Pada 21 September 2000, Ajax menghadapi wakil Belgia, Gent di fase gugur Piala UEFA. Sampai menit ke-82, Ajax sudah unggul 4-0. Memasuki 10 menit terakhir, De Godenzonen belum mengendurkan permainannya. Adalah pemuda 17 tahun mencetak gol kelima bagi Ajax. Pemuda itu Rafael Van der Vaart.
Momen menghadapi Gent membuat namanya makin keras diteriakkan pendukung Ajax. Van der Vaart digembar-gemborkan akan menjadi sosok superstar hasil akademi Ajax.
Betul ia jadi bintang. Bintang yang hanya dibutuhkan untuk menerangi malam. Sementara jika matahari sudah menampakkan sinarnya, bintang itu mulai redup. Seperti bintang yang setia pada langit, Van der Vaart selalu setia pada klub yang dibelanya.
Namun, kesetiaan yang diberikannya justru dibalas pengkhianatan oleh klub-klub yang ia bela. Bahkan oleh orang yang paling ia sayangi. Sungguh miris sekali nasib pemain yang satu ini.
Daftar Isi
Berkiprah di Ajax
Pemuda Belanda itu bukanlah pemain yang diberkati banyak kesempatan. Tanah kelahirannya, Heemskerk hanya berupa kota kecil. Bahkan populasinya tak lebih banyak dari kapasitas Stamford Bridge. Tapi itu hanyalah lokasi. Toh, Van der Vaart punya tekad yang bulat.
Keyakinannya seperti baja. Ia terus berlatih, mengolah kekuatan kakinya. Membuatnya jadi seorang pemain yang punya kreativitas yang luar biasa. Akademi Ajax akhirnya kepincut untuk menjadikannya salah satu pemain hebat.
De Godenzonen melihat pemuda kelahiran Heemskerk itu sebagai aset masa depan. Lebih-lebih gaya permainannya yang mengambang bebas serta gerak kaki yang berbudaya itu dianggap mirip dengan Johan Cruyff. Van der Vaart mengalami perkembangan signifikan selama masanya di akademi De Godenzonen.
Van der Vaart tumbuh bersama pemuda-pemuda Ajax lainnya, seperti Wesley Sneijder dan John Heitinga. Selama di akademi bakatnya makin bersemi. Kemampuannya dalam memanipulasi bola menonjol sejak remaja.
Making his debut in 2000, van der Vaart went on to make over 150 appearances for the club, scoring over 60 goals before leaving Ajax to join Hamburg in 2005. Brilliant player! pic.twitter.com/BzlqigGcuu
— FOOTBALL TRIVIA 365 (@PlayFT365) January 25, 2022
Memasuki tahun 2000, Van der Vaart naik ke tim senior. Musim penuh pertamanya di tim senior terbilang legit dengan torehan 9 gol. Ledakan remaja itu pun tak terbendung di musim berikutnya.
Musim 2001/02, Ajax dibawanya juara Eredivisie. Tidak hanya itu, ia mengakhiri musim sebagai top skor klub dengan catatan 17 gol di segala kompetisi. Kiprah apiknya juga diganjar penghargaan Talent of The Year Belanda musim itu. Walaupun sang gelandang menderita cedera serius dan melewatkan sebagian pertandingan Ajax.
Disingkirkan Sneijder
Ciri khas permainan Van der Vaart adalah kecepatan berpikir dan sentuhan pertama yang manis. Ia juga klinis dalam membaca arah bola, mengalirkannya ke depan, dan tentu saja bisa menemukan ruang untuk mengambil kesempatan mencetak gol.
Masalahnya, kiprahnya tidak seindah apa yang dibayangkan. Ia lagi-lagi harus mengakrabi cedera pada musim 2002/03. Kendati tetap produktif dengan mengemas 22 gol dari 33 pertandingan. Jumlah yang lebih dari cukup untuk mengantarkannya pada penghargaan Golden Boy saat usianya belum 21 tahun.
Kemunculan Zlatan Ibrahimovic di Ajax mengancam situasi Van der Vaart. Bahkan situasi itu bikin hubungan keduanya renggang. Persaingan antara Ibra dan Van der Vaart meletus setelah pertandingan antara Swedia vs Belanda.
Pemain Swedia itu dianggap mencelakai Van der Vaart. Lalu Ajax justru memilih melego Ibrahimovic ke Juventus. Van der Vaart bertahan di Ajax. Pada musim 2004/05 ia jadi kapten. Akan tetapi perjalanan menyedihkannya tidak berhenti sampai di situ.
Ajax mempromosikan Sneijder dan ia menunjukkan penampilan impresif. Posisinya mengancam Van der Vaart. Namun, pria kelahiran Heemskerk itu tak merasa demikian. Ia bukan gelandang yang egois. Tidak masalah ia berbagi tempat dengan Sneijder.
A REMINDER:
— Football Remind (@FootballRemind) September 4, 2020
Wesley Sneijder (@sneijder101010) and Rafael van der Vaart (@rafvdvaart) playing for Ajax in 2003. Both played in the clubs famous academy. Fantastic players 🔴⚪️ pic.twitter.com/Eip9O8dpTZ
Sejak kemunculannya tahun 2003, Sneijder sudah menyita perhatian Ronald Koeman, pelatih Ajax kala itu. Koeman punya dua pemain dengan tipe dan gaya bermain mirip: Sneijder dan Van der Vaart. Pelatih yang suatu saat melatih Barcelona itu tidak bisa mengakomodasi keduanya.
Ia menyukai Sneijder dan menepikan Van der Vaart. Pemain itu akhirnya tersingkir dari skuad Ajax. Kesetiaan Van der Vaart diruntuhkan oleh Ajax itu sendiri. De Godenzonen melepasnya demi memberi ruang pada Sneijder pada musim panas 2005.
Banyak Klub Elit, tapi Memilih Hamburg
Hasrat Ajax untuk membuang Van der Vaart sejatinya tercium tim-tim elite Eropa. Manchester United dan AC Milan adalah dua nama yang siap menampung pemain Belanda itu. Jika kita mengukurnya di masa sekarang, Milan maupun MU adalah klub yang tepat, bahkan sangat tepat bagi Van der Vaart.
Entah di Old Trafford maupun San Siro, bakat Van der Vaart bakal semakin bersinar. Tapi apa yang dipilih Van der Vaart? Ia justru merapat ke klub yang lebih semenjana, Hamburger SV di Bundesliga. Jelas keputusannya memilih Hamburg menimbulkan tanya.
Rafael van der Vaart had two spells playing in Germany with Hamburg. Joining Hamburg in 2005 from Ajax and later rejoining in 2012, Van de Vaart went on to make 199 appearances for the club. scoring 66 goals and helped Hamburg win the 2005 and 2007 UEFA Intertoto Cup. pic.twitter.com/3O3C1x8gHT
— FOOTBALL TRIVIA 365 (@PlayFT365) August 29, 2020
Mendiang Johan Cruyff dibuat terkejut dengan keputusan itu. Ia sampai menulis sebuah kolom di De Telegraaf, bahwa ia tak menyangka Van der Vaart memilih Hamburg. Namun seiring waktu, pilihannya tidak salah. Ia tampil gemilang di Hamburg.
Sebentar saja gelandang lincah itu jadi primadona di Bundesliga. Ia jadi kapten dan di musim pertamanya, Hamburg dibawanya ke Liga Champions. Tiga musim di Jerman, sang gelandang mengemas 48 gol dalam 113 penampilan. Memperkuat posisinya di hati pendukung Hamburg.
Dibuang Hamburg
Ibarat seorang Messiah, Van der Vaart mengangkat martabat Hamburg. Tapi menyedihkan sekali. Pahlawan Hamburg itu justru diasingkan klubnya sendiri. Tahun 2008, ia dijual ke Real Madrid yang berani menawarnya 15 juta euro (Rp244 miliar).
