Highbury dan Memori “The Invincibles” Arsenal yang Sulit Terulang

spot_img

Ada berbagai macam prestasi yang menjadi kebanggaan sebuah klub sepak bola. Ada yang bangga dengan jumlah trofi domestik yang pernah dimenangkan. Ada yang bangga dengan prestasinya di kancah internasional. Dan, ada pula yang bangga dengan rekor di masa lalu yang sulit disamai oleh para rivalnya.

Arsenal adalah salah satu contohnya. Klub berjuluk The Gunners ini punya satu prestasi dan rekor membanggakan di masa lalu yang hingga hari ini sulit untuk disamai oleh para pesaingnya. Apa lagi kalau bukan “The Invincibles”.

Dua dekade silam, tepatnya pada musim 2003/2004, Arsenal berhasil menjuarai Premier League dengan rekor tak terkalahkan sepanjang musim alias unbeaten. Gara-gara ini, The Gunners jadi satu-satunya tim juara yang meraih trofi emas Premier League.

Lalu, bagaimana kisah perjalanan Arsenal di musim tersebut? Dan, apa yang menjadi rahasia Arsenal dalam merengkuh “The Invincibles”?

Ambisi Invincibles yang Ditertawakan

Kita mulai pembahasan kali ini dari otak di balik “The Invincibles”. Siapa lagi kalau bukan Arsene Wenger.

Saat diperkenalkan sebagai manager anyar Arsenal pada musim 1996, Wenger hanya mendapat sedikit antusiasme dari media Inggris. Bahkan konon, para pemain Arsenal pada saat itu juga tak terlalu antusias. Salah satu sebabnya adalah karena Wenger yang berasal dari Prancis adalah orang asing pertama di luar Inggris Raya yang menjadi manager Arsenal.

Namun, Wenger akhirnya jadi manager asing pertama yang membawa Arsenal mengawinkan trofi Premier League dan FA Cup di musim 1997/1998. Prestasi serupa kembali ia ulang di musim 2001/2002, dimana di musim tersebut Arsenal mencatat laga tandang tanpa kekalahan.

Berangkat dari keberhasilan di musim tersebut, Arsene Wenger kemudian berambisi untuk memenangkan gelar juara tanpa tersentuh kekalahan. Saat media mendengar ambisi tersebut, Wenger ditertawakan.

“Saya tidak mengerti mengapa hal tersebut sangat mengejutkan untuk dikatakan. Apakah Anda pikir Manchester United, Liverpool atau Chelsea tidak memimpikannya juga? Mereka sama persis. Mereka hanya tidak mengatakannya karena takut terlihat konyol, tetapi tidak ada yang konyol dalam pekerjaan ini karena kami tahu apa pun bisa terjadi.”

Sekitar sebulan setelah pernyataan tersebut, Arsenal takluk dari Everton di matchday 10 musim 2002/2003. Singkat cerita, Arsenal yang hampir sepanjang musim memimpin liga, harus rela menyerahkan titel juara Premier League kepada rivalnya, Manchester United yang menyalip mereka di 6 pekan terakhir.

Berangkat dari hasil tersebut, beberapa media kemudian memprediksi kalau Arsenal akan kembali gagal untuk merengkuh trofi Premier League. Majalah The Guardian misalnya. Mereka menempatkan The Gunners sebagai unggulan ketiga.

Adalah Manchester United yang jadi unggulan pertama. Selain berstatus juara bertahan, The Red Devils juga jadi tim dengan jumlah belanja terbesar kedua di liga pada saat itu. MU mendatangkan juara dunia 2002, Kleberson, Tim Howard, Eric Djemba-Djemba, serta Cristiano Ronaldo dan Louis Saha.

Sementara itu, unggulan kedua ditempati oleh Chelsea. Penyebabnya adalah The Blues baru saja dibeli oleh miliarder Rusia, Roman Abramovich, senilai 140 juta paun yang pada saat itu menjadi akuisisi terbesar dalam sejarah sepak bola Inggris.

Sudah bisa ditebak, Chelsea kemudian belanja banyak pemain baru. Claude Makelele, Juan Sebastian Veron, Joe Cole, Damien Duff, Wayne Bridge, hingga Adrian Mutu dan Hernan Crespo adalah beberapa rekrutan mahal yang didatangkan The Blues di musim tersebut.
Sedangkan aktivitas transfer Arsenal sendiri bisa dikatakan sepi. Di musim tersebut, Arsenal mulai menghemat pengeluaran mereka demi terwujudnya proyek stadion baru.

The Gunners mendaratkan Jens Lehmann, Johan Djourou, Philippe Senderos, Gael Clichy, Cesc Fabresgas, dan Jose Antonio Reyes yang datang di musim dingin. Dari nama-nama tadi, hanya Jens Lehmann yang masuk dalam susunan tim utama untuk menggantikan David Seaman yang habis kontrak. Sisanya, hanya pemain muda yang duduk di bangku cadangan.

Praktis, starting eleven Arsenal tak mengalami perubahan yang mencolok. Pemain inti tetap bertahan. Lauren, Kolo Toure, Sol Campbell, dan Ashley Cole berdiri di depan Jens Lehmann. Sementara duet kapten Patrick Vieira dan Gilberto Silva diapit oleh Freddie Ljungberg dan Robert Pires di sisi kanan dan kiri lapangan tengah. Sedangkan duet ujung tombak masih diisi pasangan emas, Thierry Henry dan Dennis Bergkamp.

Di bangku cadangan, Wenger juga masih punya Ray Parlour, Edu Gaspar, Martin Keown, Pascal Cygan, Sylvain Wiltord, serta Nwankwo Kanu dan Jeremie Aliadiere.

Berbeda dengan Manchester United yang kehilangan David Beckham, Juan Sebastian Veron, dan Fabien Barthez ataupun Chelsea yang terlalu banyak kedatangan pemain anyar. Kelak, stabilitas tim inilah yang bakal jadi pembeda bagi pasukan Arsene Wenger.

Perjalanan Panjang Arsenal Menuju “The Invincibles”

Sayangnya, Arsenal memulai musim 2003/2004 dengan hasil minor. Tampil di ajang Community Shield sebagai juara bertahan FA Cup, Arsenal takluk dari juara bertahan Premier League, Manchester United. Bermain imbang 1-1 di waktu normal, Arsenal takluk di babak adu penalti.

Sebuah hasil yang membuat Wenger tak senang. Namun, target dan ambisnya tetap tidak berubah.

“Pada awal musim 2003/04, para pemain mengatakan bahwa saya telah memberikan tekanan yang terlalu besar kepada mereka dengan meminta mereka untuk tidak kalah dalam satu pertandingan pun. Tetapi saya berkata: ‘Saya pikir Anda bisa melakukannya, Anda hanya perlu benar-benar ingin melakukannya. Terkadang Anda perlu menaruh benih ide di dalam otak setahun lebih awal, lalu bersabar sampai ide itu muncul.”

Arsenal kemudian membuka Premier League musim 2003/2004 dengan hasil sempurna. Meraih 4 kemenangan beruntun atas Everton, Middlesbrough, Aston Villa, dan Manchester City sudah membuat The Gunners jadi pemuncak klasemen sementara di pekan keempat, unggul 3 poin dari Manchester United.

Setelah itu, Arsenal meraih hasil seri 1-1 ketika menjamu Portsmouth di kandang. Sebuah modal yang kurang bagus untuk menghadapi laga-laga berikutnya. Pasalnya, di matchday 6, Arsenal harus bertandang ke markas Manchester United.

Duel panas pun tersaji. Menurunkan para pemain terbaiknya, laga tersebut pada awalnya berjalan membosankan dengan begitu banyaknya peluang yang terbuang sia-sia. Barulah di 10 menit terakhir, laga yang dijuluki “Battle of Old Trafford” tersebut berubah menjadi brutal.

Di menit ke-81, wasit mengusir Patrick Vieira yang mendapat kartu kuning kedua usai terlibat insiden dengan Ruud van Nistelrooy. Insiden tersebut kemudian memicu perkelahian antarpemain kedua tim.

Arsenal sendiri sebetulnya nyaris kalah. Di masa injury time, Martin Keown melanggar Diego Forlan di kotak penalti. Beruntung, sepakan Van Nistelrooy membentur mistar gawang. Mengutip kata-kata Robert Pires, “Ketika Ruud van Nistelrooy gagal mengeksekusi penalti, semua orang sangat senang – terutama Martin Keown! Dia terlihat siap untuk membunuh.”

Setelah itu, Arsenal meraih poin sempurna di 3 laga beruntun melawan 3 tim kuat yang dianggap Wenger sebagai “pesaing juara”. Di matchday 7, Arsenal sukses mengatasi perlawanan Newcastle United dengan skor 3-2, lalu di matchday 8 menang 2-1 atas Liverpool di Anfield, kemudian di matchday 9 menang 2-1 atas tim bertabur bintang, Chelsea.

The Gunners kemudian menutup 10 pertandingan pembuka Premier League dengan hasil imbang 1-1 di kandang Charlton Athletic. Hasil tersebut membuat Arsenal untuk sementara masih menjadi pimpinan klasemen. Mengumpulkan 24 poin, pasukan Arsene Wenger cuma unggul 1 poin dari Chelsea yang naik ke peringkat kedua menggeser Manchester United.

Sayangnya, di akhir paruh musim pertama, The Gunners gagal mempertahankan posisi puncak. Total, hingga pekan ke-19, Arsenal telah mengumpulkan 45 poin, berjarak 1 poin dari pimpinan klasemen Manchester United dan unggul 3 poin dari Chelsea.

Arsenal memang masih tak terkalahkan. Namun, 9 pertandingan terakhir di kalender tahun 2003, pasukan Arsene Wenger cuma menang 6 kali dan 3 kali imbang ketika menghadapi Fulham, Leicester City, dan Bolton Wanderers.

Pada laga pembuka awal tahun 2004, Arsenal kembali gagal memetik poin sempurna di kandang Everton. Hasil tersebut membuat jarak Arsenal dengan pimpinan klasemen sementara, Manchester United melebar menjadi 3 poin.

Momentum kemudian didapat pasukan Arsene Wenger di pertandingan pekan ke-21. Menjamu Middlesbrough di kandang, Arsenal berhasil meraih kemenangan dengan skor telak 4-1. Sementara itu, di tempat lain, Manchester United ditahan imbang Newcastle United.

Setelah pertandingan tersebut, laju Arsenal sulit dihentikan. Pada laga pekan ke-24, Arsenal berhasil meraih kemenangan tandang kontra Wolverhampton Wanderers. Lewat gol-gol yang dipersembahkan oleh Dennis Bergkamp, Thierry Henry, dan Kolo Toure, The Gunners menang 3-1.

Kemenangan tersebut membuat pasukan Arsene Wenger mencatat 24 pertandingan beruntun tak terkalahkan sejak awal musim, sekaligus memecahkan rekor klub. Sebelumnya, jumlah laga unbeaten terbanyak yang dicatat Arsenal sejak awal musim hanyalah 23 laga yang terjadi di era George Graham pada musim 1991.

Dua pekan setelah kemenangan tersebut, The Gunners kembali meraih kemenangan krusial tatkala bertandang ke Stamford Bridge yang terkenal angker. Tertinggal oleh gol cepat Eidur Gudjohnsen ketika laga baru berjalan 27 detik, Arsenal sukses membalikkan kedudukan lewat gol Patrick Vieira dan Edu Gaspar di menit ke-15 dan 21.

Di menit ke-60, Gudjohnsen diusir keluar lapangan usai menerima kartu kuning kedua. Sejak saat itu, serangan Chelsea mengendur. Dengan skor 2-1, Arsenal pun pulang dari Derby London dengan membawa 3 poin.

Tren kemenangan Arsenal tersebut terus berlanjut hingga pekan ke-29. Total, 9 kemenangan beruntun berhasil mereka raih sejak awal tahun 2004 dan membuat Arsenal kembali mengkudeta puncak klasemen. Mereka berhasil mengumpulkan 73 poin, unggul 9 poin dari Chelsea dan 12 poin dari Manchester United.

Tanpa terasa, menjelang 9 pertandingan terakhir, laju Arsenal di Premier League tampak makin sulit dihentikan. Arsenal yang tadinya tak lebih diunggulkan ketimbang MU atau Chelsea, kini terlihat sebagai penantang tunggal.

Di saat yang sama, Arsenal sebetulnya juga berpeluang meraih treble winner. Sayangnya, mereka kandas di semifinal Piala FA dari Manchester United dan kalah di perempat final Liga Champions dari Chelsea.

Jadwal yang padat sejak awal tahun hingga bulan April memang sempat mempengaruhi performa Arsenal. Namun, laju mereka menuju titel juara Premier League tetap konsisten. Konsistensi inilah yang menjaga asa Arsenal untuk menjadi juara tetap terjaga.

Pada laga pekan ke-30, ujian berat kembali dihadapi Arsenal tatkala harus menjamu Manchester United. Tanpa Ashley Cole dan Dennis Bergkamp, The Gunners unggul terlebih dahulu lewat sepakan jarak jauh Thierry Henry di menit ke-50. Sayangnya, keunggulan tersebut sirna usai Louis Saha mencetak gol penyama kedudukan di menit ke-86.

Hasil imbang tersebut membuat Sir Alex Ferguson tak senang. Dan, dalam sebuah wawancara pasca-pertandingan, Ferguson secara tersirat mengibarkan bendera putih.

Sir Alex Ferguson berkata, “Kami tertinggal 12 poin dari Arsenal dan mereka akan terus melaju dan memenangkan liga, saya yakin itu. Mereka bermain dengan determinasi tinggi dan mereka harus memenangkannya sekarang dengan hanya delapan pertandingan tersisa.”

Di sisi lain, hasil imbang melawan Manchester United pada 28 Maret 2004 tersebut membuat Arsenal mencatat 30 laga tanpa kekalahan di Premier League. Sebuah catatan yang kala itu berhasil menciptakan rekor baru jumlah laga tanpa kekalahan terbanyak di Inggris yang sebelumnya jadi milik Leeds United dan Liverpool.

Setelah itu, ujian berat kembali harus dihadapi Arsenal di laga pekan ke-31. Kedatangan Liverpool sebagai tamu, Arsenal mendapat perlawanan sengit. Bahkan saat turun minum, The Gunners tertinggal 1-2.

Beruntung, mereka punya Thierry Henry. Di laga tersebut, Henry menggila. Hattrick dari Henry plus satu gol dari Robert Pires membuat Arsenal sukses melakukan comeback dan berbalik menang dengan skor 4-2.

Dua pekan berikutnya, tepatnya di matchday 33, Henry kembali menggila. Ia mencetak 4 gol saat Arsenal sukses membantai Leeds United 5 gol tanpa balas. Saat itu, momentum besar dimiliki oleh The Gunners.

Ketika Arsenal baru mau menjalani laga pekan ke-34, para pesaing mereka sudah menjalani laga ke-35. Dan, kebetulan, Chelsea selaku pesaing terdekat mereka, terpeleset di pekan-pekan krusial. Puncaknya, The Blues takluk 1-2 di kandang Newcastle United pada laga ke-35.

Saat itu, posisi Arsenal dengan Chelsea berjarak 9 poin. Artinya, The Gunners hanya perlu mendulang 1 poin di laga pekan ke-34 untuk mengunci gelar juara Premier League. Dan, skenario indah pun telah menanti The Gunners.

Pasalnya, Arsenal bakal melawat ke markas Tottenham Hotspur dalam laga North London Derby. Jika berhasil mewujudkan misinya, Arsenal bakal berpesta di kandang rival bebuyutan mereka tersebut. Spurs tentu tak mau melihat rivalnya tersebut menggelar pesta di White Hart Lane. Perlawanan sengit pun dihadirkan.

Arsenal mampu unggul 2-0 di babak pertama lewat gol Patrick Vieira dan Robert Pires. Spurs lalu membalas lewat gol Jamie Redknapp di menit ke-62. Kemenangan Arsenal yang sudah di depan mata kemudian sirna tatkala Robbie Keane mencetak gol penyama kedudukan di masa injury time.

Comeback yang dilakukan Tottenham memang patut diapresiasi. Akan tetapi, usaha tersebut tak cukup untuk mencegah rivalnya menggelar selebrasi perayaan gelar juara Premier League di White Hart Lane. Mengutip perkataan Ray Parlour, para steward sebetulnya melarang para pemain Arsenal untuk menggelar selebrasi juara di White Hart Lane.

Namun, imbauan tersebut tak diindahkan. Selebrasi meriah di kandang yang kosong tersebut tetap digelar. Ini jadi kali kedua bagi Arsenal dinobatkan sebagai juara liga di kandang rivalnya tersebut setelah tahun 1971.

Dengan empat laga tersisa, Arsenal hanya perlu menjaga konsistensi agar dapat mengakhiri musim dengan rekor unbeaten. Arsene Wenger pun sukses mewujudkan ambisinya. Di 4 laga tersisa, The Gunners masih tak tersentuh kekalahan.

Kemenangan kandang 2-1 atas Leicester City di pekan pamungkas jadi akhir perjalanan indah Arsenal merengkuh gelar juara Premier League musim 2003/2004. Dengan raihan 90 poin, hasil dari 26 kali menang dan 12 kali imbang, serta tak sekalipun tersentuh kekalahan, The Gunners jadi tim pertama sejak Preston North End pada musim 1888/1889 yang sukses melewati satu musim liga tanpa kekalahan.

Saat itu, The Gunners keluar sebagai tim terpoduktif di liga dengan 73 gol sekaligus menjadi tim dengan pertahanan terbaik usai hanya mencatat 26 kebobolan di sepanjang musim. Musim “The Invincibles” Arsenal makin lengkap setelah Arsene Wenger dinobatkan sebagai pelatih terbaik dan Thierry Henry sebagai MVP. Di musim tersebut, Henry memang sedang berada di masa prime-nya dan musim tersebut juga jadi musim terbaiknya, di mana striker asal Prancis tersebut sukses membukukan 30 gol di Premier League.

Selain Henry, Robert Pires, Patrick Vieira, Ashley Cole, Lauren, dan Sol Campbell juga masuk dalam jajaran tim terbaik. Selain itu, Arsenal sendiri juga diberi penghargaan Premier League Fair Play Award.

Trofi Emas Premier League

Tepat setelah kemenangan atas Leicester City di laga pamungkas musim 2003/2004, Arsenal merayakan musim sempurna mereka dengan parade bus atap terbuka. Konon, parade kemenangan yang dimulai dari Highbury dan berakhir di Balai Kota Islington tersebut dihadiri lebih dari 250 ribu fans.

Sebelum pertandingan kandang pembuka di musim 2004/2005, otoritas Premier League kemudian menyerahkan trofi replika emas kepada Arsenal atas pencapaian mereka di musim 2003/2004. Hingga hari ini, baru Arsenal saja yang punya trofi emas Premier League.

Rekor unebaten The Gunners sendiri masih berlanjut hingga musim 2004/2005. Rekor manis tersebut baru terhenti ketika Arsenal takluk dari Manchester United pada 24 Oktober 2004. Laga kontroversial yang dijuluki “Battle of the Buffet” atau lebih dikenal dengan sebutan “Pizzagate” tersebut berakhir dengan kemenangan 2-0 untuk MU. Hasil tersebut mengakhiri rekor unbeaten Arsenal selama 49 pertandingan Premier league yang sudah berlangsung sejak bulan Mei 2003 hingga Oktober 2004.

Arsenal sendiri gagal mempertahankan gelar juara mereka di dua musim berikutnya. Dan, seperti yang kita tahu, hingga hari ini, The Gunners belum lagi juara Premier League.

Jiwa Arsenal Tertinggal di Highbury

Arsene Wenger dan Thierry Henry memang jadi figur sentral dalam keberhasilan Arsenal meraih predikat “The Invincibles”. Akan tetapi, ada faktor lain yang jauh lebih krusial. Kehadirannya menjadi rahasia Arsenal dapat meraih gelar juara Premier League tanpa tersentuh kekalahan.

Adalah Arsenal Stadium atau lebih populer dengan nama “Highbury”. Stadion berjuluk “Home of Football” yang telah jadi kandang Arsenal sejak September 1913 tersebut adalah eleman penting dalam sejarah kesuksesan The Gunners. Saat bermarkas di stadion inilah, The Gunners merengkuh banyak prestasi.

10 Piala FA, 2 Piala Liga, 12 Community Shield, 1 Piala Winners, dan 13 gelar Juara Liga Inggris termasuk “The Invincibles” diraih Arsenal saat bermarkas di Highbury. Pada zamannya, Highbury memang jadi stadion yang angker bagi tim manapun yang bertandang.

Highbury memang stadion yang unik dan berbeda dengan stadion-stadion lainnya di Inggris. Stadion ini terkenal akan dimensi lapangannya yang kecil yang hanya berukuran 100×67 meter saja. Tidak menyalahi aturan, hanya saja bisa dibilang minimalis. Meski kecil, tetapi lapangan stadion Highbury terkenal akan perawatannya yang amat bersih dan rapi.

Selain dimensi lapangan yang kecil, jarak antara tribun penonton dengan lapangan juga amat dekat. Setiap teriakan dari tribun penonton akan langsung terdengar jelas. Atmosfir tersebut sangat menguntungkan bagi para pemain Arsenal. Ada kedekatan emosional antara pemain dan pendukung yang hadir. Suasana di dalam stadion juga jadi terasa hidup.

Namun sebaliknya, bagi tim tamu, atmosfir stadion yang semacam itu tentu sangatlah mencekam dan memberi tekanan berat. Alhasil, Highbury pun dikenal sebagai stadion yang angker bagi lawan-lawan Arsenal. Sayangnya, situasi dan kondisi memaksa Arsenal harus berpisah dengan Highbury.

Pada masa primanya, Highbury bisa menampung hingga lebih dari 60 ribu penonton. Seiring dengan berbagai renovasi yang dilakukan, Highbury hanya punya kapasitas 57 ribu penonton saja di awal era 90an. Lalu, selepas tragedi Hillsborough dan terbitnya “Taylor Report” serta regulasi baru Premier League yang mengharuskan seluruh tribun stadion di Inggris menjadi all-seater, kapasitas Highbury berkurang menjadi 38.419 kursi saja pada awal musim 1993/1994.

Kapasitas tersebut terbilang kecil bagi klub sebesar Arsenal. Apalagi, di ajang Liga Champions, kapasitas Highbury harus kembali dikurangi untuk mengakomodasi papan iklan tambahan. Gara-gara ini, Arsenal pernah sampai menyewa Wembley selama 2 musim, tepatnya pada 1998 hingga 2000 hanya untuk berlaga di UCL.

Kondisi tersebut tentu merugikan Arsenal secara finansial. Sebab, The Gunners jadi tidak bisa memaksimalkan pendapatan mereka dari sektor pertandingan.

Di sisi lain, Highbury sendiri harus segera direnovasi agar dapat memenuhi regulasi keamanan stadion yang baru. Kemiringan tribun penonton harus lebih kecil dan jarak antara tribun dan lapangan harus dilebarkan agar ambulans bisa masuk ke dalam. Bukannya tak mau atau tak mampu untuk melakukan renovasi, tetapi Highbury sendiri memang sudah mentok.

Modernisasi Highbury sulit dilakukan karena dua faktor. Pertama, tribun East Stand masuk dalam kategori “bangunan terdaftar” yang mendapat perlindungan khusus, ibaratnya seperti bangunan cagar budaya yang tak boleh sembarangan diubah. Kedua, Highbury dikelilingi oleh area pemukiman, sehingga sangat sulit dan butuh biaya yang amat mahal untuk melakukan perluasan.

Akhirnya, keputusan pahit pun harus diambil. Pada tahun 2000, Arsenal memutuskan untuk membangun stadion baru di Ashburton Grove. Sempat molor karena masalah birokrasi dan biaya yang membengkak, proyek pembangunan stadion baru yang kelak bakal kita kenal sebagai Emirates Stadium tersebut akhirnya selesai pada Juli 2006.

Singkat cerita, Arsenal mulai berkandang di Emirates Stadium pada musim 2006/2007. Highbury pun ditutup dan ditinggalkan. Dan, sejak tahun 2010, Highbury telah berubah menjadi sebuah kompleks apartemen bernama Highbury Square.

Seperti yang kita tahu, sejak meninggalkan Highbury yang memiliki banyak kenangan indah tersebut, Arsenal belum lagi sanggup menjadi juara Premier League. Mantan manager The Gunners, Arsene Wenger meyakini kalau mantan timnya kesulitan menciptakan atmosfir yang sama seperti Highbury di Emirates Stadium.

Alasan itulah yang membuat “The Invincibles” akan sangat sulit untuk diulang. Apalagi dengan persaingan di Premier League yang makin berat. Selain itu, Wenger juga percaya kalau Arsenal telah meninggalkan jiwa mereka di Highbury.

“Kami membangun stadion baru tetapi kami tidak pernah menemukan jiwa kami – kami meninggalkan jiwa kami di Highbury.”
***
Referensi: SI.com, Teamtalk, Arsenal, Goal, Bleacher Report.

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru