Menjelang bergulirnya EURO 2024, lahir sebuah pernyataan kontroversial dari mulut bintang Real Madrid, Kylian Mbappe. Kepada RMC Sport, Mbappe berkata bahwa kompetisi Euro lebih sulit untuk dimenangkan daripada Piala Dunia. Statement itu membuat beberapa pemain lain, termasuk Lionel Messi tersinggung.
Meski masih bisa diperdebatkan, pernyataan ini ada benarnya juga. Karena tak ada negara yang mampu memenangkan Euro sebanyak lima kali layaknya Brazil menjuarai Piala Dunia. Bahkan, di Piala Dunia tercatat ada dua negara yang berhasil menjadi kampiun dua kali secara beruntun, yakni Brazil dan Italia.
Sementara di Euro, hanya ada satu negara yang mampu juara dua kali secara beruntun. Negara tersebut adalah Spanyol. Rekor itu masih terjaga setidaknya hingga narasi ini ditulis. Lantas, bagaimana Spanyol melakukannya?
Daftar Isi
Kegagalan di EURO 2004
Sebuah kisah dongeng yang diciptakan oleh Spanyol tidak didasari oleh hal-hal baik. Pencapaian itu dilatarbelakangi kisah pilu. Karena semua berawal dari kegagalan La Furia Roja di EURO 2004.
Sebetulnya, performa mereka di babak kualifikasi tak begitu buruk. Dari delapan pertandingan, mereka bisa memenangi lima laga. Tapi, performa mereka tak spesial. Spanyol bahkan kalah dari Yunani dan harus finis di urutan kedua di bawah negaranya para dewa itu. Situasi ini membuat Spanyol harus melewati fase play-off terlebih dahulu melawan Norwegia.
Untungnya, Norwegia bukan lawan yang menyulitkan. Dalam dua leg, Spanyol berhasil menang dengan agregat 5-1 untuk mengunci satu tiket ke Euro. Harus melewati play-off membuat banyak orang meragukan kapasitas La Roja yang kala itu masih ditukangi oleh Inaki Saez. Meski berisikan pemain-pemain bintang macam Raul, Iker Casillas, dan Carles Puyol, Negeri Matador bukan tim unggulan di Euro 2004.
Spanyol tak berkutik di Grup A yang berisikan Portugal, Rusia, dan Yunani. Spanyol hanya meraih satu kemenangan dan satu hasil imbang di babak penyisihan grup. Dari tiga laga itu, Spanyol hanya mencetak dua gol saja. Itu terlihat sangat buruk mengingat di dalam skuad, Spanyol memiliki sosok striker tajam seperti Raul.
Dengan hanya mengumpulkan tiga poin, Spanyol finis di urutan ketiga di bawah Portugal dan Yunani. Pada akhirnya, Yunani memang jadi kejutan di turnamen ini.
Setelah beberapa tahun kedepan, baru terungkap apa permasalahan yang membuat Spanyol gagal menembus fase gugur. Kabarnya, semua gara-gara Inaki Saez yang gagal menciptakan ruang ganti yang hangat. Saez gagal meredam ego dari pemain Barcelona dan Real Madrid yang membawa rivalitas di Liga Spanyol hingga ke tim nasional.
Pergantian Pelatih
Meski bukan sepenuhnya salah pelatih, Federasi Sepakbola Spanyol memutuskan untuk melakukan perubahan besar-besaran. Inaki Saez pun harus jadi korban. Dirinya dipecat dan digantikan oleh pelatih yang lebih matang, Luis Aragones. Keputusan ini sempat jadi perdebatan karena Aragones tak cukup bugar untuk memimpin pemain-pemain bintang.
Terlebih, seperti yang disampaikan oleh ESPN, Luis Aragones ini dikenal pelatih yang doyan marah. Dirinya bahkan tak segan untuk memarahi wartawan di depan umum. Nah, para fans pun mulai khawatir nantinya ruang ganti Timnas Spanyol malah makin memanas karena Aragones tidak bisa meredam amarahnya.
Namun, federasi justru berpikir sebaliknya. Mereka berharap para pemain jadi tak bisa melawan pelatih. Setidaknya, federasi bisa melihat para pemain mau duduk dan mendengarkan apa kata pelatih. Karena pada dasarnya, yang berkuasa di ruang ganti adalah sang juru taktik.
Pelatih yang keras kepala itu pun langsung mengambil keputusan kontroversial saat mengeluarkan beberapa pemain bintang yang dirasa telah membawa pengaruh buruk. Saat itu, Fernando Hierro, Fernando Morientes, bahkan Raul jadi korban. Aragones mengganti pemain-pemain itu dengan pemain yang lebih muda dan yang mau mendengarkan perkataannya.
Cikal Bakal Tiki-Taka
Dengan gaya khasnya yang demen teriak-teriak, Aragones menjelaskan ke seluruh publik Spanyol mengapa dirinya mengeluarkan Raul dari skuad. Caranya pun sangat Aragones sekali. Ia berteriak ke jurnalis yang berasal dari Madrid dengan kalimat “Tahukah Anda berapa kali Raul telah bermain di Piala Dunia? Tiga. Dan berapa kali Piala Eropa? Dua. Katakan berapa kali ia menang!”
Ya, Raul memang belum memberikan apa pun untuk Spanyol. Itu fakta yang tak bisa terbantahkan. Kemudian, Aragones pun memasukan pemain-pemain muda yang masa ototnya saja belum terbentuk. Mereka semua adalah David Silva, Cesc Fabregas, Andrés Iniesta, Xavi Hernández, dan Fernando Torres untuk di lini depan. Tak lupa, Aragones juga memanggil pemain kesayangannya, Marcos Senna.
Dengan materi pemain yang lemah dalam kekuatan fisik, Aragones pun menyiasatinya dengan mengubah gaya bermain. Aragones meninggalkan permainan yang banyak melibatkan kontak fisik. Aragones lebih mengedepankan sepakbola sederhana dari kaki ke kaki.
Tapi, bukan sekadar asal umpan ke rekan satu tim. Aragones menuntut pemainnya untuk melakukannya dengan cepat dan menyasar lini pertahanan lawan. Dalam penerapannya, perputaran bola tak melulu di area permainan sendiri. Penguasaan bola dengan umpan-umpan cepat dilakukan demi mengurung pertahanan lawan. Gaya bermain ini yang pada akhirnya menjadi dasar dari Tiki-taka.
Belum Sempurna di Piala Dunia 2006
Ujian pertama Aragones adalah Piala Dunia 2006. Dirinya dituntut untuk memperbaiki performa dan membersihkan nama Spanyol setelah gagal total di EURO 2004. Namun, prototipe permainan Aragones belum sempurna. Masih banyak pemain yang harus menyesuaikan diri.
Ketika memasuki babak 16 besar, Spanyol langsung bertemu dengan salah satu tim unggulan, Prancis. Melawan tim yang berisikan Thierry Henry, Zinedine Zidane, Claude Makelele, dan Patrick Vieira, Spanyol takluk 3-1. Meski bermain bagus, La Roja kalah telak di sektor tengah. Pemain sekecil Xavi dan Fabregas harus “berkelahi” dengan Vieira dan Makelele yang memiliki badan besar dan fisik luar biasa.
Hasil Nyata di EURO 2008
Seiring pertumbuhan para pemain itu sendiri bersama klubnya masing-masing, pola permainan yang diimpikan Luis Aragones akhirnya baru tercapai di EURO 2008. Revolusi sepakbola Aragones menghasilkan ramuan permainan yang sulit untuk dicari penawarnya. Skuad Spanyol sukses memukau para penonton yang hadir di stadion.
Dengan skuad yang hampir sama dengan Piala Dunia 2006, permainan tiki-taka Spanyol kian sempurna. Jika Iniesta, Xavi, dan David Silva bermain, kita akan jarang melihat La Roja memainkan umpan lambung atau umpan silang yang menyasar striker di kotak penalti. Selain karena tuntutan dari Aragones, striker Spanyol kala itu adalah David Villa dan Fernando Torres. Dua pemain yang tak diunggulkan dalam duel udara.
La Roja mengandalkan kecepatan individu dan aliran bola yang cepat. David Villa yang piawai dalam urusan mencari ruang dan menyelinap masuk jadi momok tersendiri bagi lawan-lawan Spanyol di EURO 2008.
Skema tersebut terbilang efektif untuk memaksimalkan peran Villa. Itu dibuktikan dengan empat gol dan status top skor yang disandang Villa di akhir turnamen. Gol-golnya banyak lahir dari skema umpan dan kombinasi cantik antar pemain.
Dengan gaya bermain yang masih fresh itu, Spanyol tak terkalahkan di kompetisi tersebut. Gol Fernando Torres ke gawang Jerman di laga final telah memastikan gelar Euro 2008 jadi gelar Eropa pertama Spanyol sejak 1964 silam. Selain menjadi juara, mereka juga mencatatkan rekor sebagai tim dengan jumlah kebobolan paling sedikit di Euro, yakni tiga gol.
Vicente Del Bosque Pemersatu Bangsa
Mengembalikan nama baik Timnas Spanyol di kancah Eropa nyatanya bukan jaminan bagi Luis Aragones untuk mendapat penghargaan lebih dari federasi. Sosok yang telah berpulang ke rahmatullah pada tahun 2014 itu justru ditendang begitu saja setelah perhelatan Euro 2008 selesai. Dia benar-benar dipecat sehari setelah final.
Kejam? Memang. Tapi federasi sepakbola Spanyol punya alasan tersendiri untuk itu. Aragones memang jadi bapak yang melahirkan filosofi sepakbola baru di Spanyol. Dia juga telah menghadirkan trofi Eropa untuk negara. Namun, dirinya tetap jadi orang yang tak diinginkan oleh siapapun termasuk para petinggi federasi.
Euro 2008 sedang berlangsung, para petinggi justru diam-diam melakukan pembicaraan dengan Vicente Del Bosque untuk menggantikan peran Aragones. Maka dari itu, sehari setelah final Del Bosque langsung menjabat jadi pelatih baru La Roja. Dirinya mewarisi kerangka permainan Aragones.
Ketika Del Bosque datang, masalah yang sudah ada sejak tahun 2004 masih ada. Intrik dan percikan-percikan emosional antara pemain Barcelona dan Real Madrid acap kali mengganggu ketenangan ruang ganti. Dan di sinilah ide gila Del Bosque muncul. Bukannya memisahkan para pemain yang sedang perang dingin, sang pelatih justru menyatukannya.
Caranya melalui pendekatan taktik. Del Bosque berani memasang pemain yang sering berseteru di posisi-posisi tertentu. Cara ini membuat pemain-pemain seperti Xabi Alonso dari Real Madrid dan Sergio Busquets dari Barcelona harus meningkatkan kemistri dan kerjasama di lapangan.
Selain itu, dari metode ini lahir duet Pique-Ramos di sektor pertahanan. Tak pernah terbayang sebelumnya, dua pemain yang saling sikut di La Liga ini bisa bekerjasama dengan baik di tim nasional.
Juara Dunia
Dengan meredam ego dan permasalahan di ruang ganti, generasi emas Spanyol kala itu tampak minim celah. Cukup sulit bagi para analis sepakbola untuk menemukan kelemahan di tim nasional Spanyol. Dari lini bertahan, oke. Lini tengah apalagi. Bahkan, soal ketajaman pun bukan masalah bagi Spanyol. Fernando Torres dan David Villa sedang berada dalam masa jayanya.
Juara Piala Dunia tahun 2010 jadi bukti dimana Spanyol kala itu adalah yang terbaik. Meski sempat kalah di pertandingan pembuka melawan Swiss, Spanyol bangkit dan menunjukan siapa yang berkuasa di tanah Afrika, ya meskipun cuma menang dengan margin gol kecil. Tapi, kemenangan setipis apa pun itu tetap lah sebuah hasil positif.
Karena skor 1-0 sudah cukup untuk membuat jutaan penduduk negara Belanda patah hati di laga final. Hanya mencetak delapan gol sepanjang turnamen membuat Spanyol kembali memecahkan rekor unik. Mereka menjadi tim juara yang paling sedikit mencetak gol dalam sejarah Piala Dunia. Jumlah ini lebih sedikit dari Inggris tahun 1966 dan Brazil 1994 yang sama-sama mencetak 11 gol.
Back To Back EURO
Dikira sudah habis masanya, Spanyol masih mengincar satu pencapaian lagi. Vicente Del Bosque tampaknya tak puas dengan hanya satu trofi Piala Dunia. Ia ingin menyamai Aragones yang menjuarai Euro dan melampaui ekspektasi federasi dengan meraih dua trofi internasional dalam kurun waktu dua tahun. Jadilah Euro 2012 sebagai target selanjutnya.
Kala itu, back to back juara Euro jadi suatu pencapaian yang belum pernah dilakukan oleh siapapun di dunia ini. Uni Soviet dan Jerman hanya nyaris melakukannya pada edisi 1964 dan 1976. Saking susahnya, banyak yang bilang bahwa itu sebuah kutukan. Negara yang sudah menjuarai Euro tak akan juara lagi di edisi berikutnya.
Namun, kutukan itu patah di tahun 2012. Spanyol yang datang ke Polandia dengan status kampiun Piala Eropa 2008, melaju ke partai puncak gelaran Piala Eropa 2012. Tergabung dalam grup yang cukup sulit lantaran ada Italia dan Kroasia disitu, Spanyol tak terkalahkan dan menjadi pemuncak klasemen C dengan torehan tujuh poin.
Di babak perempat final, Spanyol kembali bertemu dengan Prancis. Ini membangkitkan emosional di Piala Dunia 2006. Dimana Prancis berhasil menyingkirkan Spanyol di babak yang sama. Namun, kali ini giliran Prancis yang tampil. Laga berakhir dengan kemenangan 2-0 La Roja atas Les Bleus.
Singkat cerita, Spanyol bertemu Portugal di babak semifinal. Mengakhiri laga dengan skor kacamata, La Furia Roja menang adu penalti atas Cristiano Ronaldo cs. Lagi-lagi, tim raksasa kesulitan menembus pertahanan Spanyol yang dikomandoi oleh Ramos dan Pique. Di final, Spanyol kembali bertemu dengan kawan satu grup, Italia.
Menghadapi Italia, Spanyol mengandaskan perlawanan Negeri Pizza dengan skor telak yang tak pernah diprediksi oleh siapapun. Bahkan oleh bandar judi bola. Gianluigi Buffon dipaksa memungut bola dari jala gawangnya sendiri sebanyak empat kali. Ironisnya lagi, Gli Azzurri tak mampu membalas sebiji gol pun di laga itu.
Rekor yang Mustahil Dipecahkan
Sejarah pun tercipta, Spanyol jadi negara pertama yang meraih gelar Euro back to back. Selain itu, generasi emas Spanyol juga mencatatkan beberapa rekor lain. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Fernando Torres. Dirinya muncul sebagai pemain pertama yang mencetak gol di dua partai puncak Piala Eropa.
Selain itu, Spanyol juga memecahkan rekornya sendiri di kancah Euro. Masih ingat dengan rekor hanya kebobolan tiga gol di Euro 2008? Rekor itu pecah di tahun 2012. La Furia Roja berhasil menjuarai Euro 2012 dengan hanya kebobolan satu gol.
Makin spesial lagi, jika kalian melihat performa mereka di fase gugur. Spanyol tercatat tak pernah kebobolan di fase gugur di tiga agenda akbar, yakni Euro 2008, Piala Dunia 2010, dan Euro 2012. Soal back to back, mungkin masih bisa dipecahkan suatu saat nanti. Tapi, soal paling sedikit mencetak gol dan paling sedikit kebobolan, hanya Tuhan yang tahu kapan rekor itu akan terpecahkan.
Sumber: BR, CNN, The Athletic, ESPN, The Guardian, Goal