etienne mengalami lima kekalahan beruntun. Setelah kekalahan 3-0 dari Nice, gelandang Saint-Etienne, Wahbi Khazri mengatakan semua komponen tim harus bekerja lebih keras untuk keluar dari krisis. Namun apa daya, motivasinya tak menembus ke dalam hati para pemain.

Mungkin, jika tak meraih kemenangan-kemenangan tipis kala berjumpa Clermont Foot dan Troyes di bulan November, mungkin Saint Etienne akan mengakhiri tahun 2021 dengan tanpa kemenangan sekali pun. 

Setelah hanya memenangkan 2 laga dari 17 laga yang ia pimpin, Puel akhirnya dipecat oleh Saint-Etienne. Padahal, pelatih yang pernah menukangi Leicester ini sempat berjasa dalam menyelamatkan Saint-Etienne dari lembah degradasi pada dua musim sebelumnya.

Masalah Internal Memperkeruh Keadaan

Selepas kepergian Claudie Puel, Saint-Etienne mempekerjakan mantan pemain mereka, Loic Perrin sebagai Sporting Coordinator yang baru. Ia bekerja sama dengan Jean-François Soucasse dan Samuel Rustem untuk memperbaiki tata kelola keuangan klub. Namun, ternyata kedatangan mereka terlambat untuk memperbaiki finansial klub yang tak kunjung membaik setelah pandemi.

Finansial yang kacau membuat strategi transfer paruh musim pun ikut kacau. Mereka mempertaruhkan masa depan klub dengan menunjuk manajer gagal lainnya yaitu Pascal Dupraz yang baru dipecat dari SM Caen, tim kasta kedua Liga Prancis. Selain itu mereka juga mendatangkan bek Ezequiel Mangala, pemain yang sudah nganggur lantaran gagal di Manchester City.

Saint-Etienne memulai paruh kedua dari dasar klasemen. Awalnya mereka mengira semua berjalan sesuai rencana lantaran berhasil mengalahkan SCO Angers di awal tahun 2022. 

Namun, euforia kemenangan hanya bertahan seminggu. Setelah itu, Saint-Etienne hanya memenangkan 4 laga dari 18 pertandingan yang mereka mainkan. Mereka mengakhiri musim 2021-2022 dengan finis di urutan ke 18 dan mendapat kesempatan terakhir di laga playoff melawan Auxerre, calon tim promosi musim depan.

Terdegradasi dan Ancaman Sanksi

Hasil minor ini membuat pemain dan jajaran staf Saint-Etienne dikritik habis-habisan oleh fans. Suporter Saint-Etienne memang dikenal loyal pada klub kesayangan mereka. Namun, mereka juga dikenal anarkis dan kerap menimbulkan kerusuhan yang justru merugikan klub.

Kekesalan fans Saint-Etienne pun memuncak kala The Green melakoni laga hidup dan mati melawan Auxerre. Setelah imbang di kedua leg, laga pun dilanjut dengan babak adu penalti. Sialnya, Saint-Etienne kalah 4-5 dari Auxerre. Gagalnya sepakan Ryad Boudebouz membuat tuan rumah turun ke Ligue 2.

Fans yang sudah tersulut api kemarahan tumpah ruah ke lapangan. Situasi di Stadion Geoffroy-Guichard menjadi kacau dan tidak terkendali. Pemain beserta official Saint-Etienne pun dihujani kembang api dan suar yang masih menyala. 

Polisi anti huru-hara kemudian dikerahkan untuk membubarkan kerumunan fans yang mengamuk. Bahkan pemadam kebakaran juga dikerahkan setelah beberapa oknum fans berusaha membakar kursi stadion. 

Kerusuhan ini justru menambah penderitaan Saint-Etienne. Jika investigasi dari pihak federasi sepakbola Prancis menemukan bahwa Saint-Etienne bersalah, maka mereka terancam hukuman denda dan laga tanpa penonton musim depan. Comeback Stronger Les Verts!

https://youtu.be/UqGvQ0OFXPs

Sumber: Gameofthepeople, LigaLaga, Lemonde, Libero, Eurosport

Berita Bola Terbaru 30 Mei 2022 – Starting Eleven News

Berita Bola Terbaru dan Terkini

MU SIAP BERSAING UNTUK RUBEN NEVES

Dilansir The Sun, Manchester United siap saingi Barcelona dalam perebutan pemain tengah milik Wolverhampton, Ruben Neves. Neves sejatinya sudah dirumorkan dengan United sejak kepelatihan Ole Gunnar Solskjaer, namun tak ada pergerakan serius dari manajemen United. Ketertarikan itu masih ada meskipun kini Ten Hag yang memimpin. Kabarnya, Wolves menginginkan 50 juta euro (780 miliar) untuk Neves, dan United akan mempertimbangkannya.

KENAPA GOL BENZEMA DI ANGGAP OFFSIDE?

Banyak yang mempertanyakan mengapa gol Benzema di babak pertama dianulir wasit lantaran offside. Keputusan tersebut menimbulkan kontroversi, karena Fabinho memang melakukan sentuhan terakhir. Oleh karena itu secara teori Benzema tidak bisa dianggap offside. Football Italia menjelaskan bahwa gol Benzema akan dianggap gol kalau sentuhan Fabinho itu “deliberate” atau disengaja. Sedangkan Fabinho menyentuh bola di tengah tackle, jadi ia tak sengaja menyentuh bola tersebut.

MASA DEPAN BELLERIN MASIH ABU-ABU

Kepulangan Hector Bellerin ke Arsenal terancam gagal, lantaran di skuad Arsenal kini sudah ada Takehiro Tomiyasu dan Cedric Soares. Tak ada tempat lagi untuk Bellerin. Ia lebih condong untuk bertahan di Real Betis. Ia merasa Betis lebih masuk akal untuknya, ia bisa mendapatkan menit bermain yang cukup disana. Terlebih, musim lalu, Real Betis menunjukan performa yang luar biasa di tangan Manuel Pellegrini.

ARSENAL INCAR BEK KIRI INTER MILAN

Dilansir dari The Sun, Arsenal diwartakan tertarik untuk mendatangkan Federico Dimarco dari Inter Milan di jendela transfer musim panas nanti. Kabarnya The Gunners tengah membutuhkan tambahan bek kiri yang memiliki insting menyerang. Dimarco nantinya juga akan di plot sebagai pengganti bagi Kieran Tierney yang harus menepi selama beberapa bulan lantaran dibekap cedera.

JUVE INCAR STRIKER ANYAR

Dilansir dari Football Italia, Juventus juga dalam upaya untuk mendatangkan Luis Muriel guna mengantisipasi kepergian Alvaro Morata. Si Nyonya Tua merasa jika Muriel adalah sosok yang tepat untuk menggantikan kepergian Morata. Diyakini, Atalanta akan melepas Muriel di angka 20 juta euro (Rp312 miliar). Sedangkan Juve akan menawar Muriel di angka 10 juta euro, atau kurang lebih setengah dari yang mereka minta.

ROMA SAINGI INTER UNTUK DAPATKAN DYBALA

Allenatore AS Roma, Jose Mourinho disebut tengah berusaha keras untuk bisa memboyong bintang Juventus, Paulo Dybala. The Special One diklaim sudah menunjukan ketertarikannya pada seorang Dybala bahkan sejak bursa transfer musim dingin lalu. Dilansir dari Football Italia, Bahkan Roma siap memberikan nomor punggung 10, warisan Francesco Totti apabila Dybala mau bergabung musim depan.

TEN HAG INGIN DATANGKAN 6 PEMAIN MUSIM DEPAN

Menurut jurnalis Mirror, Simon Mullock, Ten Hag ingin mendatangkan setidaknya enam pemain untuk membangun kembali skuad Manchester United. Namun, keinginannya itu tergantung dengan kemampuan klub untuk menjual pemain yang tak dibutuhkan guna menambah budget transfer. Kabarnya, Ten Hag memprioritaskan Darwin Nunez dan Julian Timber kepada manajemen United. Kira-kira siapa lagi ya football lovers?

PERSETERUAN SHIN TAE-YONG DAN PSSI

Setelah kemarin Shin Tae-yong mengeluhkan lapangan yang bakal digunakan Timnas Indonesia untuk melakukan TC ternyata belum disewa, PSSI membantah tuduhan tersebut. Dilansir Goal, Sekjen PSSI, Yunus Nusi mengungkapkan bahwa mereka telah menyewa lapangan Stadion Madya pada pukul 18:00 sampai 20:00 WIB, namun Coach Shin secara mendadak ingin mengajukan latihan menjadi pukul 17:00 WIB. Sedangkan jam tersebut lapangan masih dipakai, jadi PSSI mengklaim ini bukan salah mereka. 

SON HEUNG-MIN BAWA SEPATU EMAS PULANG KE KOREA

Bintang Tottenham Hotspur, Son Heung-min, disambut bak pahlawan saat tiba di negara asalnya, Korea Selatan. Sambil menenteng Sepatu Emas yang ia raih setelah berhasil memuncaki daftar pencetak gol Liga Inggris bersama Mohamed Salah. Bagi Son, trofi Golden Boot tersebut merupakan yang pertama dalam kariernya. Dia juga mencatat sejarah sebagai pemain Asia pertama yang meraih Golden Boot Liga Inggris.

MARCELO PUTUSKAN HENGKANG DARI MADRID

Marcelo memutuskan untuk meninggalkan Real Madrid usai menjuarai Liga Champions 2021/2022. Bek veteran sekaligus kapten Los Blancos itu mengungkapkan keputusannya usai mengangkat trofi ke-25 yang diraihnya bersama Real Madrid. Dia merupakan pemain yang paling banyak mendapat trofi dalam sejarah klub. Ia telah meraih 5 gelar Liga Champions, 4 Piala Dunia Antarklub, 3 Piala Super Eropa, 6 gelar La Liga, 2 trofi Copa del Rey, dan 5 Piala Super Spanyol.

NOTTINGHEM FOREST PROMOSI KE PREMIER LEAGUE

Klub yang pernah jaya pada masanya, Nottingham Forest resmi kembali Premier League atau kasta tertinggi Liga Inggris usai absen selama 23 tahun. Kepastian itu mereka dapatkan setelah mengalahkan Huddersfield Town 1-0 pada final playoff divisi Championship, Senin (30/5) dini hari WIB. Penentu kemenangan Nottingham terjadi berkat gol bunuh diri Levi Colwill yang gagal membuang bola tembakan James Garner.

RAIH 2 TROFI, LIVERPOOL GELAR PARADE

Liverpool berhasil mengamankan dua gelar juara pada musim 2021/22 ini. Gelar Piala Liga Inggris dan Piala FA menjadi trofi yang sukses digondol tim asuhan Jurgen Klopp. Skuad The Reds langsung mengadakan parade keliling kota pasca final Liga Champions, di mana mereka takluk dari Real Madrid. Arak-arakan tim Liverpool yang menggunakan bus terbuka disambut meriah oleh para Liverpudlian.

LIVERPOOL MINTA UEFA SELIDIKI KEKACAUAN DI STADE DE FRANCE

Liverpool meminta penyelidikan terhadap kekacauan yang terjadi saat sebelum laga final Liga Champions di pintu masuk Stade De France, Paris, Prancis, Sabtu (29/5). Liverpool menyebut perlakuan terhadap suporter mereka “tidak bisa diterima.” Dikabarkan kalau pendukung The Reds sampai mendapatkan perlakuan kasar dari petugas lantaran menyemprotkan merica terhadap penggemar berjuluk The Kop tersebut.

ROBERTSON KRITIK UEFA USAI KERICUHAN JELANG FINAL UCL

Andy Robertson mengkritik UEFA setelah muncul klaim adanya tiket palsu yang berbuntut kericuhan di luar stadion menjelang laga final Liga Champions. Robertson mengatakan seorang temannya ditolak memasuki pertandingan tersebut. Eks pemain Hull City itu bersimpati dengan Paris karena mengambil alih partai final dari St Petersburg yang batal menjadi tuan rumah. Namun, menurutnya hal-hal sepele seharusnya bisa diatur dengan jauh lebih baik.

RANGNICK HENGKANG DARI MANCHESTER UNITED

Ralf Rangnick seharusnya menjalani tugas barunya sebagai konsultan Manchester United setelah masa kepelatihannya berakhir, tapi justru sebelum menjalani tugas barunya, Rangnick malah sepakat untuk meninggalkan Old Trafford pada hari Minggu (29/5). Setan Merah mengeluarkan pernyataan bahwa Rangnick takkan menjalankan tugasnya sebagai konsultan klub. Hal ini berkaitan dengan keputusan Rangnick menerima pekerjaan sebagai pelatih kepala Timnas Austria.

SADIO MANE PUTUSKAN TINGGALKAN LIVERPOOL AKHIR MUSIM INI

Striker berpaspor Senegal, Sadio Mane dikabarkan siap angkat kaki dari Liverpool musim panas ini. Pihak klub dan Mane belum memberikan pernyataan resmi. Akan tetapi, pakar transfer, Fabrizio Romano telah bersabda kalau sang pemain bakal meninggalkan Anfield, dan menyebut Bayern Munchen sebagai kandidat terkuat klub barunya.

SAINT ETTIENE TERDEGRADASI, FANS LANGSUNG NGAMUK

Saint Etienne terdepak dari Ligue 1 setelah kalah dalam laga play off degradasi kontra Auxerre. Skor agregat adalah 2-2, namun Saint Etienne kalah 4-5 lewat adu penalti sehingga dipastikan terdegradasi ke Ligue 2 musim depan. Suporter Saint-Etienne pun marah dan tumpah ke lapangan. Situasi di Stadion Geoffrey Guichard menjadi amat kacau. Para suporter melampiaskan amarah kepada pemain mereka sendiri. Sejauh ini belum diketahui apakah ada pemain Saint-Etienne yang mengalami luka-luka pada insiden tersebut.

MO SALAH KEMBALI RAIH PENGHARGAAN LEWAT GOL INDAHNYA

Mega Bintang Liverpool, Mohamed Salah meraih penghargaan Gol Terbaik Liga Primer Musim 2021/22. Gol terbaik itu diciptakan Mo Salah saat The Reds menjamu Manchester City di Anfield pada laga pekan ke-7 yang berlangsung 3 Oktober 2021. Penghargaan tersebut ia raih tepat setelah The Reds gagal memenangkan gelar Liga Champions.

KLOPP KE FANS LIVERPOOL: PESAN HOTEL DI ISTANBUL SEKARANG

Jurgen Klopp meminta semua pemain Liverpool tak terpuruk dan langsung bangkit usai kekalahan di final Liga Champions. Sebab, Klopp menargetkan The Reds lolos lagi ke laga puncak Liga Champions musim depan. Dengan sesumbar, Klopp menyarankan para suporter The Reds mulai sekarang memesan hotel di Istanbul, tempat perhelatan final Liga Champions 2022/23 mendatang.

PELATIH MADRID ANCELOTTI CETAK REKOR BARU

Kemenangan Real Madrid atas Liverpool pada partai final Liga Champions menjadi harinya Carlo Ancelotti. Ia mencetak rekor dengan menjadi manajer pertama klub yang berhasil memenangkan empat trofi kompetisi kasta tertinggi di Eropa tersebut. Carlo Ancelotti melewati raihan Zinedine Zidane dan Bob Paisley yang punya tiga trofi.

KLOPP SAMAI REKOR BURUK MARCELLO LIPPI DI UCL

Kekalahan Liverpool dari Real Madrid membuat Jurgen Klopp menyamai rekor Marcello Lippi sebagai pelatih dengan kekalahan terbanyak di final Liga Champions. Keduanya menang hanya satu kali dan kalah tiga kali dalam empat final Liga Champions yang mereka jalani. Bagi Lippi, keempat final tersebut ia jalani ketika masih melatih Juventus. Sementara Klopp kalah di final saat membesut Dortmund pada 2013, serta dua kali gagal bersama Liverpool. 

HARI PERINGATAN TRAGEDI STADION HEYSEL

Juventus memberikan penghormatan kepada 39 orang yang tewas dalam tragedi di Stadion Heysel pada peringatan 37 tahun peristiwa tragis itu. Sebagai informasi, pada tanggal 29 Mei 1985, 39 pendukung Juventus tewas setelah runtuhnya tembok sebelum final Piala Champions di Brussel. Melalui akun twitternya, Juventus menuliskan “Heysel, 37 tahun yang lalu”.

KLUB MILIK BERLUSCONI, AC MONZA PROMOSI KE SERIE A

AC Monza melengkapi jatah tiga tim promosi ke Serie A musim depan. Pada laga final play-off promosi Serie B, klub milik eks presiden AC Milan, Silvio Berlusconi itu berhasil mengalahkan Pisa lewat sebuah pertandingan dramatis di leg kedua. Pada leg kedua itu, Monza menang 4-3 atas Pisa, sehingga klub berjuluk I Biancorossi meraih tiket terakhir ke Serie A berkat kemenangan agregat 6-4.

INI JANJI HAZARD UNTUK FANS MADRID MUSIM DEPAN

Hazard sepertinya kurang puas dengan kontribusinya untuk Real Madrid pada musim ini. Dia pun berjanji akan tampil lebih baik lagi pada musim depan. “Madridistas, saya sudah berada di sini selama tiga tahun dengan banyak cedera, dan banyak hal. Tapi tahun depan saya akan memberikan semuanya untuk Anda,” kata Hazard dilansir Football Espana.

HENRY DUKUNG BENZEMA RAIH GELAR BALLON D’OR

Karim Benzema didukung untuk bisa memenangkan Ballon d’Or tahun ini oleh Thierry Henry. Legenda Arsenal itu mengatakan perdebatan tentang siapa yang harus memenangkan penghargaan tersebut sudah usai setelah kemenangan Liga Champions ke-14 yang diraih Real Madrid. “Saya hanya ingin mengatakan sesuatu untuk France Football atau siapa pun yang memberikan suara. Tutup suara, Benzema memenangkannya. Sampai jumpa,” kata Henry setelah meliput final untuk CBS Sports.

Pemain yang Justru Bersinar Setelah Hengkang dari Real Madrid

0

Real Madrid adalah tempat impian para pemain sepakbola. Sebab di sanalah, para pemain top berkumpul. Zinedine Zidane, Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, sampai Karim Benzema. Rasa-rasanya, semua sepakat mengakui hal itu. Kecuali mungkin Kylian Mbappe, yang entah karena naif atau apa, tak jadi bergabung ke Real Madrid.

Padahal kalau  bergabung ke Los Merengues sudah jaminan juara. Kemarin saja, Real Madrid menambah koleksi Liga Champions. Membuat El Real makin menasbihkan diri sebagai satu-satunya raja di Eropa. Barangkali karena itu pula kehidupan di Real Madrid sangat keras.

Pemain yang masuk ke Real Madrid, atau sudah mengenyam pendidikan di Castilla, mesti bekerja keras. Tak berkualitas, jangan harap bermain di skuad utama. Maka, mereka yang tidak kuat, kerja keras mereka masih di bawah standar Los Galacticos akan tersisih.

Lebih parah lagi mereka akan dibuang dari Real Madrid. Namun, dengan hengkang dari Real Madrid, pemain berikut justru mendulang kesuksesan. Atau minimal bisa menunjukkan kualitasnya yang lebih baik. Nah, berikut ini pemain yang justru bersinar setelah hengkang dari Real Madrid.

Alvaro Negredo

Alvaro Negredo memang seperti tenggelam. Si pemain kini bermain untuk tim papan bawah Liga Spanyol, Cadiz. Namun, Alvaro Negredo adalah eks pemain Real Madrid.

Real Madrid Castilla membelinya dari Rayo Vallecano tahun 2005. Namun pada 2007, ia dijual ke Almeria. Negredo justru mengalami peningkatan kualitas. Setidaknya, jika di Castilla ia hanya mengemas 18 gol, bersama Almeria, Negredo membukukan 31 gol.

Performanya itu membuat Real Madrid kepincut untuk mendatangkannya lagi. Tentu tawaran yang datang adalah dari tim utama. Ironisnya, uang 5 juta euro (Rp78 miliar) kala itu hanya untuk membuat Negredo jadi penghias skuad. El Real tak memberinya kesempatan, barang semenit. Sampai ia akhirnya dijual ke Sevilla.

Dari situ, Negredo mulai menunjukkan kualitasnya. Ia meraih satu Copa del Rey ketika berseragam Sevilla. Negredo yang mencetak 85 gol bersama Sevilla, bikin Manchester City tertarik membelinya. Bersama City, Negredo bahkan pernah mencicipi juara Liga Inggris.

Juan Mata

Barangkali kamu akan terkejut mendengar nama Juan Mata masuk ke daftar. Tapi, ya memang Mata pernah bermain untuk Real Madrid. Bahkan gelandang energik dan elegan itu pernah menjadi ikon Real Madrid Castilla.

Ia bergabung ke tim muda Real Madrid pada tahun 2003. Waktu itu, akademi Real Madrid dengan bangga mengenalkan Juan Mata. Mereka senang sekali dengan kualitas sang maestro lini tengah tersebut. Akan tetapi, Juan Mata justru tak diberi kesempatan sedetik pun bermain di tim utama.

Mata justru dijual cuma-cuma ke Valencia. Bersama Valencia, Juan Mata justru makin bersinar. Ia bahkan pernah membawa pulang Copa Del Rey tahun 2008.

Setelah itu, Mata tidak melakukan tamasya ke banyak klub. Usai dari Valencia, ia bergabung ke Chelsea untuk mengambil trofi Liga Champions dan Piala FA. Ia makin mantap disebut salah satu gelandang terbaik Spanyol, setelah berhasil meraih treble kecil-kecilan bersama Manchester United.

Mateo Kovacic

Dari nama sebelumnya, hanya Mateo Kovacic yang memiliki pengaruh signifikan di Real Madrid. Setidaknya ia mendapat banyak trofi ketika memperkuat Los Merengues, termasuk treble Liga Champions. Tapi Kovacic segera disadarkan bahwa yang ia masuki adalah Real Madrid.

Real Madrid terus berbenah dengan mendatangkan pemain hebat. Posisi Kovacic pun terancam. Apalagi persaingan di lini tengah makin ketat, di mana Casemiro, Toni Kroos, dan Modric akan selalu jadi opsi utama.

Hal itu memaksanya hengkang. Catatan 100 lebih kaps bersama Real Madrid belum cukup untuk membuatnya bertahan. Ia harus meninggalkan Real Madrid dan bergabung ke Chelsea.

Berpindah tim tak membuat sentuhan Kovacic hilang. Chelsea justru menjadi destinasi yang tepat untuk seorang pemain tengah yang potensial. Kovacic akhirnya meraih juara Liga Champions lagi, plus ia kerap jadi andalan Chelsea dengan 184 kaps selama ini.

Achraf Hakimi

Banyak pengamat berpikir bahwa Real Madrid telah menemukan permata pada diri Achraf Hakimi. Ia menjadi salah satu bek sayap potensial yang bisa jadi andalan Real Madrid untuk 10 tahun ke depan. Namun, pengamatan itu tidak terlampau jitu.

Masalahnya, di Real Madrid, Hakimi hanya mendapat sejumput kesempatan bermain. Ia hanya memainkan 17 laga, walaupun turut mengangkat Si Kuping Besar. Hakimi kemudian pergi dari Real Madrid, dan bergabung ke Dortmund dengan status pinjaman.

Di Dortmund, Hakimi secepatnya jadi bek sayap paling berbahaya. Meski hanya dalam waktu dua musim, ia menciptakan 17 asis. Tapi kualitas itu belum cukup.

Madrid justru menjual Hakimi ke Inter seharga 43 juta euro (Rp672 miliar). La Beneamata dan Antonio Conte adalah kombinasi yang tepat untuk menyulap Hakimi jadi bek sayap paling berharga.

Buktinya, Hakimi membawa Inter meraih scudetto. Dan nilai pasarnya pun naik. Hakimi yang tadinya pemain murah, justru dibeli Paris Saint-Germain dengan harga yang sangat tinggi, yaitu 66 juta euro (Rp1 triliun).

Fabinho

Tentu kamu terkejut, apa pernah Fabinho bermain untuk Real Madrid? Ya, nggak salah sih kalau terkejut. Sebab Fabinho memang tak semenit pun tampil di tim utama Los Blancos.

Ia bermain untuk Real Madrid Castilla, itu pun datang dengan status pemain pinjaman. Meski begitu, Fabinho pada saat itu telah menjadi buah bibir di seluruh Eropa.

Hampir semua pengamat menyayangkan keputusan Real Madrid tidak mempermanenkan Fabinho. Padahal ia adalah salah satu gelandang yang memiliki masa depan yang cerah. Fabinho sebetulnya pernah bermain untuk tim utama Real Madrid.

Tapi itu hanya satu laga. Setelah itu ia dibuang Rio Ave ke Monaco dan pada akhirnya meraih kesuksesan bersama Liverpool. 170 kaps ia catat untuk The Reds. Fabinho juga turut mengangkat trofi Liga Inggris dan Liga Champions.

Theo Hernandez

Bek sayap andalan Pioli ini, sebelum di AC Milan adalah pemain Real Madrid. Namun, Los Galacticos membelinya hanya untuk menjadi penghangat bangku cadangan. Ia hanya sebentar di Real Madrid. Setelah 23 kaps, Theo memilih mengemasi kopernya dan angkat kaki dari Santiago Bernabeu.

Sebelumnya, oleh Real Madrid pada musim 2018-19 ia dipinjamkan ke Real Sociedad. Sampai ia bergabung ke AC Milan pada tahun 2019. Memperkuat Rossoneri justru membuat Theo lebih kuat.

Ia menjelma bek sayap paling tangguh di era modern milik AC Milan. Posisinya bahkan nyaris tak pernah tergantikan. Di Milan, setidaknya Theo Hernandez sudah bermain selama 10 ribu menit lebih. Theo juga menjadi pemain kunci Rossoneri meraih scudetto.

Sergio Reguilon

Sergio Reguilon tak menemukan dirinya berharga di Real Madrid. Karena seorang Marcelo jauh lebih bersinar. Reguilon baru menemukan nilainya sebagai seorang pemain setelah pergi dari Real Madrid. Keputusannya hengkang dari Los Blancos setelah mengemas 22 pertandingan, adalah keputusan penting.

Real Madrid pada tahun 2019 melepas Reguilon ke Sevilla dengan status pinjaman. Ia memulai pijakan baru di klub Spanyol lainnya. Klub seperti Sevilla tidak akan membuat kualitas Reguilon mubazir. Ia menjelma bek kiri paling berharga di tubuh Sevilla dengan catatan 38 laganya.

Reguilon membawa Sevilla juara Europa League tahun 2020. Dan tak bisa tidak, prestasi itu membuat harganya melonjak. Tottenham Hotspur yang ngebet juara Eropa setelah ratusan purnama, tergiur pada sosok Reguilon. Tapi sang bek tidak murah lagi, dan Spurs meski mengeluarkan biaya Rp521 miliar untuk Reguilon.

Marcos Alonso

Di antara pemain lain, perjalanan Marcos Alonso lah yang paling terjal. Ia memang dilahirkan dari rahim Real Madrid. Namun, Alonso hanya bermain satu kali di skuad utama. Potensinya masih belum kelihatan kala itu.

Real Madrid pun memutuskan menjualnya ke Bolton. Bolton, apa yang diharapkan Alonso, di sana? Ia pun masih belum menemukan sentuhan terbaiknya, sampai Fiorentina datang merekrut Alonso tanpa biaya. Dari sinilah potensi Alonso terlacak oleh Chelsea.

Ia yang oleh La Viola dipinjamkan ke Sunderland, kelihatan kualitasnya setelah 20 kali bermain untuk Sunderland. Chelsea akhirnya tertarik mengangkutnya pada tahun 2016. Dari sinilah semua potensinya keluar, dan meraih prestasi yang ia idam-idamkan, seperti Liga Champions dan Piala Super Eropa.

https://youtu.be/rcfsPha9dSQ

Sumber referensi: PlanetFootball, Sport, OhMyGoal, DiarioAS

Bukti Real Madrid Si Paling Jago Liga Champions

Berakhir sudah Liga Champions musim 2021-22. Real Madrid, meski kita bosan menyebutnya, kembali menjadi juara Liga Champions. Sejak 1998, Real Madrid memang tak pernah gagal di final.

Dijagokan atau tidak, klub yang satu ini memang sudah ditakdirkan menjadi kampiun. Jadi, tak usah bertaruh lebih dengan lawan Real Madrid di final Liga Champions. Sudah pasti jika mereka masuk final, mereka pasti jadi juara.

1998

Real Madrid adalah pemegang gelar 6 kali Liga Champions, di mana gelar yang terakhir diraihnya pada tahun 1966. Sudah 32 tahun mereka tanpa gelar Liga Champions lagi. Sebelumnya mereka dihantui kegagalan, ketika terakhir kali ditekuk Liverpool di final 1981. Los Merengues frustasi dalam pencarian mereka untuk gelar ketujuhnya yang dikenal dengan “La Septima”.

Namun, malah terwujud pada musim 1997/98. Lolos sebagai juara grup di atas Rosenborg, Olympiakos dan Porto, langkah Madrid di bawah Jupp Heynckes berhasil mulus mencapai final setelah di perempat final menyingkirkan Bayern Leverkusen dan di semifinal menyingkirkan juara bertahan, Borussia Dortmund.

Di final, El Real dihantui kegagalan lagi setelah bertemu lawan kuat, Juventus. Juventus yang notabene terakhir kali juara di musim 1995/96 dan jadi runner up musim 1996/97. Juventus adalah calon kuat juara musim itu.

Tapi, Madrid menunjukan tajinya kali ini. Diperkuat pemain macam Roberto Carlos, Raul, Morientes, sampai Seedorf, Madrid tampil penuh perlawanan. Juventus yang dilatih Marcello Lippi dengan trio Zidane, Del piero dan Inzaghi-nya tak mampu menembus pertahanan Hierro cs.

Gol satu-satunya lahir di menit 66 yang dicetak Predrag Mijatovic. Hasil 1-0 ini membuat gelar “La Septima” bagi Madrid terwujud. Dari gelar ini Madrid mulai menancapkan pondasinya sebagai penguasa Eropa kembali.

2000

Tak perlu penantian panjang lagi Madrid masuk final Liga Champions. Di musim 1999/00 Madrid kembali mentas di partai puncak. Kali ini mereka ditantang rekan senegaranya, Valencia yang mengandaskan Barca di semifinal. Ini adalah final pertama yang mempertemukan dua klub senegara di Liga Champions.

Madrid di bawah pelatih pengganti Vicente Del Bosque, melaju mulus dengan menundukan juara bertahan MU di perempat final dan runner up musim lalu Bayern Munchen di semifinal.

Skuad Madrid masih berisikan sebagian besar pemain bekas juara 1998, ditambah kedatangan pemain baru macam McManaman, Anelka, Salgado maupun Helguera. Sementara, Valencia di bawah Hector Cuper yang menjadi underdog musim itu berisikan pemain macam Kily Gonzalez, Mendieta sampai Claudio Lopez.

Final yang berlangsung di Paris itu akhirnya menjadi milik El Real dengan kemenangan telak 3-0 lewat gol Morientes, McManaman, dan Raul. Ini adalah Gelar kedelapan bagi Madrid di Liga Champions.

2002

Tak usah berlama-lama lagi, Madrid kembali mentas di final musim 2001/02. Pasukan Del Bosque kembali dihadapkan pada gelar juaranya yang ke-9. Bermodalkan skuad yang masih sama di 2000 ditambah Zidane dan Figo, Madrid menjadi sangat diunggulkan ketika lawannya yakni Bayern Leverkusen merupakan underdog di musim itu.

Menyingkirkan Munchen di perempat final dan Barcelona di semifinal, Madrid tak usah diragukan lagi kapasitasnya untuk meraih gelar di final yang dihelat di Glasgow, Skotlandia. Hal itu tercermin dari raihan mereka ketika di final 1998 dan 2000 kemarin.

Benar saja, gol Raul dan sepakan indah Zinedine Zidane membawa gelar ke-9 bagi El Real. Kemenangan 2-1 atas Leverkusen itu sekaligus penasbihan bagi Madrid sebagai penguasa Eropa selama 5 tahun terakhir sejak 1998. Di mana mereka selalu meraih gelar ketika sudah mencapai final di tiga musimnya.

2014

Penantian panjang lagi terjadi di kubu Madrid. Mirip kejadian Madrid mencari gelar La Septima-nya sejak 1966. Kini, 12 tahun waktu yang dibutuhkan Madrid untuk kembali menjadi raja Eropa.

Madrid selama 12 tahun tidak lagi sampai ke partai puncak dalam rangka pencarian gelar “La Decima”. Sampai akhirnya El Real dibawa Carlo Ancelotti kembali tampil di final musim 2013/14. Harapan La Decima pun di depan mata.

Menyingkirkan 3 wakil Jerman sekaligus seperti Schalke di 16 besar, Dortmund di perempat final dan Munchen di semifinal. Madrid di tangan Ancelotti bersua tim senegaranya sekaligus rival sekota, Atletico Madrid asuhan Simeone di final.

Final di Lisbon 2014 itu menjadi mimpi indah bagi publik Bernabeu. Pasalnya, gelar La Decima itu akhirnya singgah di Bernabeu setelah Madrid mencukur Atletico di final dengan skor 4-1 lewat extra time. Dominasi Madrid pun kembali di Eropa setelah 12 tahun. Mereka juga menunjukan sekali lagi bahwa ketika mereka mampu menuju final, mereka pasti bisa merebut juara.

2016

Selang dua tahun kemudian, di bawah komando baru legenda mereka, Zinedine Zidane, Madrid diuji mental Eropanya. Zidane yang notabene pelatih baru disangsikan peluangnya mempertahankan status El Real sebagai penguasa Eropa.

Namun, cerita berkata lain. Zidane dengan sentuhan pengalaman mental Eropanya mampu mengantarkan Madrid kembali ke final. Dan mereka kembali mesti bertemu Atletico Madrid. Tradisi selalu menang di final tetap berlanjut.

Zidane mulus dengan racikan barunya trio Modric-Kroos-Casemiro serta trio penyerang Benzema-Bale-Ronaldo. Mereka menang lewat drama adu penalti di San Siro. Itu adalah gelar Liga Champions pertama bagi Zidane dan ke-11 bagi Madrid.

2017

Musim berikutnya kekuatan Madrid bersama Zidane yang sebagian besar skuadnya hampir sama dengan musim lalu, membuat mereka kembali masuk final. Menyingkirkan Napoli di 16 besar, Munchen di perempat final, serta Atletico di semifinal, El Real menatap gelar ke-12 nya.

Bermodalkan DNA Liga Champions, mereka tak gentar menghadapi Juventus asuhan Allegri. Waktu itu, Juventus juga sangat berambisi merebut gelar setelah mereka gagal di tahun 2015. Namun nahas, Juve tak sekuat itu untuk merebut gelar dari Madrid.

Madrid menekuk Juve 4-1 di final yang berlangsung di Cardiff. 2 gol dicetak Ronaldo serta 1 gol masing-masing dicetak Casemiro dan Asensio. Dengan itu dominasi Madrid bersama Zidane benar-benar terbukti. Madrid keluar sebagai juara Liga Champions back-to back. Dan itu adalah prestasi tersendiri bagi El Real dan Zidane.

2018

Seakan menjadi langganan tetap final Liga Champions. Musim berikutnya, Madrid yang masih bersama Zidane plus kerangka skuad yang kurang lebih hampir sama dengan musim sebelumnya, kembali menuju partai final.

Hattrick masuk final dan akhirnya hattrick juara Liga Champions berhasil diwujudkan di Kiev. Tatkala mereka mengandaskan wakil Inggris, Liverpool di bawah Jurgen Klopp. Skor 3-1 beserta blunder kiper Liverpool, Loris Karius dan cederanya Mo Salah menjadi cerita abadi di final itu. Zidane mencatatkan rekor baru bagi Madrid. Tiga kali masuk final tiga kali juara. Gelar itu juga menjadi bukti bahwa Real Madrid tak tertandingi di final Liga Champions.

2022

Setelah terakhir kali meraih gelarnya yang ke-13 pada 2018, di bawah Zidane, Real Madrid mencicipi rasanya tidak masuk final lagi. Sampai Carlo Ancelotti, pelatih yang mempersembahkan La Decima datang, dan mereparasi ulang Real Madrid. Membuat Real Madrid kembali ke setelan pabrik.

Dengan kerangka tim sisa juara 2018, ditambah amunisi muda membuat mereka tampil mulus hingga final. Real Madrid mengandaskan PSG di 16 besar, Chelsea di perempat final kemudian City di semifinal.

Bertemu Liverpool di final yang makin matang bersama Klopp, bukan lawan yang mudah bagi Madrid. Tragedi final Kiev 2018 pun tak mau diulangi pasukan Anfield di Paris 2022 ini. Tapi Madrid, ya.. tau sendiri kalau sudah masuk ke final hasilnya bakalan seperti apa.

Mental itu kembali terbukti setelah akhirnya gelar ke-14 Madrid terwujud di Paris, setelah kemenangan tipis 1-0 berkat gol Vinicius Junior serta kehebatan Courtois dalam membendung serangan yang dibombardir pasukan Klopp. Dengan hasil ini, terang sudah jika Madrid masuk final Liga Champions lagi musim depan atau musim kapan pun, percayalah, sudah pasti El Real bakal memenangkannya.

Sumber Referensi : theathletic, en.as, therealchamps, sportingnews

Degradasi! Runtuhnya Raksasa Liga Prancis, Girondins de Bordeaux

Sebelum didominasi PSG seperti sekarang ini, Ligue 1 Prancis pernah begitu didominasi oleh Lyon. Tujuh musim beruntun Lyon menjadi juara dari musim 2001/2002 hingga 2007/2008. Hingga akhirnya dominasi tersebut berhasil dipatahkan oleh Bordeaux.

Di musim 2008/2009, Bordeaux tak hanya keluar sebagai juara Ligue 1. Saat itu, Bordeaux yang dilatih oleh Laurent Blanc juga menjadi juara Coupe de la Ligue dan Trophée des Champions. Beberapa nama beken yang dulu menghuni skuad juara saat itu antara lain, Yoan Gouffran, Yoann Gourcuff, Ulrich Ramé, Diego Placente, Alou Diarra, dan Marouane Chamakh. Skuad tersebut bahkan mengantar Bordeaux ke perempat final Liga Champions 2010.

Sayangnya, satu dekade kemudian, kondisi Bordeaux tak lagi sama. Di akhir musim 2021/2022, juara 6 kali Liga Prancis itu terdegradasi dari Ligue 1. Meski meraih kemenangan 4-2 atas Brest di pekan terakhir, tetapi tambahan 3 poin tak mampu mengangkat posisi Bordeaux.

“Les Girondins” hanya sanggup mengumpulkan 31 poin dalam 38 pertandingan. Ironisnya, mereka harus turun kasta dengan status juru kunci Ligue 1 musim ini.

Lalu, sebenarnya apa yang terjadi dengan Bordeaux?

Performa Menyedihkan Bordeaux di Musim 2021/2022

Jika kita mundur ke awal musim 2021/2022, tak akan ada pihak yang menyangka bahwa Bordeaux bisa berakhir semenyedihkan ini. Pasalnya, di musim panas lalu, Bordeaux mendapat tambahan amunisi yang sangat meyakinkan. Les Girondins berhasil mengontrak mantan pelatih timnas Swiss, Vladimir Petković.

Seperti yang kita tahu, sebelumnya, Petković berhasil membawa timnas Swiss mencetak sejarah dengan lolos ke perempat final Euro 2020 usai secara mengejutkan mengalahkan Prancis di babak 16 besar.

Pergantian pelatih tersebut tentu memunculkan harapan besar. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Proyek Bordeaux dengan Vladimir Petković berubah menjadi bencana.

Petković hanya mampu membawa anak asuhnya meraih 4 kemenangan dan menelan 11 kekalahan dalam 23 pertandingan. Bersama Petković, Bordeaux mencatat kekalahan terbesar di Ligue 1 sejak 1968 ketika mereka dibantai Rennes 6-0 di pekan ke-21.

Mantan pelatih Lazio itu kemudian dipecat pada 7 Februari kemarin setelah timnya kalah telak 5-0 dari Reims. Kekalahan tersebut membuat Bordeaux terjun ke peringkat 19 klasemen Liga Prancis.

Akan tetapi, menyalahkan Vladimir Petković atas apa yang terjadi dengan Bordeaux hari ini tidaklah adil. Pasalnya, penunjukan Petković tidak dibarengi dengan penguatan di sektor pemain. Krisis finansial yang mendera klub membuatnya tak bisa membeli pemain sesuai kebutuhan.

Menurut catatan transfermarkt, dalam 2 jendela transfer, Bordeaux menghabiskan dana 9,8 juta euro untuk berbelanja 14 pemain baru. Kebanyakan dari mereka datang dengan skema pinjaman atau free transfer.

Masalahnya, pemain-pemain yang datang itu tidak cukup mumpuni. Beberapa dari mereka belum teruji kualitasnya. Ada pula yang periode keemasannya sudah habis dan beberapa dari mereka bahkan bisa dibilang sebagai “masalah”.

Seperti Marcelo misalnya. Bek 34 tahun itu direkrut pada bulan Januari kemarin setelah dirinya dipecat dengan cara tidak hormat dari Lyon. Ada pula M’Baye Niang yang datang secara gratis dari Rennes. Sejatinya, Petković tidak menginginkan kehadirannya dalam skuad. Oleh karena itu, selama Petković menjabat, Niang bukanlah pilihan utama.

Pada akhirnya, Petković benar. Jelang laga melawan Lorient di pekan ke-37, Niang dikeluarkan dari skuad karena masalah indisipliner. Ia terlibat pertengkaran dengan direktur olahraga, Admar Lopes. Niang juga salah satu pemain yang terlihat bermain futsal di hari libur usai timnya kalah 4-1 dari Angers. Ulahnya tersebut menciptakan ketegangan di ruang ganti pemain.

Ini adalah sebagian kecil dari kekacauan internal di Bordeaux. Sebelumnya, pada bulan Januari, mereka membuang Laurent Koscielny yang dianggap bergaji terlalu mahal. Lalu, pada bulan Maret, kiper senior Benoît Costil terlibat bentrok dengan ultras Bordeaux di pinggir lapangan.

Maka ketika David Guion ditunjuk sebagai juru selamat, ia juga tak bisa berbuat banyak. Di bawah asuhannya, Les Girondins hanya mampu memetik dua kemenangan dalam 14 pertandingan. Alhasil, Bordeaux yang cuma mampu mengumpulkan 31 poin harus terdegradasi dari Ligue 1 dengan status juru kunci.

Selain jadi tim juru kunci, mereka juga jadi lumbung gol. Dalam 38 pertandingan, gawang Bordeaux kebobolan 91 gol atau 2,4 gol per laga. Menurut catatan Opta, jumlah tersebut jadi yang terburuk bagi sebuah tim dalam semusim selama 40 tahun terakhir.

Rekor buruk tersebut membuat catatan gol Bordeaux musim ini tak ada artinya. Dalam 38 pertandingan, mereka sebenarnya mampu mencetak 52 gol atau 1,4 gol per laga. Namun, percuma mencetak banyak gol bila pada akhirnya menelan kebobolan lebih banyak..

Salah Urus! Bordeaux Alami Krisis Finansial Akut

Degradasinya Bordeaux dari Ligue 1 musim ini hanyalah puncak dari krisis yang tengah mereka alami. Penyebab mereka tak bisa berbelanja dan memperkuat skuadnya dengan pemain potensial seperti dulu adalah buah pahit dari krisis finansial yang mendera klub.

Masalah keuangan yang dialami Bordeaux dimulai sejak mereka menghuni stadion baru. Tadinya, Les Girondins bermarkas di Stade Chaban-Delmas yang kapasitasnya sekitar 34 ribuan tempat duduk.

Namun, pada tahun 2015, mereka pindah ke Matmut Atlantique yang statusnya dimiliki oleh Pemerintah Kota Bordeuax. Masalahnya, stadion yang menjadi salah satu tuan rumah Euro 2016 itu punya kapasitas 42.115 tempat duduk, terlalu besar dan terlalu mahal biaya sewanya untuk tim sekelas Bordeaux yang rata-rata kehadiran suporternya cuma berkisar di angka 20 ribuan saja. Alhasil, stadion megah tersebut tak pernah terisi penuh.

Kondisi tersebut jelas membebani finansial klub yang terlanjur diwajibkan membayar pajak sewa selama 30 tahun. Walikota Bordeaux sendiri mengakui bahwa kesepakatan tersebut sangat buruk bagi tiap pihak yang terlibat.

Maka tidak mengherankan jika akhirnya prestasi Bordeaux terus menurun. Sejak mereka pindah ke stadion Matmut Atlantique, Bordeaux tercatat hanya 2 kali finish di peringkat 6, sisanya mereka selalu terlempar di luar 10 besar.

Namun, periode penting yang menjadikan Bordeaux menjadi seperti sekarang ini adalah saat mereka berganti kepemilikan. Pada November 2018, General American Capital Partners milik Joseph DaGrosa Junior membeli Bordeaux senilai 70 juta euro dari Groupe M6, sebuah perusahaan induk media asal Prancis yang sudah berkuasa selama 19 tahun.

Joseph DaGrosa langsung sesumbar dengan menjanjikan 80 juta euro selama 3 tahun untuk mengembalikan Bordeaux ke UCL. Namun, yang terjadi setelahnya, ia cuma menggelontorkan 9 juta euro di musim panas 2019.

Para pendukung jelas marah dan melayangkan protes keras. Untungnya, usia General American Capital Partners hanya seumur jagung. Kepemilikan Bordeaux kembali berpindah usai saham perusahaan tersebut dibeli oleh sesama investor asal Amerika, King Street pada Desember 2019. Dari situlah kehancuran di sektor finansial makin menjadi-jadi.

Saat awal Covid-19 melanda, Bordeaux jadi salah satu tim yang paling merugi. Mereka tak mendapat pemasukan yang cukup akibat dari Ligue 1 yang saat itu dihentikan. Bordeaux merugi bahkan terancam bangkrut.

Kondisi tersebut diperparah dengan bangkrutnya Mediapro. Agensi media asal Spanyol yang memenangkan hak siar Ligue 1 selama periode 2020-2024 itu gagal membayar uang hak siar sesuai dengan kesepakatan.

Menurut laporan Badan Pengawas Keuangan Sepak Bola Prancis atau DNCG, musim lalu Bordeaux mencatat kerugian total hingga 645 juta euro. Bordeaux juga mencatat defisit sebesar 67 juta euro, terbesar keempat di Ligue 1 musim lalu.

Puncaknya, pada 23 April 2021, Bordeaux ditempatkan di bawah perlindungan Pengadilan Niaga Bordeaux setelah sang pemilik, King Street tak lagi sanggup mendukung finansial klub. Alhasil, di akhir musim lalu, Bordeaux dijatuhi hukuman turun kasta ke divisi 2 oleh DNCG. DNCG menilai ada penyimpangan keuangan yang terjadi.

Beruntungnya, Gerard Lopez, mantan pemilik Lille mengakuisisi Bordeaux yang sekarat di waktu yang tepat. Banding mereka diterima, sehingga Les Girondins tak jadi terdegradasi musim lalu.

Namun, Lopez juga figur yang bermasalah. Royal Excel Mouscron, klub lain yang dimiliki Lopez mengeluhkan gaji yang belum dibayar lunas. Ia juga racun alias toxic dalam skuad Bordeaux. Setelah kekalahan atas Rennes, Lopez dilaporkan berteriak pada tim di ruang ganti.

Pada akhirnya, Bordeaux tetap terdegradasi di akhir musim 2022. Kondisi finansial mereka juga belum sepenuhnya pulih. Pertengahan bulan Juni ini mereka akan kembali menghadapi sidang dengan DNCG dan Bordeaux membutuhkan 20 juta euro untuk menghindari potensi degradasi lebih lanjut. Belum lagi, defisit senilai 40 juta euro harus segera mereka tutup di akhir bulan depan.

Kondisi ini diperparah dengan tuntutan Vladimir Petkovic dan asistennya, Antonio Manicone yang menuntut Bordeaux membayar biaya kompensasi pemecatan mereka masing-masing senilai 10 juta euro. Pasalnya, Petkovic dan Manicone baru bekerja selama 7 bulan. Padahal, mereka punya kontrak hingga 2024.

Menjual beberapa pemainnya adalah cara paling instan untuk mendapat uang. Namun, mencari sponsor atau investor baru adalah salah satu upaya paling bijak untuk menyelamatkan klub dari salah urus manajemen yang membuat Bordeaux kehilangan identitas, ideologi, dan kehormatannya.

Bisa dibilang bahwa kini, kedigdayaan Girondins de Bordeaux telah runtuh. Runtuhnya salah satu rakasasa Liga Prancis itu tentu menjadi kabar yang sangat memprihatinkan. Pasalnya, sejak berdiri pada 1 Oktober 1881, Bordeaux tercatat 6 kali menjuarai Ligue 1, 4 kali jadi kampiun Coupe de France, 3 kali memenangi Coupe de la Ligue, dan 3 kali menjadi juara Trophée des Champions.

Semoga, dalam beberapa waktu kedepan, ada kabar baik dari Bordeaux.

https://youtu.be/_ki1aqeAlR8
***
Referensi: GNFF, Get Football News France, Transfermarkt, France24, ESPN, CBSSports, GNFF, Get Football News France, The Guardian.

La Decima Real Madrid Adalah Bukti Karya Nyata Ancelotti

Ketika melatih tim pas-pasan macam Napoli dan Everton, Carlo Ancelotti dianggap miskin taktik. Namun La Decima Real Madrid menjadi jawaban sahih untuk membungkam orang yang mengatainya semacam itu. Penantian panjang Real Madrid ternyata mampu diwujudkan pelatih asal Italia itu.

Jelas ini adalah prestasi yang sangat mentereng, karena tak sembarangan pelatih bisa melakukannya. Berbagai cara sudah dicoba oleh El Real. Sampai pada akhirnya penantian panjang itu berakhir indah dan dirasakan oleh fans El Real pada tahun 2014 silam.

Penantian Panjang La Decima

Sepeninggal Presiden Florentino Perez sejak 2006, Madrid era Galacticos kemudian berganti citra dengan Real Madrid yang biasa-biasa saja. Penggantinya, Ramon Calderon tidak cukup mampu membranding Real Madrid menjadi klub langganan juara Liga Champions seperti di awal 2000 an.

Di bawah Ramon Calderon dari segi peningkatan prestasi memang terbukti Madrid kembali berjaya di liga domestik. Di masa kepemimpinannya, Madrid menjadi juara berturut-turut La Liga dari musim 2006/07 dan 2007/08. Namun, di kancah Eropa tak satu pun yang mengesankan.

Setelah memenangkan 3 gelar Liga Champions dalam 5 tahun antara tahun 1998 sampai 2002, terjadi penurunan yang tajam dan mencolok bagi El Real. Mereka tak sekalipun mentas di final turnamen tertinggi Eropa sejak itu.

Gelar Madrid di Liga Champions sejak itu adalah berjumlah 9 dan sangat sulit untuk mendapatkan kembali kesempurnaan gelar kesepuluhnya yang dikenal dengan La Decima. Ramon Calderon akhirnya sadar diri dan mundur di musim 2008/09 dengan segala kebijakan tidak populernya di Madrid.

Perez Jilid 2

Akhir pemerintahan Calderon diambil alih oleh wakilnya, Vicente Boluda hingga musim 2009/09 berakhir. Sebelum nantinya akan terpilih lagi presiden berikutnya. Mantan presiden Florentino Perez pun turun tangan. Ia akhirnya terpilih kembali di 2009 dan ingin mengembalikan lagi branding Madrid sebagai Galacticos.

Proyek Galacticos jilid 2 Madrid adalah bahan kampanyenya untuk meyakinkan publik Bernabeu di masa kepemimpinannya yang kedua ini. Dan benar saja, tak tanggung-tanggung, mega bintang Kaka dan Cristiano Ronaldo didatangkan sekaligus pada musim 2009/10. Pemain lainnya macam Benzema dan Xabi Alonso juga bersama-sama didatangkan ke Bernabeu.

Manuel Pellegrini yang sukses bersama Villarreal didapuk menjadi arsitek proyek Galacticos jilid 2 itu. Bertaburan bintang membuat Madrid bersama Pellegrini tidak pusing memilih skuad. Namun, mental berkata lain, Pellegrini belum mampu membawa Galacticos jilid 2 Madrid ini ke level yang lebih tinggi.

Madrid hanya mampu diantarkannya menjadi runner up di bawah Barca-nya Pep di La Liga. Gagal di Copa Del Rey dan gugur di Liga Champions. Apakah proyek ini dapat dikatakan gagal? Ketika tak satu pun gelar didapat pada awal kepemimpinan Perez jilid 2.

Perez pun marah, Pellegrini langsung didepak. The Special One, Jose Mourinho ditunjuk memimpin Galacticos jilid 2 ini. Mou dianggap mampu menularkan keberhasilannya treble di Inter kepada Madrid.

Hasilnya perlahan nyata, dengan mahkota Copa Del Rey musim 2010/11. Juara La Liga musim 2011/12. Namun, gelar yang diimpi-impikan publik Bernabeu yakni Liga Champions belum mampu diwujudkan Mourinho. Selama dia di Madrid, ia selalu gagal melangkah ke final. Ia menciptakan hattrick terhenti langkahnya di semifinal yakni di 2011, 2012, dan 2013.

Sungguh malang nasib Perez. Dari jor-joran membangun Galacticos jilid 2, gonta-ganti pelatih dan kepercayaan kepada seorang The Special One pun tak bisa dijamin keberhasilan meraih La Decima. Alhasil Perez berputar otak gimana lagi caranya supaya Madrid mewujudkan itu.

Ancelotti Datang

Sampai akhirnya sang dewa penyelamat itu datang. Ia bernama Carlo Ancelotti. Pelatih asal Italia yang pernah membawa AC Milan 3 kali ke final Liga Champions dan 2 kali memenangkannya. Ancelotti ditunjuk Perez menggantikan Mou di musim 2013/14.

“Gaya dan karakternya sangat cocok dengan profil klub ini. Dia adalah pelatih yang baik, pria yang cerdas dan pemenang yang alami,” kata Florentino Perez saat kedatangan Ancelotti.

Ancelotti dianggap sebagian orang sudah habis masa kejayaanya. Ketika pick performance-nya melatih sudah habis setelah berjaya bersama Milan. Hal itu terbukti di mana setelah ia hengkang dari Milan. Ia berada pada tim dengan skuad hebat macam Chelsea maupun PSG dan dia terbukti tak bisa membawa pulang Liga Champions.

Ancelotti di musim pertamanya disuntik Perez pemain macam Bale, Isco, Carvajal maupun Illarramendi. Ancelotti membangun tim dengan sebagian besar kerangka Madrid peninggalan Mourinho. Modric dan Alonso sebagai pengatur di tengah bersama Di Maria maupun Illarramendi. Di belakang duet Ramos dan Pepe masih jadi andalan.

Yang berbeda dari Ancelotti adalah ia merubah komposisi dari yang dulunya menggunakan 4-2-3-1 sekarang menjadi 4-3-3 dengan trio penyerang baru yang dibuatnya yakni BBC (Benzema, Bale, Cristiano Ronaldo).

Meskipun Ancelotti pada musim pertamanya jeblok di La Liga berkat finish di posisi ke 3, namun ia mampu menjawabnya di kancah Eropa. Laju Madrid dibawanya tidak hanya mentok di semifinal seperti Mou. Di semifinal, Ancelotti mampu menggulung Munchen dengan agregat telak 5-0.

Publik Bernabeu pun seketika mendapat harapan angin segar setelah Madrid kembali mentas di final Liga Champions. Setelah terakhir kali mereka ada di situ tahun 2002. Perez pun dibuat terbang ketika impiannya hampir diwujudkan Ancelotti. Madrid tinggal selangkah lagi menyempurnakan misi La Decima-nya.

Masterpiece La Decima Di Lisbon

Final Liga Champions 2013/14 pun dihelat. Mempertemukan sesama rival sengit di negeri matador yakni Derby Madrid. Atletico Madrid di bawah Simeone menjelma sebagai suatu identitas sepakbola yang berkembang dengan ciri khasnya sendiri yakni kesolidan dalam bertahan.

Madrid yang menuju Lisbon dengan impian gelar La Decima pun ciut ketika membayangkan kekuatan pertahanan Atletico musim itu. Benar saja, selama pertandingan, Atletico Madrid benar-benar kokoh dan sulit ditembus trio BBC.

Alih-alih mencetak gol, Madrid malah kecolongan di menit 36 oleh sundulan bek Atletico, Diego Godin. Tertinggal 1-0 membuat Ancelotti harus memutar otak untuk mengejar ketertinggalan itu. Berbagai cara dilakukan untuk menembus kokohnya pertahanan Los Rojiblancos.

Coentrao dan Khedira di menit 59 digantikan oleh Marcelo dan Isco, serta Benzema digantikan Morata di menit 79, semuanya tak mengubah hasil apa pun. Hingga akhirnya keajaiban itu datang di menit 90+3. Melalui sepak pojok dari Luka Modric, sundulan Ramos mampu memperpanjang nafas Madrid di Lisbon. Skor 1-1 menjadi akhir dari 2 kali 45 menit.

Mamasuki Extra Time, mental Atletico menjadi down. Madrid secara mental malah tambah berapi-api. Itu terbukti di 2 kali 15 menit babak tambahan. Madrid tampil dominan. Hasilnya nyata, menit 110, Madrid berbalik unggul lewat Bale. Kemudian disempurnakan Marcelo di menit 118 dan penalti Ronaldo di menit 120.

Skor telak 4-1 mengakhiri penantian panjang El Real meraih La Decima atau gelar kesepuluhnya di Liga Champions. Dan siapa yang memperolehnya? Ya, dia adalah Carlo Ancelotti. Pelatih yang awalnya dianggap sudah habis, tapi masih digdaya di Liga Champions. Presiden Perez pun tersenyum lebar. Proyek kepemimpinan jilid keduanya itu akhirnya bisa berbuah manis di 2014.

Sumber Referensi : planetfootball, uefa.com, managingmadrid

Evolusi Hebat Sang Tuan Muda, Vinicius!

0

Vinicius Jr sedang panas-panasnya di Real Madrid. Ia tajam di mulut gawang dan gemar memberikan assist kepada rekan satu tim. Pemain yang kini berusia 21 tahun sedang menemukan keseimbangan dalam dirinya.

Ia baru saja mencatatkan hattrick sensasional ke gawang Levante saat Madrid menang besar 6-0 di Santiago Bernabeu. Vini bermain lepas tak seperti musim-musim sebelumnya. Bahkan, usai mencetak gol ketiganya, pemain berusia 21 tahun itu langsung merayakannya dengan selebrasi “Siu” khas Cristiano Ronaldo.

Tentu semua pencapaian Vini musim ini tak didapat secara instan. Ia telah menghabiskan seluruh hidupnya di Madrid untuk berlatih dan meningkatkan skill olah bolanya sehingga mencapai level yang ia inginkan.

From Zero

Vini memulai petualangannya di Real Madrid dengan cukup berat. Banyak batu sandungan yang menghambat performa Vini. Bahkan di tiga musim pertamanya, jumlah golnya mentok di angka tiga. 

Tampaknya jersey kebanggaan Madrid cukup berat bagi Vini yang baru menginjakkan kaki di Eropa. Hari-harinya di Madrid dipenuhi ekspektasi setinggi langit. Ia dipaksa menjadi sosok luar biasa meski usianya belum genap 20 tahun.

Keraguan akan kualitas Vinicius membesar manakala Benzema tertangkap kamera sedang berbicara kepada Ferland Mendy soal ketidaksukaannya terhadap Vinicius di Lorong Stadion Borussia Park.

“Dia cuma melakukan apa yang dia inginkan. Jangan bermain dengannya. Dia bermain melawan kita”. Kata Benzema kepada Mendy. Tentu percakapan yang sempat viral tersebut semakin menegaskan bahwa Vini memang tak sebagus apa yang diharapkan. Wong rekan satu timnya saja tak percaya padanya.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Meski berkalungkan kritik dan keraguan, Vini menunjukkan bahwa mental pesepakbola Brazil tak selembek kerupuk yang disiram kuah soto. 

Pada musim 2020-2021, Eden Hazard yang didatangkan untuk mengisi pos sayap kiri justru berkutat dengan cedera. Vini pun mengisi kekosongan dan terus berusaha untuk memberikan yang terbaik pada Real Madrid.

2021-2022 dan Ancelotti

Tak bisa dipungkiri tolak ukur sebagai pemain depan bagus atau tidak itu dilihat dari jumlah golnya, dan Vini masih bermasalah dengan hal tersebut. Ia hanya mencetak 3 gol dari 35 pertandingan liga yang ia mainkan musim lalu.

Pergantian kursi kepelatihan dari Zidane menuju Carlo Ancelotti pada awal musim 2021-2022, dimanfaatkan Vini untuk menyusun strategi peningkatan performa di lapangan.

Di bawah asuhan Carlo Ancelotti, Vini mengubah bagaimana cara ia bermain. Layaknya pemain muda lainnya, ia merupakan pemain yang meledak-ledak. Terlebih dengan kecepatan yang ia miliki, Vini selalu berusaha memegang bola lebih lama dari pemain lain. Namun, Ancelotti sadar, ada yang salah dengan caranya menggiring bola.

Ancelotti mengatakan pada Vini untuk mencoba menggiring bola dengan lebih efisien. Bukan sekadar menggiring dan melewati pemain lawan. Tapi ia juga harus memiliki visi bermain yang bagus. Maka dari itu, Vini yang menyadari ia hanya memiliki kecepatan berusaha memperbaiki sentuhannya terhadap bola.

Dengan sabar, Ancelotti menuntun Vini dalam latihan skuad Madrid. Ia memberikan instruksi apa yang harus dilakukan di dalam dan di luar lapangan. Nasehat Ancelotti membuat Vini lebih percaya diri. Ia bermain lebih tenang sehingga ia bisa meningkatkan kemampuan pengambilan keputusannya.

Evolusi Vini

Bersama tim kepelatihan, Vini menemukan porsi latihan yang tepat untuk meningkatkan sentuhannya terhadap bola. Semua itu dilakukan agar dribble cepatnya tetap efisien dalam menciptakan peluang di kotak penalti lawan.

Perlahan, tusukan-tusukan yang Vini lancarkan saat pertandingan semakin membaik. Ia tak lagi membuang peluang dengan terlalu lama menggiring bola atau sekadar melakukan dribble yang tidak perlu.

Kerja keras Vini terbukti di laga penyisihan grup Liga Champions kontra Shakhtar Donetsk. Golnya menunjukan peningkatan kemampuan Vini dalam mengolah si kulit bundar di ruang yang cukup sempit. Ia membawa bola lebih tenang dengan sentuhan ringan sehingga bola tak bergulir jauh dari kakinya.

Setelah itu, Vini menunjukan permainan yang tak bisa diukur hanya dari jumlah gol dan assist saja. Beroperasi di sisi kiri, Vini memainkan peran sebagai pembobol pintu pertahanan lawan dengan dribble cepat yang merepotkan.

Menurut The Analyst, musim ini Vini tercatat melakukan 7,3 percobaan dribble per laga. Meski menurut Fbref, persentase keberhasilannya hanya di angka 45%. Namun, angka itu bukan berarti Vini adalah penggiring bola yang tidak efisien.

Vini telah meningkatkan dribbling suksesnya menjadi 101 kali, itu hampir dua kali lipat dari musim lalu. Ia juga cukup pintar untuk mempertahankan dribbling-nya tetap stabil selama 90 menit. Jadi, siapa pun yang menghadapi Vini di atas menit ke 70, sudah pasti akan kewalahan. 

Hal itu dibuktikan dengan Vini yang tetap bermain dengan intensitas tinggi meski memasuki menit-menit akhir. Tak heran apabila ia kerap menciptakan peluang-peluang emas dengan memanfaatkan pemain bertahan lawan yang sudah kelelahan.

Dari laga ke laga, permainan Vini mulai memiliki warna. Ancelotti selaku sang juru taktik juga tak lagi pusing memikirkan Eden Hazard dan Gareth Bale yang cedera mulu. Vinicius memudahkan segalanya.

Selain itu, Vini yang tadinya pemain egois telah berevolusi sebagai pemain yang lebih dewasa dan bermain sebagai kesatuan tim. Kemitraannya dengan Benzema pun melunturkan stigma buruk tersebut.

Didukung dengan performa Benzema yang sedang gacor-gacornya, umpan model apa saja yang dikirimkan Vini selalu bisa dimaksimalkan oleh wak haji. Kombinasi mereka telah melahirkan 10 gol di Liga. Dengan pencapaian tersebut, mereka jadi salah satu duo paling berbahaya di Eropa.

To Hero

Peningkatan performa Vinicius memberikan dampak yang sangat besar bagi Real Madrid musim ini. Berkat evolusinya itu, ia juga berhasil mengunci satu tempat di posisi penyerang sayap kiri di skuad Real Madrid.

Musim ini Vini telah memainkan 51 pertandingan di semua kompetisi. ia berhasil mencatatkan 21 gol serta 20 assist. Performanya itu berhasil membantu El Real untuk kembali merebut dominasi La Liga dari rival sekota, Atletico Madrid.

Setelah mengamankan gelar liga, Vinicius juga berkontribusi penuh dalam menggulingkan raksasa-raksasa Eropa seperti PSG, Chelsea bahkan Manchester City di ajang Liga Champions. Sehingga Real Madrid kembali mencapai partai puncak untuk kesekian kalinya.

Musim ini, Vini jadi salah satu pemain paling berkembang di Eropa. Setelah Vini menemukan bentuk permainan terbaiknya, ia dapat disejajarkan dengan seniornya di Timnas Brazil, Neymar.

https://youtu.be/LncDt9Mv5n4

Sumber: The Analyst, The Real Champ, ManagingMadrid, Sport Detik