Istanbul dan Dominasinya di Liga Turki, Bisakah Diruntuhkan?

spot_img

Sejak bergulir pada 1959, sudah ada 73 klub yang berkompetisi di Super Lig Turki. Namun, hingga hari ini, baru ada 6 tim yang pernah merasakan menjadi juara. Alasannya cuma satu, yakni kota Istanbul dan dominasinya di Liga Turki.

Istanbul adalah kota terbesar di Turki. Sebagian wilayahnya yang terletak di Eropa dan Asia menjadikan Istabul berada di lokasi yang sangat strategis. Kota ini jadi pusat sejarah, budaya, dan ekonomi bagi negara Turki.

Selain itu, kota Istanbul juga jadi pusatnya sepak bola Turki. Sekadar informasi, di Turki, sepak bola tak hanya sekadar olahraga nomor satu, tetapi juga bagian dari kultur. Memiliki penggemar yang sangat gila bola, sepak bola di Turki akrab dengan tifo-tifo atraktif, yel-yel yang memekakkan telinga, serta suar dan asap.

Sayangnya, atmosfer kompetisi kasta teratas Liga Turki sangatlah jomplang. Selama bertahun-tahun, mahkota juara Super Lig Turki selalu jatuh ke tangan dari salah satu 3 tim terbesar di negara tersebut, yakni Galatasaray, Fenerbahce, dan Besiktas. Kebetulan, 3 tim tersebut berbasis di kota yang sama, yakni Istanbul.

“The Big Three”, Istanbul, dan Ketimpangan di Super Lig Turki

“Üç Büyükler” alias “The Big Three”, itulah julukan yang disematkan kepada Galatasaray, Fenerbahce, dan Besiktas sebagai 3 klub sepak bola paling sukses di Turki. Dominasi mereka sungguh luar biasa. Dalam 66 musim terakhir, 57 trofi juara Super Lig selalu jadi milik mereka.

Alhasil, membicarakan sepak bola Turki secara tak langsung juga membicarakan 3 tim tersebut. Bagaimana tidak, mengutip dari These Football Times, 80% dari 83 juta penduduk Turki adalah pendukung salah satu dari tiga tim tersebut.

“The Big Three” memang raja di Turki. Galatasaray punya 22 trofi liga, diikuti Fenerbahce dengan 19 trofi, dan Besiktas dengan 16 trofi. Dominasi klub-klub asal Istanbul di Liga Super Turki makin kental dengan juaranya Istanbul Basaksehir di musim 2019/2020.

Dalam sejarahnya, baru ada 2 tim dari luar kota Istanbul yang mampu memutus dominasi “The Big Three”. Mereka adalah Trabzonspor dan Bursaspor.

Trabzonspor adalah klub yang berbasis di kota Trabzon. Mereka sudah menjuarai Liga Turki sebanyak 7 kali. Sementara Bursaspor adalah klub yang berbasis di kota Bursa. Klub ini pernah sekali menjuarai Super Lig di musim 2009/2010.

Keberhasilan dari 2 klub tersebut membuktikan kalau dominasi “The Big Three” bisa diruntuhkan. Lalu, bagaimana cara 2 klub tersebut mematahkan dominasi “The Big Three” di Liga Turki?

Kita mulai dari Bursaspor. Keberhasilan Bursaspor menjuarai Super Lig musim 2009/2010 bisa dibilang sebagai sebuah keajaiban yang sulit terulang. Dengan anggaran yang sangat minim, Bursaspor yang kala itu dilatih Ertugrul Saglam juga tak punya pemain bintang dalam skuadnya. Dengan skuad seadanya dan beberapa pemain muda berbakat Turki, Bursaspor berhasil melangkahi Fenerbahce dengan margin satu poin.

Setelah keberhasilan tersebut, Bursaspor tak pernah lagi meraih trofi di kasta teratas Liga Turki. Mereka perlahan terlupakan usai terdegradasi dari Super Lig di musim 2018/2019. Bahkan mulai musim depan, Bursaspor akan berlaga di TFF Second League atau divisi 3 Liga Turki.

Berikutnya Trabzonspor. Berbeda dengan Bursaspor, Trabzonpor bisa dibilang sebagai tim keempat di Liga Turki. Pasalnya, dari segi prestasi, jumlah koleksi trofi Trabzonspor berada di urutan keempat di bawah Galatasaray, Fenerbahce, dan Besiktas.

Trabzonspor sudah memenangi 7 gelar Super Lig. 6 di anataranya mereka raih di akhir era 70an dan awal 80an. Namun, yang paling menarik adalah gelar juara ketujuh yang baru saja mereka raih di musim 2021/2022. Keberhasilan Trabzonspor memenangkan gelar liga musim lalu bukanlah sebuah kebetulan belaka.

Trabzonspor tampil apik sepanjang musim dengan hanya 3 kali menelan kekalahan dalam 38 pertandingan. Namun, bukan itu saja yang membuat mereka bisa jadi juara. Meski kerja keras Trabzonspor wajib diapresiasi, tetapi keberhasilan mereka juga hadir seiring dengan melemahnya performa “The Big Three”.

Jatuhnya Era “The Big Three” di Liga Turki

Musim 2021/2022 bisa dibilang sebagai jadi musim terburuk bagi “The Big Three”. Besiktas, selaku juara bertahan terlempar dari zona Eropa dan hanya mampu finish di peringkat ke-6. Nasib lebih buruk dialami Galatasaray. Pengoleksi trofi terbanyak Liga Turki itu bahkan sempat bersaing dengan tim-tim zona relegasi sebelum akhirnya finish di posisi ke-13.

Sementara itu, Fenerbahce juga sempat terseok-seok di awal musim. Beruntungnya, jagoan Istanbul bagian Asia itu mampu bangkit dan mengakhiri liga sebagai runner-up di bawah Trabzonspor.

Salah satu yang jadi sebab anjloknya peringkat tim-tim “The Big Three” adalah rekor penampilan tandang mereka yang tak lagi superior. Berdasarkan analisis Opta Analyst, musim lalu, ketiga tim “The Big Three” memiliki rasio poin per pertandingan sebesar 1,04 poin untuk laga away di luar kota Istanbul. Rasio tersebut jadi yang terendah sejak 1979 atau sejak diberlakukannya era 3 poin per pertandingan.

Kejadian langka lainnya adalah pemecatan manajer. Imbas dari buruknya performa di musim 2021/2022, Galatasaray, Fenerbahce, dan Besiktas sama-sama memecat manajer mereka di tengah musim tersebut. Dalam sejarahnya, ini jadi kali kedua bagi “The Big Three” berganti manajer dalam satu musim yang sama setelah 1975/1976.

Kejatuhan “The Big Three” di Super Lig sejatinya sudah diprediksi sejak jauh hari, tepatnya sejak tahun 2018 ketika Turki mulai dilanda krisis keuangan, utang, dan inflasi akibat jatuhnya mata uang Lira.

Krisis keuangan tersebut sejatinya juga membuat klub-klub peserta Super Lig terlilit utang. Mengutip dari dw.com, pada 2018 lalu, 18 peserta Super Lig Turki punya utang lebih dari 2,3 miliar euro. Masalahnya, dua pertiga dari total utang tersebut disumbang oleh Fenerbahce, Galatasaray, Beskitas, dan Trabzonspor.

Namun, “The Big Three” tetap jadi penyumbang utang terbesar. Pasalnya, sebelum bencana keuangan itu terjadi, ketiga penguasa Super Lig itu sudah lebih dulu boros dan mengelola timnya secara tidak sehat.

Ada sebuah stereotipe negatif yang bekembang di Liga Turki. Selama bertahun-tahun, kompetisi kasta teratas di negara tersebut bukanlah tempat yang nyaman bagi pemain muda. Parahnya, dalam beberapa musim terakhirnya, Super Liga seperti bertransformasi menjadi rumah bagi para pemain tua yang akan pensiun.

Klub papan atas Super Lig, khususnya “The Big Three” melakukan transfer besar-besaran untuk memboyong pemain gaek. Nani, Robin van Persie, Pepe, Alvaro Negredo, dan Ricardo Quaresma adalah beberapa pemain tua yang pernah diboyong ke Liga Turki.

Masalahnya bukan soal biaya transfernya, melainkan soal uang yang dibelanjakan untuk menggaji para pemain tua tersebut. Kebijakan transfer yang buruk itulah yang kemudian merugikan keuangan klub-klub papan atas Liga Turki, khususnya “The Big Three”.

Sebagai contoh Besiktas. Pada September 2019, mereka dilaporkan memiliki utang sebesar 280 juta euro. Di periode yang sama, Galatasaray juga punya beban utang sebesar 190 juta euro. Keadaan yang tak jauh beda juga dialami Fenerbahce yang terlilit utang dan mengalami penurunan pendapatan.

Mengutip dari TRTworld.com, kini Fenerbahce memiliki utang sebesar 5,9 miliar lira atau sekitar 321 juta euro. Besiktas membuntuti dengan utang sebesar 5,4 miliar lira atau sekitar 294 juta euro. Sementara Galatasaray punya utang sebesar 4,5 miliar lira atau sekitar 245 juta euro.

Masalah keuangan yang diderita “The Big Three” inilah yang jadi salah satu sebab jatuhnya dominasi mereka di Liga Turki. Meski Trabzonspor yang baru saja juara di musim lalu juga jadi salah satu penyumbang utang terbesar di Liga Turki, tetapi mereka bisa dibilang sebagai klub raksasa yang paling cepat berbenah dan memanfaatkan situasi.

Selain itu, menurut Opta Analyst, setelah pendapatan dari hak siar TV meningkat, persaingan tim-tim di luar “The Big Three” menjadi meningkat. Regulasi baru yang mengizinkan klub untuk mendaftarkan lebih banyak pemain asing juga membuat klub Liga Turki lainnya makin kuat. Kini, para peserta Liga Turki diizinkan memiliki 14 pemain asing dalam satu skuad dan maksimal memainkan 8 pemain asing di atas lapangan.

Keberhasilan Istanbul Basaksehir di musim 2020 dan kemenangan Trabzonspor setelah 38 tahun adalah buah dari jatuhnya era “The Big Three”. Selain itu, kemenangan Sivasspor di Turkish Cup 2022 dan gagalnya Besiktas, Fenerbahce, dan Galatasaray lolos ke kompetisi Eropa untuk pertama kalinya dalam 38 tahun pada musim 2020/2021 jadi bukti meningkatnya persaingan di Liga Turki.

Bagi para pendukung netral, fenomena tersebut jelas jadi sebuah kabar gembira. Persaingan yang makin merata di antara para kontestan juga bisa mengangkat popularitas Super Lig Turki, khususnya di Eropa.

Namun, jangan senang dulu. Dominasi klub Istanbul di Super Lig belum sepenuhnya sirna. Musim 2022/2023 ini, bakal ada 8 klub asal Istanbul di Super Lig. Ini terjadi setelah Umraniyespor dan Istanbulspor sukses promosi dari divisi kedua.

Kita tunggu saja bakal seperti apa peta persaingan di Liga Turki di masa mendatang. Apakah dominasi “The Big Three” akan kembali dapat diruntuhkan dalam waktu dekat?
***
Referensi: Tirto, The Analyst, Breaking The Lines, DW, These Football Times, Trtworld.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru