Mengapa Brasil Tidak Banyak Hasilkan Pelatih Sukses?

spot_img

Sudah rahasia umum kalau Brasil selalu menghasilkan talenta berbakat di lapangan hijau. Dari era Mauro Silva hingga Casemiro. Mulai sosok Dida sampai Ederson Moraes. Dan tentu saja, dari seorang Pele sampai kini kita mengenal Neymar, Vinicius Junior, sampai Endrick Felipe.

Namun, walau kata banyak orang sepak bola telah merasuk ke dalam nadi masyarakat di mana patung Kristus Penebus berdiri, tapi nyatanya Brasil tidak melahirkan banyak pelatih sukses. Coba sebutkan siapa pelatih Brasil yang sukses, katakanlah di kancah Eropa.

Nyaris tidak ada! Meskipun Selecao masih bisa dilatih oleh pelatih lokal. Tapi belakangan ini pelatih Brasil yang melatih tim nasionalnya, dari segi prestasi ya, gitu-gitu saja. Jadi, mengapa Brasil tidak banyak menghasilkan pelatih sukses?

Tak Banyak yang Sukses di Eropa

Diakui atau tidak, sedikit pelatih dari Brasil yang merengkuh kesuksesan, terutama di benua dengan kultur sepak bola modern yang kuat seperti Eropa. Mari kita mengabsennya satu per satu. Betul bahwa Real Madrid pernah ditukangi pelatih asal Brasil, Vanderlei Luxemburgo. Namun, ia hanya sebentar melatih. Berkonflik dengan para pemain dan perseteruannya dengan sang presiden membuat masanya di Santiago Bernabeu tidak sampai satu tahun.

Publik sepak bola pasti mengenal Luiz Felipe Scolari. Ia sosok pelatih sukses yang mengantarkan gelar Piala Dunia kelima bagi Timnas Brasil. Scolari juga sukses di level internasional kala melatih Timnas Portugal.

Ia mengantarkan Selecao cabang Eropa ke final EURO 2004 dan semifinal Piala Dunia 2006. Tapi lihatlah bagaimana ia membesut tim Eropa sekelas Chelsea. Scolari hanya mendapat julukan “Big Phil” tapi kariernya kurang sukses.

Pelatih lainnya, Carlos Alberto Parreira hanya berhasil di Turki saat membawa Fenerbahce juara Liga Turki. Zico juga sama, ia mengantarkan tim Turki itu ke perempat final Liga Champions, tapi gagal ketika melatih Olympiakos. Abel Braga bahkan hanya 16 laga melatih Marseille.

Salah satu yang bisa dibilang lumayan sukses adalah Leonardo Araujo. Ia pernah membawa Inter jadi runner-up Serie A dan meraih trofi Coppa Italia. Namun, ia memilih mundur dan pergi ke mantan timnya, Paris Saint-Germain untuk jadi direktur olahraga dan kini juga dipecat.

Berbeda dengan Argentina

Nasib yang jauh berbeda dialami pelatih-pelatih dari Argentina. Kendati Brasil dan Argentina sama-sama petelur pesepakbola hebat, tapi Argentina terasa lebih lengkap. Sebab Negeri Tango juga menelurkan pelatih-pelatih berbakat.

Marcelo Bielsa jadi salah satu disegani di Eropa. Diego Simeone bahkan sukses menyulap Atletico Madrid jadi tim kuat di Eropa. Mauricio Pochettino juga. Ia mengangkat martabat Tottenham Hotspur di kancah Eropa. Ya walaupun di final kalah juga. Lalu, oh siapa yang tak kenal Lionel Scaloni?

Nama-nama tadi menunjukkan Brasil masih cukup tertinggal dari Argentina soal pelatih. Kembali lagi pertanyaan awal, mengapa hal itu bisa terjadi? Apa yang bikin Brasil begitu sulit hasilkan pelatih hebat?

Kesenjangan Budaya

Terdapat kesenjangan budaya antara Brasil dengan negara lainnya, katakanlah negara-negara Eropa. Kesenjangan inilah yang bikin pelatih Brasil sulit untuk keluar dari negaranya sendiri. Sebetulnya tidak sedikit kok pelatih yang luar biasa dari Negeri Samba.

Namun, kehidupan mereka hanya berkutat di Liga Brasil saja. Terkadang para pelatih Brasil itu, terutama yang punya catatan mentereng hanya pindah dari satu klub besar ke klub besar lainnya di Brasil. Ambil contoh Oswaldo de Oliveira.

Ia menukangi hampir setiap klub besar di Brasil: Fluminense, Corinthians, Flamengo, sampai Santos. Kesenjangan budaya ini juga berkaitan dengan bahasa. Tak sedikit pelatih profesional dari Brasil yang tidak cakap berbahasa Inggris. Hal itulah yang bikin para pelatih Brasil sulit berkomunikasi.

Tidak sampai di sana, perbedaan kultur sepak bola juga jadi masalah. Sepak bola Brasil sering mengandalkan kemampuan individu, sedangkan sepak bola Eropa menekankan kemampuan taktik dan reading the game.

Realitas Kejam Sepak bola Brasil

Kendati disebut negara sepak bola, tapi sepak bola Brasil terbilang kejam. Bahkan muncul kredo yang menyebut bahwa pelaku sepak bola Brasil hidup miskin di negara sepak bola. Kekejaman sepak bola Brasil tercermin dari kompetisi liganya.

Kompetisi di Brasil sangat ketat dan penuh tekanan. Hal ini bikin para pelatih lokal sulit untuk berkembang. Jangankan berkembang, untuk survive saja sulit. Para pelatih Brasil yang melatih tim lokal rentan dipecat.

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan Business of Sport menunjukkan, selama tahun 2003 sampai 2018, rata-rata pelatih Liga Utama Brasil dipecat setelah 15 laga. Bahkan pada 2019 ada 4 pelatih yang dipecat di Liga Brasil hanya dalam kurun waktu 24 jam.

Jika tekanan dari segi kompetisi saja barangkali sama dengan Liga Inggris. Tapi masalahnya, gaji pelatih di Brasil sangatlah sedikit. Dalam laporan ESPN, para pelatih muda di Brasil bahkan bergaji rendah. Karena tak mampu bersaing di kultur Eropa, para pelatih dari Brasil yang lumayan sukses memilih terbang ke negara Timur Tengah.

Itu berkaitan dengan finansial. Sebab pelatih dari Brasil bisa mempunyai gaji tinggi ketika melatih di Timur Tengah. Yang gagal bersaing di Timur Tengah? Kebanyakan memilih pergi ke Asia. Maka dari itu kita kedatangan sosok seperti Jacksen F Tiago sampai Stefano Cugurra.

Karier Tidak Jelas

Berkiprah di dunia kepelatihan di Brasil merupakan perjudian. Sebab tidak seperti pesepakbola, karier seorang pelatih di Brasil tidak menentu. Hal itu diakui oleh salah satu pelatih dari Brasil, Bruno Pivetti.

Ia yang kini menukangi tim Serie B Brasil, Chapecoense mengatakan kepada Sky Sports bahwa bekerja sebagai pelatih di Brasil tidak menguntungkan kariernya. Menurutnya, manajemen klub Brasil yang toksik menghambat perkembangan karier seorang pelatih.

“Ada budaya mengakar di klub Brasil untuk memecat pelatih yang buruk. Ini mengarah pada situasi absurd yang terjadi karena budaya ketidaksabaran dan keyakinan yang lemah,” kata Pivetti dikutip Sky Sports.

Sudahlah tekanannya tinggi, gaji sedikit, pelatih Brasil juga harus mempertaruhkan kesehatannya. Seperti yang dialami pelatih Santos saat masih ada Neymar, Muricy Ramalho. Ia yang dijanjikan bakal gantikan Dunga di Timnas Brasil justru pensiun karena masalah jantung. Ujung-ujungnya profesi pelatih pun jadi tidak populer di Brasil.

Solusi

Lantaran tak populer, tidak banyak pelatih terkenal dari Brasil. Para pelatih dari Brasil baru akan terkenal ketika ia melatih tim nasional. Coba kalau Tite tidak melatih Tim Samba, apa kita bakal mengenalnya? Nahasnya lagi para pelatih Brasil sering kali cuma jadi serep saja.

Masalah lainnya muncul kala pelatih dari Brasil sulit memperoleh lisensi kepelatihan karena kondisi ekonomi tidak mendukung. Biaya lisensi pelatih sangat tinggi. Di Eropa saja untuk mendapatkan lisensi UEFA Pro butuh duit sekitar 16 ribu pounds (Rp293 juta).

Sementara untuk mendapatkan lisensi AFC Pro butuh biaya sekitar Rp400 juta. Maka dari itu, Brasil mulai mencari solusi. Pada 2021, federasi sepak bola Brasil (CBF) mengeluarkan aturan baru untuk mengakhiri parade pemecatan pelatih di Brasil dengan membatasinya.

Para pelatih seperti Rogerio Ceni sampai Renato Gaucho diminta membuka kursus PRO Lisensi Akademi CBF yang sudah diakui. Harapannya bisa memenuhi kebutuhan pada pendekatan sepak bola Eropa dan dunia. Namun, sampai saat ini tampaknya masih belum menemui hasilnya.

https://youtu.be/3U239O7ukCM

Sumber: JapanTimes, SambaFoot, Quora, SkySports, ESPN, BusinessofSport

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru