Pontang-panting Pochettino Permak Spurs Sampai ke Final Champions

spot_img

Setelah peluit panjang dibunyikan di malam final Liga Champion 2019, terlihat para pemain Liverpool tumpah ruah ke tengah lapangan merayakan kemenangan. Sementara itu Harry Kane terlihat lesu dengan tatapan kosong menatap langit malam. Son Heung-min masih tergeletak di atas lapangan, sambil menutup wajahnya yang penuh air mata.

Di tribun penonton, para suporter dengan pakaian serba putih bertepuk tangan. Mereka tetap memberikan semangat dan dukungan kepada para pahlawannya. Meskipun kalah, bisa sampai ke partai final Liga Champions sudah seperti dongeng yang jadi nyata buat fan Tottenham.

Jika kita menggunakan mesin waktu dan balik ke tahun 2009, kemudian bilang pada fans Tottenham kalau 10 tahun lagi mereka bisa menyaksikan Spurs main di final Liga Champions, sudah pasti kita jadi bahan ketawaan. Bertahun-tahun lamanya, Liga Champions bagaikan puncak gunung yang tak bisa didaki untuk Spurs.

Tapi itu semua berubah setelah Mauricio Pochettino datang. Ia menyulap Spurs jadi tim yang tadinya langganan enam besar, jadi konsisten di empat besar. Pochettino benar-benar telah mengubah standar Spurs.

Tahun Pertama Poch

Oke, meskipun Tottenham adalah klub fakir trofi tapi Spurs yang kita tahu adalah klub yang selalu punya pemain-pemain top di Liga Inggris. Yang kadang kita sendiri bertanya-tanya, “Kok mau ya dia main di Spurs terus?” Harry Kane contohnya.

Selain kapten timnas Inggris itu, kita tahu Spurs punya Son Heung-min, Oppa-oppa kapten timnas Korsel yang dicintai semua orang. Lalu Hugo Lloris, mantan kapten timnas Prancis yang pernah angkat Piala Dunia 2018. Dan pemain-pemain bintang lainnya.

Tapi sebelum Pochettino datang, Spurs tidaklah semewah itu. Atau setidaknya, tidak dipandang mewah. Di musim 2013/14, Spurs masih ditangani oleh Andres Villas-Boas yang dipecat di pertengahan musim dan digantikan oleh Tom Sherwood.

Di akhir musim, Tottenham hanya finis di peringkat keenam Premier League. Mereka ikut kompetisi Europa League musim itu, tapi hanya bisa sampai ke babak 16 besar setelah kalah lawan Benfica. Pencetak gol terbanyak klub adalah Emmanuel Adebayor dengan 14 gol di semua kompetisi.

Pochettino berlabuh ke White Hart Lane di musim panas 2014/15 dengan CV sebagai pelatih Espanyol dan Southampton. Dan seperti yang sudah kita ketahui, akan ada banyak perubahan bagi Spurs setelah ini.

Salah satu revolusi yang dilakukan adalah dari segi skuad. Pochettino mulai menjual pemain-pemain tua yang sudah menginjak 30 tahun seperti Benoit Assou-Ekotto, Heurelho Gomes, Michael Dawson, dan lainnya. Guna membuka ruang untuk para pemain muda seperti Eric Dier, Dele Alli, juga Ben Davies. Oh iya, Pochettino juga menjadikan Harry Kane yang di musim-musim sebelumnya selalu dipinjamkan, menjadi pemain reguler.

Itu mungkin jadi keputusan terbaiknya selama melatih Tottenham. Harry Kane jadi monster gol di Spurs. Di musim pertamanya jadi pemain reguler itu, Kane berhasil mencetak 31 gol di semua kompetisi.

Di akhir musim Spurs finis di peringkat lima, satu tingkat diatas musim sebelumnya. Pochettino juga membawa Spurs ke final Piala Liga. Tapi sayangnya mereka kalah lawan Chelsea.

Big Four Jadi Big Six

Mungkin tidak perlu kita perjelas kalau Tottenham tidak dapat trofi musim 2014/15. Yang perlu kita tekankan adalah bagaimana Spurs bertransformasi jadi tim yang menyerang. Dengan Dele Alli dan Harry Kane yang selalu haus gol di depan gawang lawan, lini serang Spurs sudah mulai menunjukan taringnya.

Di musim 2015/16, hal itu diperkuat lagi oleh Pochettino. Ia mendatangkan Son Heung-min dari Bayer Leverkusen dengan harga 30 juta euro. Pochettino juga memperkuat lini pertahanan dengan mendatangkan Kieran Trippier dan Toby Alderweireld.

