Sepakbola adalah olahraga yang terbilang cukup merakyat namun tetap menyenangkan. Sepakbola bisa dimainkan kapan pun dan dimanapun. Bahkan, kalian bisa mengganti bolanya dengan benda apa pun. Kalian pasti pernah berusaha menendang-nendang kaleng atau botol plastik yang tergeletak di jalan. Hayo, ngaku saja.
Oleh karena itu, sepakbola bisa menjadi alat pemersatu di tengah banyaknya perbedaan. Pesepakbola dari berbagai negara, benua, dan ras yang berbeda bisa bergabung dalam satu tim dan saling bahu membahu untuk meraih sebuah kemenangan. Nah, nilai-nilai keberagaman semacam ini juga tengah diusung oleh Timnas Jepang di Piala Asia 2023.
Dan yang menjadi garda terdepan dalam mengkampanyekan “Bhineka Tunggal Ika” di skuad Hajime Moriyasu adalah Zion Suzuki. Dengan penampilan yang begitu mencolok, Zion tetap memberikan 100% dedikasinya untuk tim nasional Jepang. Lantas, bagaimana pemain yang pernah hampir bergabung Manchester United itu menghadapi perbedaan warna kulit di sepakbola Jepang?
Daftar Isi
Rasisme di Dunia Olahraga Jepang
Sulitnya menerima perbedaan suku, etnis, dan warna kulit acap kali jadi permasalahan di berbagai negara, termasuk Jepang. Rasisme di Jepang terdiri dari sikap dan pandangan negatif terhadap ras atau kelompok tertentu yang memiliki perbedaan mencolok dari masyarakat Jepang pada umumnya.
Jepang bahkan tidak memiliki undang-undang yang melarang diskriminasi ras, etnis, atau agama. Negara ini juga tidak memiliki lembaga hak asasi manusia nasional. Maka dari itu, orang asing di Jepang sering kali menghadapi pelanggaran hak asasi manusia.
Tindakan seperti itu bahkan bisa terjadi dimanapun, baik di dunia pendidikan, kerja, bahkan olahraga. Meski sudah ada banyak atlet berkulit hitam di tim nasional Jepang, mereka tidak bisa lepas dari kasus rasialisme.
Sebagai contoh, petenis berdarah Haiti, Naomi Osaka pernah dihina dengan sebutan “kulit yang terbakar” karena kelamaan berjemur dan dianggap tak layak mewakili Jepang di ajang internasional. Jadi tak heran, ketika Zion Suzuki muncul sebagai kiper utama Timnas Jepang di ajang Piala Asia 2023, hal itu menimbulkan berbagai macam respons di media sosial.
Darah Jepang di Zion Suzuki
Kehadiran Zion Suzuki di skuad tim nasional Jepang pun memunculkan tanda tanya. Sebab, kehadiran pemain berkulit gelap di skuad The Blue Samurai merupakan hal yang tak lazim. Namun, Zion tetap bermain dengan rasa bangga. Karena darah dan semangat seorang samurai mengalir dalam dirinya.
Zion dibesarkan di Prefektur Saitama, Jepang. Kendati pemain berpostur 190 cm itu sejatinya lahir di Little Rock, sebuah daerah di Arkansas, Amerika Serikat. Namun, usai lahir Zion pergi ke Jepang. Ibunya adalah warga negara Jepang, sedangkan sang ayah berasal dari Ghana.
Zion tumbuh dengan kultur, bahasa, dan gaya hidup orang Jepang. Di Jepang pula ia meniti kariernya sebagai pesepakbola. Bakat Zion Suzuki sudah tercium oleh salah satu klub raksasa Liga Jepang, Urawa Reds Diamonds saat usianya masih muda. Karena ia tinggal lama di Jepang dan memiliki darah Jepang dari sang ibunda, Zion memutuskan untuk membela Timnas Jepang.
Urawa dan Riwayat Kasus Rasisme
Zion masuk akademi Urawa Red pada 2009. Namun, lima tahun setelah Zion bergabung ke akademi Urawa, tim ini tersandung kasus rasisme, tepatnya pada tahun 2014. Berstatus sebagai tim papan atas yang memiliki pendukung paling besar di persepakbolaan Jepang, peristiwa ini jadi salah satu dosa paling besar yang dimiliki oleh Urawa Reds Diamonds.
Kronologinya berawal saat Urawa Reds memainkan laga kandang melawan Sagan Tosu pada Maret 2014. Di tengah pertandingan tiba-tiba geger. Salah satu oknum fans Urawa kedapatan memasang banner besar yang bertuliskan “Japanese Only” di salah satu pintu masuk.
Presiden Urawa Reds kala itu, Keizo Fuchita mengatakan munculnya banner bernuansa diskriminatif itu bisa ditafsirkan sebagai pesan xenophobia terhadap masuknya pesepakbola non-Jepang yang berlebihan ke Liga Jepang. Keizo yang terlanjur malu sampai meminta maaf atas perbuatan fans yang tak bertanggung jawab itu.
Dilansir BBC, karena tak kunjung menemukan pelakunya, Urawa Reds akhirnya dihukum dengan sejumlah denda dan harus memainkan pertandingan berikutnya melawan Shimizu S-Pulse tanpa penonton. Sebelum pertandingan, para pemain Urawa pun mengenakan kaos yang bertuliskan janji untuk memerangi rasisme.
Kapten tim kala itu, Yuki Abe juga mengambil sikap dengan membacakan pernyataan menyesali spanduk provokatif itu dan berjanji tak akan membiarkan hal ini terjadi lagi. Peristiwa ini pun menimbulkan respons dari ketua J-League kala itu, Mitsuru Murai. Menurutnya keberadaan spanduk itu tidak hanya merusak citra liga, melainkan juga seluruh komunitas sepak bola di Jepang.
Kasus ini pun akhirnya jadi evaluasi oleh Urawa Reds. Kini mereka berusaha menciptakan situasi yang aman dan nyaman bagi pemain kulit hitam. Oleh karena itu, Zion dan dua pemain asing kulit hitam lainnya yakni Jose Kante dan Thiago bisa bermain dengan nyaman di Urawa Reds.
Beruntungnya Zion Suzuki
Untunglah, ketika Zion Suzuki masuk ke tim utama tahun 2021, kasus rasisme di Urawa Reds sudah tutup buku. Tak terbayangkan apabila penggemar Urawa Reds masih saja rasis. Seorang pemain yang dihajar kalimat rasis dari warga lokal. Lihatlah apa yang pernah dialami Musashi Suzuki.
Sebagai pemain keturunan Jamaika, kehidupan Musashi di Jepang tak mudah. Dikutip dari Japan Forward, Musashi beberapa kali jadi korban perundungan karena warna kulitnya. Ia sering diteriaki dengan sebutan “gaijin”, istilah berbahasa Jepang yang sering dipakai untuk merendahkan orang asing.
Musashi bahkan sering diabaikan rekan setimnya saat bermain sepakbola hanya karena penampilannya yang mencolok. Tapi, ia tak menyerah begitu saja. Ia tetap menekuni sepakbola sampai akhirnya menembus skuad tim nasional Jepang pada tahun 2019. Kini, ia sudah mengantongi sembilan caps di Timnas Jepang.
Lahir di generasi yang lebih modern membuat perbedaan yang dimiliki pemain macam Zion Suzuki bisa lebih diterima. Pelatih-pelatih tim nasional pun mampu fokus pada performa dan kehebatan sang pemain di lapangan. Oleh karena itu, Timnas Jepang tak mau kehilangan talenta berharga yang dimiliki Zion.
Untuk memagari Zion dari ketertarikan tim nasional Ghana dan Amerika Serikat, Hajime Moriyasu langsung diberikan kesempatan kepadanya untuk debut di tim senior pada tahun 2022. Kala itu, The Blue Samurai menghadapi Hongkong dan Zion tampil maksimal dengan catatan clean sheet.
Peran Pemerintah Jepang
Meski sudah tak semasif dulu, saat ini belum ada penelitian yang spesifik membahas penerimaan penggemar Liga Jepang terhadap pesepakbola kulit hitam layaknya Zion Suzuki. Namun, apabila kita melihat dari sepak terjangnya, federasi sepakbola Jepang cukup tanggap mengatasi masalah rasisme dalam sepak bola mereka.
Setelah kasus Urawa Reds, pemerintah Jepang terus berupaya mengangkat harkat martabat atlet Jepang yang berkulit hitam. Hal ini bisa dibuktikan pada ajang Olimpiade yang digelar pada tahun 2021 kemarin. Naomi Osaka, petenis Jepang yang sempat mendapat perlakuan rasisme mendapat kehormatan menjadi orang yang menyalakan kaldron dalam seremoni pembukaan Olimpiade.
Sementara itu, Rui Hachimura, pebasket Jepang yang berkulit hitam karena memiliki keturunan Benin dari ayahnya juga mengambil peran di Olimpiade Tokyo. Ia dipercaya untuk membawa bendera Jepang dalam parade di pembukaan salah satu pesta olahraga terbesar di dunia tersebut.
Kini, Jepang tentu sudah lebih terbuka dengan keberadaan pemain asing dan keturunan. Keberadaan atlet-atlet keturunan kulit hitam yang berprestasi pun mengubah stigma negatif warga lokal. Betapa beruntungnya Zion muncul di generasi Jepang yang lebih siap menghadapi perbedaan. Sehingga Zion Suzuki bisa dengan bangga tampil bersama Timnas Jepang di Piala Asia 2023.
Sumber: The Guardian, Fox Sport, The World, BBC, Japan Trends, Planetfootball