Soal bagaimana ia dikhianati di Real Madrid, kita bahas nanti. Nah, setelah di Real Madrid, ia dibeli Tottenham Hotspur. Penampilannya luar biasa di sana. Ia mencetak 28 gol dan 18 asis dari 77 laganya selama berseragam Spurs.
Ia lantas pulang ke Hamburg. Tapi rumah yang harusnya jadi tempat ternyaman justru menyebalkan. Nyatanya Van der Vaart lagi-lagi dikhianati Hamburg. Pada musim 2013/14 ia hanya mengemas 7 gol dan 9 asis. Lambat laun penampilannya pun mengempis.
Musim itu Hamburg juga sangat buruk. Mereka hanya bisa menghindari degradasi. Sementara pada musim selanjutnya, pemain Belanda itu makin kacau. Alih-alih mencetak gol maupun asis, ia justru mengumpulkan 7 kartu kuning.
HSV-trainer Josef Zinnbauer heeft medelijden met bankzitter Rafael Van der Vaart. http://t.co/aH9wBQcMNs pic.twitter.com/Q30wuRoQVh
— ESPN NL (@ESPNnl) March 17, 2015
Rasa frustrasi mendidih di kepalanya. Ia tak bisa berkembang lebih baik lagi. Namun Van der Vaart tetap bertahan di Hamburg. Walau pihak Hamburg tak sudi mempertahankannya. Pada Februari 2015, ia bahkan sudah dihapus dari skuad Josef Zinnbauer.
Meski kontraknya tersisa 12 bulan. Dilansir Sky Sports, Van der Vaart tetap ingin bertahan. Kecintaannya pada klub dan suporter yang mendorongnya. Tapi Hamburg berkehendak lain. Sekali harus pergi, ya pergi. Van der Vaart yang kala itu berusia 32 tahun pun terpaksa meninggalkan Imtech Arena untuk kedua kalinya.
Pengkhianatan di Real Madrid
Sebelum menjadi anak buah Harry Redknapp, Van der Vaart sudah merasakan pengkhianatan di Real Madrid. Penampilannya di Bernabeu memang tidak bagus-bagus amat. Ia ‘hanya’ mengantarkan Los Blancos juara La Liga musim 2008/09.
Florentino Perez yang mengusung era baru Galacticos mesti merombak Real Madrid. Sebagian pemain terancam dan memilih pindah, termasuk Sneijder, Robben, dan Huntelaar. Sementara Kaka, Benzema, dan Cristiano Ronaldo datang. Van der Vaart memilih bertahan.
Y como tengo tiempo libre antes de escribir un artículo voy a explayarme. Mira, Rafael Van der Vaart, jugador del Madrid, también tuvo cuernos, concretamente de su novia Sylvie. Él la estaba apoyando mientras ella tuvo cáncer, parecían una pareja increíble. Pero no. pic.twitter.com/JlNE1J7q49
— Jacobín (@QarlD) September 17, 2019
Walaupun ia tahu persaingan akan semakin ketat. Tapi ia memilih bertahan tiada lain justru demi sang istri. Sylvie Meis yang dinikahinya pada 2006 menderita kanker payudara pada 2009 dan harus dirawat di Madrid.
Van der Vaart pun rela jarang dimainkan Real Madrid. Tapi pengorbanan itu dibalas pengkhianatan dari sang istri. Sylvie selingkuh dengan seorang pilot tahun 2010. Kelakuan busuk sang istri dipergoki Van der Vaart melalui email yang ia baca sendiri.
Konfliknya dengan sang istri kian meruncing. Tahun 2013, Van der Vaart memutuskan berpisah dengan Sylvie. Sebelumnya, tahun 2010, ia sudah dilepas oleh Real Madrid. Sempat membela beberapa klub seperti Real Betis hingga Midtjylland, pada tahun 2018 ia memilih pensiun dan sempat beralih profesi jadi atlet dart.
Sumber: TheFootballFaithful, BR, TheGuardian, TheseFootballTimes, SkySports, DailyMail, FTBL