Bersama dengan datangnya para pemain baru itu, dan didepaknya beberapa pemain lama seperti Adebayor, Aaron Lennon, Roberto Soldado dan yang lainnya, taktik Pochettino mulai “nge-klik” dengan Tottenham.

Spurs tidak lagi mengandalkan pola serangan sayap dari Aaron Lennon dan Andros Townsend. Melainkan pola serangan dinamis dari Christian Eriksen, Dele Alli, dan Son Heung-min.

Tiga pemain itu tidak memakai pola serangan sayap tradisional yang membawa bola dari pinggir lapangan lalu melakukan umpan crossing. Melainkan selalu masuk ke dalam, berotasi, dan membuka ruang untuk bek sayap masuk. Ini memang biasa untuk zaman sekarang, tapi di tahun itu adalah sebuah revolusi.

Di pekan ke 25 musim itu, Spurs untuk pertama kalinya bisa masuk ke dua besar. Meskipun pada akhirnya mereka finis di peringkat ketiga di akhir musim. Spurs total mencetak 69 gol di liga. Hanya City yang punya koleksi gol lebih banyak dari Spurs musim itu.

Gaya permainan yang menekan dan intens itu membuat Spurs diakui sebagai tim yang benar-benar punya peluang untuk juara Liga Inggris. Di musim ini lah konsep big four mulai ditinggalkan. Para penggemar Liga Inggris mengundang Manchester City dan mengakui Tottenham setara dengan Arsenal, MU, Chelsea, dan Liverpool menjadi big six.

Persaingan Makin Ketat

Konsep big six memang patut dievaluasi lagi. Sebab big six, yang tadinya big four, adalah anggapan bahwa tim-tim tersebut tidak akan bisa turun kasta. Tapi yang sebenarnya terasa adalah big six hanya tim-tim kaya yang punya dana untuk datangkan pemain mahal.

Terlepas dari itu, tantangan Pochettino di musim 2016/17 adalah mempertahankan tahta mereka sebagai tim yang ditakuti di Inggris. Ini tantangan yang cukup berat bagi Pochettino. Sebab di musim itu Premier League kedatangan Antonio Conte ke Chelsea dan Pep Guardiola ke Manchester City.

Adanya dua pelatih itu membuat liga Inggris naik level. Pochettino ditantang untuk melakukan inovasi dalam taktiknya. Di sinilah Pochettino melakukan eksperimen taktik. Tottenham mulai bermain lebih cair.

Musim 2015/16 Pochettino memainkan 94% laga dengan formasi 4-2-3-1. Di musim 2016/17, presentasi itu turun jadi 48%. Pochettino sering menggunakan skema tiga bek dengan formasi 3-4-2-1 atau 3-4-1-2. Salah satu alasan utamanya adalah banyak tim lawan yang semakin bermain defensif ketika menghadapi Spurs.

Meskipun kedatangan dua pelatih hebat, Pochettino masih bisa menyaingi mereka. The Lilywhites finis di peringkat kedua. Itu adalah posisi terbaik mereka dalam sejarah Premier League.

Sayangnya, Pochettino kurang beruntung di musim pertama Champions League-nya bersama Tottenham. Mereka tidak mampu lolos dari fase grup yang berisi Leverkusen, Monaco, dan CSKA Moskow. Terlempar ke Europa League, Spurs juga tersingkir di babak 32 besar.

Pindah Stadion

Tottenham mengalami banyak perubahan di musim setelahnya, musim 2017/18. Perubahan terbesar adalah stadion lama mereka, The White Hart Lane dirobohkan. White Hart Lane sendiri adalah stadion yang sangat bersejarah.

Stadion itu sudah jadi rumah the lilywhite selama 118 tahun. Tottenham pun harus menjalani seluruh pertandingan kandang musim 2017/18-nya di Wembley. Sambil stadion baru mereka yang lebih besar dan modern bisa ditempati.

Tapi pindah ke stadion baru juga tidak selamanya indah. Kalau tidak hati-hati, Spurs bisa jatuh dalam kubangan utang dan kebangkrutan karena biaya pembangunan stadion baru yang mahal. Jadi Pochettino harus bijak dalam membeli dan menjual pemain.

Dari semua penjualan yang dilakukan Pochettino di Spurs, mungkin yang paling berdampak adalah Kyle Walker. Bek sayap Inggris itu pindah ke Manchester City dengan harga 53 juta poundsterling untuk melengkapi tim impian Pep Guardiola. Kehilangan Walker diperparah dengan cederanya Rose yang membuat sisi bek sayap Spurs jadi melemah.

Namun, itu segera diatasi dengan hadirnya Trippier dan Ben Davies yang dengan sigap pindah peran jadi pemain utama. Harry Kane juga tambah tajam. Di masa-masa awal, Kane sering turun kebelakang dan ke sisi lapangan untuk menjemput bola.

Tapi dengan semakin banyaknya pemain yang kompeten di belakangnya, Kane bisa fokus untuk mencetak gol. Di musim ini, ia mencetak 30 gol dan 3 assist di Liga. Total, ia telah mencetak 41 gol di semua kompetisi musim 2017/18.

Spurs finis di peringkat ketiga Premier League. Di Champions League, the lilywhite sempat tampil meyakinkan. Mereka memuncaki grup yang berisi Dortmund dan Real Madrid tanpa pernah mengalami kekalahan. Namun, langkah mereka terhenti di babak 16 besar setelah kalah melawan Juventus.

Mimpi ke Final Terwujud

Meskipun begitu, Spurs mencetak dua sejarah menarik di musim selanjutnya yaitu musim 2018/19. Yang pertama adalah mereka jadi klub pertama di Liga Inggris yang tidak mendatangkan pemain sejak konsep jendela transfer diperkenalkan pada tahun 2003.

Itu bukan sejarah yang mereka inginkan memang. Spurs lebih tepatnya terpaksa untuk tidak membeli pemain karena masalah finansial mereka setelah membangun stadion baru. Meskipun tidak ada pemain baru, masih ada wajah segar di klub. Ia adalah Lucas Moura yang didatangkan pada pertengahan musim sebelumnya.

Hengkanya Moussa Dembele membuat Moura semakin dibutuhkan di tim. Dia adalah penyerang hybrid yang bisa dengan mudah memenangkan duel satu lawan satu dengan kecepatannya. Llorente yang merupakan pembelian musim sebelumnya juga semakin berkembang. Ia semakin bisa diandalkan untuk jadi pengganti Harry Kane.

Perjalanan di musim 2018/19 adalah rollercoaster yang naik turun untuk Pochettino. Spurs tampil meyakinkan di paruh pertama musim, tapi perlahan terjun ke tanah di paruh kedua. Sebaliknya, di paruh pertama musim Champions League Tottenham pontang-panting. Tapi bisa bangkit di paruh kedua.

Spurs nyaris tidak bisa lolos grup B yang diisi oleh Inter Milan, Barcelona, dan PSV. Dengan koleksi 8 poin, Spurs hanya unggul jumlah gol dari Inter. Setelah itu, pasukan Pochettino menampilkan perjalanan paling luar biasa di babak knock-out.

Pertama, mendominasi Borussia Dortmund dengan agregat 4-0. Kemudian mampu dengan susah payah mengalahkan Manchester City di perempat final. Dan secara heroik comeback lawan tim underdog lainnya, Ajax Amsterdam. Meskipun pada akhirnya kalah lawan Liverpool di final, itu adalah perjalanan yang luar biasa dan membanggakan bagi Spurs.

Harus Berakhir

Musim 2018/19 adalah musim paling dekat Pochettino dan Tottenham dengan trofi. Tapi semakin dekat kesempatan angkat trofi, artinya semakin lebar pula pintu keluar untuk Pochettino. Ia sudah banyak mendapatkan kritik soal kapan Spurs akhirnya bisa juara dan mengangkat piala.

Spurs sudah jadi tim papan atas dan dipenuhi pemain bintang di bawah asuhan Pochettino. Tapi masa dimana Spurs bisa akhirnya mengangkat trofi tidak kunjung datang juga.

Hubungan Pochettino dengan pemilik Spurs, Daniel Livy juga tidak membaik. Ia pun dipecat di bulan November 2019, hanya beberapa bulan setelah ia membawa Spurs ke final Champions untuk pertama kalinya.

Jika dilihat kasat mata, pemecatan Pochettino memang brutal dan absurd. Tapi jika memahami kisahnya, ini terasa lebih natural dan sudah seharusnya terjadi.

Pochettino sudah merevolusi Spurs hanya dengan biaya yang tidak lebih dari 100 juta pounds. Ia sudah menancapkan identitas Spurs sebagai klub big six, juga sistem di klub yang matang.

Jika pada akhirnya itu belum bisa memberikan trofi untuk Spurs, maka memang sudah saatnya ia memberikan obor estafet ke pelatih-pelatih selanjutnya. Juga memang sudah saatnya bagi Pochettino move on dan membuka lembaran baru.

Sumber referensi: TFT, FootballLondon, ESPN, UEFA, Guardian

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru