Hanya sedikit pelatih yang langsung diberi tagar “out” oleh para fans meski ia baru datang ke klub barunya. Stefano Pioli adalah salah satu contohnya.
Pada 9 Oktober 2019, Pioli menerima tawaran untuk menjadi pelatih anyar AC Milan. Belum juga bertugas di laga sesungguhnya, dan bahkan belum resmi diumumkan sebagai pelatih baru, Pioli sudah menerima tagar “PioliOut” dari para fans Milan. Yang lebih ironis lagi, tak sedikit fan yang menyumpahi Pioli gagal.
Kala itu, Milan bukan hanya sedang berpuasa gelar, tetapi juga tengah berada di era kegelapan yang lazim disebut sebagai “banter era”. Dengan kondisi finansial klub yang melanggar regulasi Financial Fair Play, pemilik baru yang tak paham mengelola klub sepak bola, dan manajemen klub yang masih amburadul, para fans Milan dilanda pesimisme dan “trust issue”.
Oleh karena itu, semua orang paham betul kalau menerima pinangan Milan kala itu bagaikan berdiri di ujung jurang. Pioli mengambil sebuah risiko besar dalam kariernya. Bahkan, dengan kontrak yang berakhir di akhir musim 2019/2020, Pioli hanya sekelas pelatih intern yang tak terlalu diharapkan kehadirannya.
You made us dream again ❤️🖤#MilanSalernitana #SempreMilan pic.twitter.com/XbbQJ0GUQd
— AC Milan (@acmilan) May 25, 2024
Daftar Isi
Dianggap Pilihan Terburuk
Ada beberapa sebab mengapa Stefano Pioli tak disukai dan tak diterima oleh para penggemar Milan di awal kehadirannya. Saat itu, Pioli bahkan dinilai sebagai pilihan terburuk yang diambil manajemen Milan.
Pada awalnya, Milan menginginkan Luciano Spalletti untuk menjadi pelatih anyar mereka. Kesepatakan personal berdurasi 2 musim konon sudah dikantongi. Namun, karena Spalletti masih punya sisa kontrak dengan Inter dan harus membayar sisa gajinya, Milan akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Stefano Pioli.
Bos-bos Milan asal Negeri Paman Sam sebetulnya tak terlalu yakin dan tak begitu menginginkan Pioli, apalagi para fans. Selama belasan tahun sebelum menangani Milan, Pioli hanyalah pelatih pecatan di belasan klub Italia. Ia tak punya rekam jejak juara dan tak jarang ditunjuk hanya untuk menjadi pelatih sementara.
Selain itu, ia juga dituding sebagai interista sejati alias fans Inter Milan, rival abadi AC Milan. Pioli memang pernah menjadi pelatih Inter selama 7 bulan pada musim 2016/2017.
Rekam jejak inilah yang membuat Stefano Pioli dinilai sebagai pilihan terburuk. Apalagi, pada saat itu, Pioli mewarisi skuad Milan yang berantakan pasca pemecatan “the next Arrgio Sacchi”, Marco Giampolo yang gagal total. Tak sedikit yang menilai kalau Pioli hanyalah Giampaolo jilid 2.
Dan benar saja, kekalahan brutal lima gol tanpa balas di Bergamo dari tuan rumah Atalanta pada laga penghujung tahun 2019 membuat manajemen kalang kabut. Keraguan di awal musim terbukti. Dan, secara diam-diam, mereka mengontak Ralf Rangnick untuk jadi juru selamat.
Akan tetapi, orang-orang seperti Paolo Maldini dan Zvonimir Boban yang bekerja di balik layar menentang langkah tersebut. Maldini dan Boban yang memang menjadi sponsor utama Pioli di Milan tetap yakin untuk mempertahankan pelatih kelahiran Parma tersebut. Sebuah harga mahal yang akhirnya membuat Boban ditendang dari jabatan Chief Football Officer.
📰 @Tuttosport: It seems we’ve gone back to October 2019, when Stefano #Pioli was welcomed to the #ACMilan bench, replacing Marco #Giampaolo, with the hashtag #PioliOut. Stefano Pioli managed to overcome prejudices with results, first bringing Milan back to the #ChampionsLeague… pic.twitter.com/EGIMXMg2xo
— Milan Posts (@MilanPosts) April 29, 2024
Keajaiban Lockdown Pandemi Covid-19
Harga mahal tersebut kemudian dibayar lunas oleh pembuktian ajaib Pioli. Pasca lockdown pandemi Covid-19, Pioli membuat Milan tampil tak seperti tim Italia pada umumnya.
Rossoneri bermain agresif. Menekan lawan sejak fase build-up, terus mengejar bola tanpa lelah, dan melancarkan serangan presisi tanpa berlama-lama dengan bola. Sebuah gaya main “gradak-gruduk” yang lebih mirip dengan klub-klub Bundesliga ketimbang Serie A.
Para pemain Milan yang sebelumnya terlihat loyo tanpa gairah dibuatnya bermain pantang menyerah. Tentu, kehadiran Zlatan Ibrahimovic dan Simon Kjaer sebagai sosok senior yang dihadirkan Maldini dan Massara tak bisa dikesampingkan. Namun, usut punya usut, Pioli memanfaatkan waktunya selama lockdown untuk membangun mental dan relasi yang lebih kuat dengan para pemainnya dengan selalu terhubung melalui panggilan Zoom.
Hasil memang tak pernah mengkhianati usaha. Pasca lockdown, Milan tak terkalahkan dalam 12 laga, dengan meraih 9 kemenangan dan akhirnya mengakhiri musim di posisi keenam. Di musim tersebut, Milan juga berhasil mencetak total 63 gol, raihan gol terbanyak Milan sejak musim 2013.
Meski performanya tak sekalipun dihargai dengan penghargaan Serie A coach of the month, tetapi kerja keras Pioli telah berhasil menyelamatkan posisinya di kursi pelatih Milan. Ia bahkan diberi perpanjangan kontrak hingga akhir musim 2022.
Pioli juga tak hanya menyelamatkan posisinya, tetapi juga Maldini dan Massara yang sebelumnya terancam karena mempertahankannya, sekaligus membuat manajemen membatalkan kontak dengan Ralf Rangnick. Singkat cerita, Pioli memberi secercah harapan baru bagi fans Milan yang pesimistis.
Bawa Milan Kembali ke UCL
Di musim berikutnya alias musim penuh pertamanya sebagai allenatore Milan, Pioli sukses melanjutkan tren positif pasca lockdown. Dengan skuad termuda di liga, Pioli menyulap AC Milan menjadi “title contender” Serie A. Padahal, di awal musim, tak pernah ada yang memprediksi hal tersebut.
Untuk kali pertama sejak 1996, Milan sukses membuka musim dengan 4 kemenangan beruntun. Rekor apik tersebut ditandai dengan kemenangan 2-1 atas tuan rumah Inter di giornata 4. Itu adalah kemenangan pertama Milan atas Inter sejak tahun 2016.
Untuk kali pertama sejak 1973, Pioli juga sukses membawa Milan selalu mencetak gol dalam 24 pertandingan Serie A secara beruntun. Pioli juga memecahkan rekor apik lainnya tatkala memimpin Milan menang 7-0 di kandang Torino pada 12 Mei 2021. Kemenangan tersebut jadi kemenangan 7 gol tanpa balas pertama Milan sejak musim 1959.
Di musim tersebut, Pioli juga sempat membawa Milan memimpin klasemen Serie A selama 18 pekan dan jadi juara paruh musim. Dari tim suram yang hampir tak punya harapan, Pioli sukses membawa Milan mengakhiri musim di peringkat kedua.
Meskipun pada akhirnya gagal menjadi juara di akhir musim, tetapi performa yang mereka tampilkan di atas lapangan sudah cukup untuk membuat banyak pihak berdecak kagum. Para fans yang sebelumnya dilanda “trust issue” akhirnya kembali mulai berani melangitkan mimpi yang lebih tinggi.
Yang lebih krusial lagi, Stefano Pioli berhasil mengembalikan DNA AC Milan. Finish di peringkat kedua membuat Rossoneri kembali ke panggung Liga Champions setelah 7 musim beruntun absen. Di akhir musim tersebut, nyanyian “Pioli is on fire” pun mulai dilantunkan.
Scudetto 19
Dengan akhir yang cukup epik dari musim 2020/2021, AC Milan membuka musim 2021/2022 dengan ekspektasi yang jauh lebih tinggi. Kita semua tahu akhirnya. Musim tersebut jadi era terbaik AC Milan bersama Stefano Pioli.
Scudetto ke-19 sekaligus scudetto pertama dalam 11 tahun jadi penutup indah di akhir musim. Akan tetapi, perjalanan Milan bersama Pioli di musim tersebut cukup panjang dan berliku.
Diawali dengan saga transfer Gianluigi Donnarumma dan Hakan Calhanoglu yang memilih berkhianat. Dengan biaya mepet yang harus disetujui pemilik klub, Maldini dan Massara kemudian bergerak cepat untuk mendatangkan Mike Maignan, Olivier Giroud, Alessandro Florenzi, Junior Messias, serta memperpanjang masa peminjaman Brahim Diaz dan mempermanenkan Sandro Tonali dan Fikayo Tomori.
Hasilnya, Milan kembali membuka musim dengan sangat baik. 12 pertandingan pembuka dilewati dengan 10 kemenangan dan 2 hasil imbang melawan Juventus dan Inter Milan. Selepas periode tersebut, penampilan Milan sempat kendor.
Sepanjang bulan November 2021 hingga Januari 2022 menjadi periode sulit AC Milan dan Stefano Pioli. Di UCL, Milan yang baru saja debut kembali jadi juru kunci Grup B, di bawah Liverpool, Atletico Madrid, dan FC Porto.
Sementara itu, di 12 pertandingan Serie A di sepanjang bulan November 2021 hingga Januari 2022, Milan menelan 4 kekalahan dari Fiorentina, Sassuolo, Napoli, dan Spezia, serta hanya meraih 5 kemenangan.
Titik balik kemudian terjadi di laga Derby Della Madonnina yang digelar di giornata 24. Kala itu, juara bertahan Inter dengan pelatih barunya, Simone Inzaghi jauh lebih diunggulkan. Benar saja, Inter memimpin laga dengan keunggulan 1-0 di paruh pertama berkat gol Ivan Perisic.
Namun, berkat kejelian, kematangan, dan insting tajam Olivier Giroud, Milan berhasil melakukan comeback manis. Dua gol yang Giroud cetak di menit ke-75 dan 78 membuat rossoneri memberi tekanan berat kepada Inter selaku pimpinan klasemen.
Titik balik berikutnya kemudian terjadi usai Milan menang dramatis atas tuan rumah Lazio dengan skor 2-1 di giornata 34 berkat gol telat Sandro Tonali di masa injury time. Selang tiga hari setelah laga tersebut, Inter yang masih sangat berpeluang untuk kembali mengkudeta Milan dari puncak klasemen justru menelan kekalahan 1-2 di kandang Bologna.
Milan pun aman di puncak klasemen. Dan, di sisa 4 laga berikutnya, Milan berhasil sapu bersih laga dengan kemenangan. AC Milan pun sukses mengakhiri musim sebagai jawara Serie A berkat torehan 86 poin, hanya unggul 2 poin dari Inter Milan.
You took over Milan sitting 13th in Serie A, and with many wishing for your failure and exit before even taking the job.
A short while after, you’d lead us back to the Champions League for the first time in seven years, then our first Scudetto in 11 years in 2021/22 followed by… pic.twitter.com/wUg4f22s7u
— Matt Santangelo (@Matt_Santangelo) May 24, 2024
Banyak yang bilang kalau gelar juara Milan kala itu adalah hasil “giveaway” alias keberuntungan mengingat Milan secara matematis baru berhasil menyalip Inter di puncak klasemen usai Ionut Radu membuat blunder fatal di laga tandang versus Bologna.
Namun, orang-orang lupa kalau perjalanan Milan dan Pioli di musim tersebut sangatlah panjang dan berliku. Bahkan, Pioli harus memutar otak sebab di hampir setiap pekannya, selalu ada pemain yang absen.
Dan faktanya, Milan adalah tim paling konsisten di Liga. Mereka tak lagi bermain grasa-grusu seperti sebelumnya. Paham kapan main agresif, kapan main aman. Di musim tersebut, Milan juga tak sekalipun kalah dari Juventus, Lazio, Roma, dan Inter Milan.
Intinya, tak ada yang berhak mendiskreditkan jerih payah Milan dan Stefano Pioli. Scudetto pertama dalam 11 tahun patut dirayakan tanpa tapi. Dan, untuk Pioli sendiri, itu menjadi trofi pertama yang berhasil ia menangkan.
Dua Musim Tanpa Trofi
Mempertahankan jauh lebih sulit daripada mengejar. Pepatah tersebut memang benar adanya. Di musim 2022/2023, Milan hampir jadi juara bertahan terburuk dalam sejarah Serie A.
Milan jadi bahan olok-olokan fans klub rival. Rossoneri harusnya finish di peringkat 5 alias di luar zona UCL. Namun, mereka akhirnya naik ke peringkat 4 dan meraih jatah tiket UCL berkat keputusan pengadilan yang mengurangi poin Juventus.
Selain itu, Milan selaku juara bertahan Serie A juga harus menyerahkan trofi Supercoppa usai kandas 3 gol tanpa balas dari Inter. Dan, meski Milan jadi semifinalis UCL di musim tersebut, tetapi tagar “PioliOut” akhirnya kembali terdengar.
Badai yang lebih kencang akhirnya berhembus di musim berikutnya, yakni di musim 2023/2024. Rossoneri memulai musim dengan pemecatan Paolo Maldini dan Ricky Massara, serta penjualan Sandro Tonali yang memicu kemarahan fans.
Situasi tersebut sempat mereda usai Milan berhasil mendatangkan banyak pemain anyar di bursa transfer. Christian Pulisic, Tijjani Reijnders, Noah Okafor, Samuel Chukwueze, Ruben Loftus-Cheek, dan Yunus Musah berhasil dibeli dari hasil penjualan Tonali.
Performa Milan di awal musim pun cukup menjanjikan. Akan tetapi, hasil akhirnya tak sesuai dengan harapan. Perlahan, rasa cinta fans AC Milan kepada Stefano Pioli perlahan memudar. “Pioli is on fire” juga tak lagi dinyanyikan.
Pioli dikritik karena pilihan pemainnya yang tak jarang dianggap aneh. Ia juga dikritik habis karena tak sekalipun mengubah formula taktiknya. Permainan Milan dianggap monoton dan mudah terbaca, serta tak lagi sedap dipandang.
Hasilnya, Milan kerap kesulitan melawan klub-klub besar dan kehilangan poin krusial di menit-menit akhir. Badai cedera yang makin parah juga membuat performa Milan makin tidak konsisten.
Milan gagal melaju ke fase gugur UCL dan terhenti di babak 8 besar Liga Europa dari sesama klub Italia, AS Roma. Sementara itu, di Serie A, Milan tak sedikitpun sanggup mengejar Inter.
Pioli pun memecahkan rekor buruk dalam sejarah Milan. Bukan karena dua musim beruntun puasa gelar, tetapi apa lagi kalau bukan kekalahan terparah AC Milan di Derby Della Madonnina. Pada giornata 4, Milan takluk 5-1 dari Inter. Kekalahan tersebut jadi yang terburuk dalam sejarah Milan di Derby Della Madonnina.
10 – Stefano #Pioli is the coach who has lost the most matches in the history of Milan derbies among all competitions: 10 defeats, each of these in charge of #Milan – he is also the 1st coach to lose 6 Milan derbies in a row with the Rossoneri. Limit.#DerbyMilano pic.twitter.com/b89LCYWnAh
— OptaPaolo (@OptaPaolo) April 22, 2024
Pioli juga jadi pelatih dengan rekor terburuk di Derby Milan. Total, ia kalah dalam 10 pertandingan derby di semua kompetisi. Dan, untuk kali pertama dalam sejarah, Pioli membawa Milan menelan 6 kekalahan beruntun dari Inter Milan. Yang lebih menyakitkan lagi, Pioli juga mewujudkan mimpi terburuk bagi fans Milan.
Pada giornata 33, AC Milan punya kesempatan untuk setidaknya menunda pesta juara Inter Milan. Namun, di laga yang digelar di hadapan puluhan ribu pendukung rossoneri tersebut, pasukan Stefano Pioli kandas 1-2. Alhasil, para pendukung Milan yang memadati San Siro harus menyaksikan rival bebuyutan mereka berpesta di rumah mereka.
Beberapa dosa tadi bisa jadi alasan yang kuat untuk segera memecat Stefano Pioli. Namun, manajemen terbilang lamban dalam mengambil keputusan. Hasilnya, Pioli seperti menjadi sosok yang dihinakan.
Dihinakan di Akhir Jabatannya
Ya, Pioli yang pada awalnya tak diinginkan, kini jadi sosok pesakitan yang dihinakan. Yang menjadi ironis adalah, ia seperti dihinakan oleh pihak-pihak yang telah ia beri kegembiraan.
Padahal, dari kisah tadi, kita bisa mengambil banyak nilai positif dari 5 musim kepemimpinan Stefano Pioli di AC Milan. Pioli membawa Milan kembali ke Liga Champions untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun, kemudian membawa Milan meraih Scudetto pertama dalam 11 tahun, diikuti oleh semifinal UCL di musim berikutnya yang jadi semifinal UCL pertama bagi Milan dalam 16 tahun terakhir, lalu meloloskan Milan ke UCL dalam 4 musim beruntun.
Sayangnya, ketimbang kenangan manis, yang lebih banyak diingat di akhir masa jabatan Stefano Pioli di Milan adalah kenangan buruk.
Pioli dianggap gagal dalam mengembangkan beberapa pemain muda. Misalnya saja Charles De Ketelaere, Alexis Saelemaekers, atau Daniel Maldini yang ternyata tampil jauh lebih baik ketika dipinjamkan ke klub lain. Di sisi lain, orang-orang lupa jasa besar Pioli dalam perkembangan Rafael Leao ataupun Theo Hernandez.
Grazie mister, grazie per tutto quello che hai fatto per me e per questo @acmilan 🥹♥️⁰Grazie per la fiducia che mi ai dato dal primo giorno che sei arrivato qua. 🙏⁰Ti voglio tanto tanto bene e ti auguro il meglio per il tuo futuro ♥️ pic.twitter.com/BDdU85IW19
— Theo Hernandez (@TheoHernandez) May 27, 2024
Pioli juga dianggap bersalah atas pemecatan Paolo Maldini. Pioli dituding tak tahu terima kasih kepada sosok yang dulu telah memilihnya dan bertahan mati-matian untuk mepertahankannya.
Namun, mari kita berpikir rasional. Apa yang bisa dilakukan oleh Stefano Pioli? Seorang legend yang rela meninggalkan jabatan manisnya di UEFA seperti Zvonimir Boban saja ditendang secara kasar dari klub. Lalu, Maldini atas jasa besarnya dalam mendatangkan banyak pemain plus statusnya sebagai legend klub juga dipecat tanpa diberi perpisahan yang layak.
Dan, pada kenyataannya, posisi Pioli sendiri juga tak selalu aman. Sabda dari Fabrizio Romano jadi buktinya. “Rencana AC Milan tetap jelas dan tidak berubah: Stefano Pioli, diperkirakan akan dipecat pada akhir musim.”
Tweet tersebut ditulis Romano pada 20 April, dua hari setelah Milan kalah dari Roma di perempat final Liga Europa dan dua hari sebelum Milan melakoni laga Derby Milan.
Memang, pada akhirnya Stefano Pioli diberi sebuah acara perpisahan terakhir di laga pamungkas Serie A musim ini. Di momen tersebut, para fans juga kembali menyanyikan “Pioli is on fire” yang sudah begitu lama tak terdengar. Namun, bukankah itu semua sudah terlambat?
Finisce con “Pioli is on fire” pic.twitter.com/X4wxTJ1Eok
— Antonio Vitiello (@AntoVitiello) May 25, 2024
Jika harus menghitung, Stefano Pioli sudah tidak mendapat penghormatan dan apresiasi yang layak selama setahun terakhir. Jika ada yang mengatakan kalau Pioli bekerja sendirian selama masa tersebut, rasanya juga tidak salah.
Pada akhir tahun lalu, Paolo Maldini pernah berkata begini ke harian La Repubblica. “Pioli harus diberi ucapan terima kasih, tetapi memberinya tugas yang berada di luar kendalinya akan membuatnya semakin kesepian.”
Dulu, pernyataan dari Maldini tersebut tak jelas artinya. Tapi kini, semua mengerti apa yang dimaksud Maldini.
Kesepian yang dialami Pioli sebenarnya mulai terjadi ketika Milan berganti kepemilikan. Sedikit yang tahu kalau ada drama ruwet yang terjadi ketika Milan dijual Elliot ke RedBird.
Setelah Milan meraih scudetto, Elliot menjual sahamnya kepada RedBird pimpinan Garry Cardinale. Usut punya usut, proses penjualan tersebut tak selesai tepat waktu hingga ditutupnya bursa transfer. Itulah mengapa operasi transfer Milan di musim lalu bisa dikategorikan gagal.
Rencana transfer yang sudah disusun rapi oleh Maldini dan Massara mendadak diubah oleh Cardinale. Kontrak dua figur vital di balik layar tersebut juga ternyata secara diam-diam tidak diperpanjang. CEO Ivan Gazidis yang punya segudang pengalaman juga tiba-tiba mundur. Dan, sebagai gantinya, manajemen klub yang baru menunjuk Giorgio Furlani, sosok muda yang sama sekali tak punya pengalamana di klub sepak bola.
Sejak saat itu, budaya klub berubah total. Dan singkat cerita, Maldini dan Massara dipecat. Lalu, pihak manajemen membuat kebohongan soal pernyataan mereka kalau Stefano Pioli akan diikut sertakan dalam operasi transfer. Padahal kenyataanya, tidak demikian.
Penjualan Tonali pada faktanya bukanlah keputusan yang dikehendaki oleh Pioli. Sejak Maldini dipecat, Milan tercatat sudah melepas sekitar 15 pemain, baik karena habis kontrak, dijual ataupun dipinjamkan. Kemudian datanglah 10 pemain anyar yang asing dengan sistem Pioli.
Manajemen Milan juga tak melakukan langkah vital untuk menangani kasus cedera berulang yang menggerogoti skuad. Maka wajar bila hasil Milan dalam 2 musim terakhir tak sesuai harapan.
Bayangkan saja, Pioli selama ini harus “manut” dengan keputusan manajemen. Ia harus rela pemain-pemain yang sudah nyetel dengan sistemnya dilepas begitu saja demi cuan. Sebaliknya, ia harus susah payah mengintegrasikan pemain baru ke dalam sistem permainan yang sudah pakem.
Singkatnya, semua beban tersebut kemudian dibebankan kepada Pioli. Sementara itu, manajemen klub seolah selalu sembunyi di balik ketiak Pioli. Maka yang terjadi kemudian, Pioli yang disalahkan dan dihanakan oleh fans.
Jika harus menghinakan, maka manajemen AC Milan adalah targetnya, bukan Stefano Pioli. Pioli hanyalah korban dari ketidakbecusan manajemen Milan dalam mengelola klub.
Tak bisa dipungkiri memang kalau Pioli pernah membuat rekor yang amat buruk di Milan. Akan tetapi, para pendukung Milan sebaiknya mengingat Pioli atas jasa-jasa besarnya. Tanpa Pioli, Milan mungkin masih berada di “banter era”. Dan, tanpa Pioli, para pendukung Milan mungkin masih dilanda pesimisme.
Mau bagaimanapun hasil akhirnya, Stefano Pioli telah meninggalkan legacy yang amat besar bagi AC Milan. Maka dari itu, ketimbang cacian dan hinaan, Stefano Pioli berhak pergi dengan penghormatan.
***
Referensi: AC Milan Info, All Football, Milan Obsession, SempreMilan.