Dari sepakbola Prancis, kita dihantam kabar yang tidak enak. Tentu bukan kebangkrutan PSG. Karena kalau itu beneran terjadi, ceritanya menjadi lain. Adalah Saint-Etienne, klub yang penuh sejarah dan tersukses Liga Prancis, nasibnya sama seperti Genoa, harus mengalami degradasi dari liga utama.
Saint-Etienne memastikan diri turun kasta setelah kalah dramatis atas Auxerre di babak play off. Les Verts takluk melalui adu penalti dengan skor 4-5. Terdegradasinya Saint-Etienne tentu menjadi catatan kelam. Apalagi mantan klub Aubameyang itu adalah klub tersukses, sebelum uang minyak mengalir ke PSG.
Daftar Isi
Pernah Berjaya Pada Masanya
Saint-Etienne merupakan mantan klub papan atas. Era keemasannya pun sudah lapuk termakan usia. Memang betul, klub yang bermarkas di Stade Geoffrey-Guichard ini sempat mengalami masa keemasan di era 1960 hingga 1980-an. Kala itu, Jean Snella, Albert Batteux dan Robert Herbin, adalah nama-nama pelatih legendaris yang menjadi pionir dari kesuksesan Les Verts di Liga Prancis.
Ketiganya silih berganti membawa The Greens menjadi klub paling disegani di Prancis kala itu. Snella bisa dibilang jadi pembuka gerbang bagi kesuksesan masa lalu Saint-Etienne dengan meraih gelar juara ligue 1 untuk pertama kalinya pada musim 1956-1957.
Sebelum PSG dan AS Monaco jadi klub kaya. Pesaing utama bagi The Greens kala itu adalah Stade de Reims. Ketika itu Stade de Reims adalah tim yang memberi sumbangsih pada Timnas Prancis. Beberapa pemainnya seperti Raymond Kopa dan Just Fontaine pernah memperkuat Les Blues.
Setelah Snella memutuskan pergi di tahun 1967, giliran Albert Batteux yang melanjutkan kesuksesan Saint Etienne dengan memoles skuad muda peninggalan Snella menjadi generasi emas.
Dengan filosofi sepakbola yang mengandalkan pergerakan tanpa bola untuk menekan pemain lawan, Batteux membuat Saint Etienne banjir trofi. Praktis, Saint-Etienne asuhan Batteux langsung jadi penguasa sepakbola Prancis.
Pemain yang paling sensasional dalam era keemasan Saint Etienne adalah striker asal Mali, Salif Keita. Ia berhasil mencetak 125 gol dalam 149 pertandingan bersama klub, termasuk 71 gol yang luar biasa dalam dua musim terakhirnya berseragam Saint-Etienne.
Era Robert Herbin Jadi yang Terakhir
Pada musim 1972, Batteux angkat kaki dari Saint-Etienne dan Robert Herbin selaku pemain senior pun ditunjuk sebagai pelatih berikutnya. Hal ini memantapkan tradisi The Greens yang kerap menunjuk pelatih yang memang bekas pemainnya sendiri.
Penunjukan Herbin sebagai pelatih berikutnya terbilang tepat. Era kesuksesan Herbin sendiri terjadi ketika ia berhasil membawa Saint-Etienne double winner pada musim 1973-1974.
Herbin memiliki pendekatan yang berbeda dari pelatih-pelatih lain. Ia yang dibesarkan di Saint-Etienne tak melupakan akarnya. Herbin tak pernah membeda-bedakan pemain, ia juga selalu memangkas jarak antara pelatih dan pemain.
Hal tersebut membangun kepercayaan kepada anak asuhnya dan imbasnya adalah Herbin sukses membawa Saint-Etienne menjadi klub kedua Prancis yang masuk final European Cup 1974-1975. Sayang di final mereka harus mengakui keunggulan Bayern Munchen.
Pada musim 1977-1978, Saint Etienne gagal lolos ke Europa Champions yang mengakibatkan pemilik klub, Roger Rocher mengubah kebijakan transfer dengan mendatangkan beberapa pemain bintang seperti Patrick Battiston, Johnny Rep hingga Michel Platini.
Strategi tersebut membuahkan hasil. Pada musim 1980-1981 Herbin kembali membawa Saint-Etienne juara sekaligus menjadi titel Ligue 1 terakhir bagi Les Verts. Saat itu Michel Platini menjadi top skorer klub sekaligus mencetak gol penting sebagai penentu juara Saint Etienne yang kesepuluh kalinya.
Awal Musim yang Buruk Bagi St-Etienne
Selepas itu? Kesuksesan hanyalah masa lalu bagi Saint-Etienne. Mereka justru menjadi tim yang problematik. Banyak utang dan lama kelamaan mengalami penurunan performa yang sangat drastis sehingga menghadapi paceklik di sepakbola Prancis.
Saint-Etienne menjelma tim gurem, medioker, papan tengah atau apa pun itu yang mencerminkan bahwa mereka bukan yang terbaik lagi. Target mereka bukan lagi menjuarai kompetisi, bahkan dalam beberapa tahun terakhir mereka hanya berusaha tak terdegradasi dan tetap bermain di kasta tertinggi.
Musim ini mungkin jadi yang terburuk bagi The Greens. Mereka menjalani pertandingan demi pertandingan dengan sangat buruk. Anak asuh Claudie Puel bahkan tak meraih satu kemenangan pun dalam 12 pertandingan di paruh pertama musim 2021-2022.
Bahkan dalam periode akhir Agustus hingga pertengahan September, Saint-Etienne mengalami lima kekalahan beruntun. Setelah kekalahan 3-0 dari Nice, gelandang Saint-Etienne, Wahbi Khazri mengatakan semua komponen tim harus bekerja lebih keras untuk keluar dari krisis. Namun apa daya, motivasinya tak menembus ke dalam hati para pemain.
Mungkin, jika tak meraih kemenangan-kemenangan tipis kala berjumpa Clermont Foot dan Troyes di bulan November, mungkin Saint Etienne akan mengakhiri tahun 2021 dengan tanpa kemenangan sekali pun.
Setelah hanya memenangkan 2 laga dari 17 laga yang ia pimpin, Puel akhirnya dipecat oleh Saint-Etienne. Padahal, pelatih yang pernah menukangi Leicester ini sempat berjasa dalam menyelamatkan Saint-Etienne dari lembah degradasi pada dua musim sebelumnya.
Masalah Internal Memperkeruh Keadaan
Selepas kepergian Claudie Puel, Saint-Etienne mempekerjakan mantan pemain mereka, Loic Perrin sebagai Sporting Coordinator yang baru. Ia bekerja sama dengan Jean-François Soucasse dan Samuel Rustem untuk memperbaiki tata kelola keuangan klub. Namun, ternyata kedatangan mereka terlambat untuk memperbaiki finansial klub yang tak kunjung membaik setelah pandemi.
Finansial yang kacau membuat strategi transfer paruh musim pun ikut kacau. Mereka mempertaruhkan masa depan klub dengan menunjuk manajer gagal lainnya yaitu Pascal Dupraz yang baru dipecat dari SM Caen, tim kasta kedua Liga Prancis. Selain itu mereka juga mendatangkan bek Ezequiel Mangala, pemain yang sudah nganggur lantaran gagal di Manchester City.
Saint-Etienne memulai paruh kedua dari dasar klasemen. Awalnya mereka mengira semua berjalan sesuai rencana lantaran berhasil mengalahkan SCO Angers di awal tahun 2022.
Namun, euforia kemenangan hanya bertahan seminggu. Setelah itu, Saint-Etienne hanya memenangkan 4 laga dari 18 pertandingan yang mereka mainkan. Mereka mengakhiri musim 2021-2022 dengan finis di urutan ke 18 dan mendapat kesempatan terakhir di laga playoff melawan Auxerre, calon tim promosi musim depan.
Terdegradasi dan Ancaman Sanksi
Hasil minor ini membuat pemain dan jajaran staf Saint-Etienne dikritik habis-habisan oleh fans. Suporter Saint-Etienne memang dikenal loyal pada klub kesayangan mereka. Namun, mereka juga dikenal anarkis dan kerap menimbulkan kerusuhan yang justru merugikan klub.
Kekesalan fans Saint-Etienne pun memuncak kala The Green melakoni laga hidup dan mati melawan Auxerre. Setelah imbang di kedua leg, laga pun dilanjut dengan babak adu penalti. Sialnya, Saint-Etienne kalah 4-5 dari Auxerre. Gagalnya sepakan Ryad Boudebouz membuat tuan rumah turun ke Ligue 2.
Fans yang sudah tersulut api kemarahan tumpah ruah ke lapangan. Situasi di Stadion Geoffroy-Guichard menjadi kacau dan tidak terkendali. Pemain beserta official Saint-Etienne pun dihujani kembang api dan suar yang masih menyala.
Polisi anti huru-hara kemudian dikerahkan untuk membubarkan kerumunan fans yang mengamuk. Bahkan pemadam kebakaran juga dikerahkan setelah beberapa oknum fans berusaha membakar kursi stadion.
Kerusuhan ini justru menambah penderitaan Saint-Etienne. Jika investigasi dari pihak federasi sepakbola Prancis menemukan bahwa Saint-Etienne bersalah, maka mereka terancam hukuman denda dan laga tanpa penonton musim depan. Comeback Stronger Les Verts!
https://youtu.be/UqGvQ0OFXPs
Sumber: Gameofthepeople, LigaLaga, Lemonde, Libero, Eurosport