EURO 2004: Mimpi Generasi Emas Portugal yang Dihancurkan oleh Timnas Antah Berantah

spot_img

Masih ingat EURO 2004? Selain penuh kejutan, edisi 2004 jadi edisi EURO paling kejam yang pernah ada. Mengapa demikian? Karena EURO 2004 bisa dibilang jadi kuburan massal bagi generasi-generasi emas yang tampil di ajang tersebut. Beberapa negara yang dijagokan melaju jauh, bahkan juara justru terkapar di tengah jalan.

Dari mulai Republik Ceko yang dipimpin oleh peraih Ballon d’Or 2003, Pavel Nedvěd. Lalu ada Timnas Inggris asuhan Sven-Goran Eriksson yang bermandikan talenta terbaik seperti Ashley Cole, Jamie Carragher, Joe Cole, John Terry, Frank Lampard, hingga legenda Real Madrid, Michael Owen. Nama-nama itu bahkan sedang menapaki puncak karirnya bersama klub masing-masing.

Akan tetapi, dibanding Ceko dan Inggris, ada negara yang paling terhantam oleh kenyataan pahit di akhir turnamen. Negara itu adalah Portugal. EURO edisi 2004 harusnya menjadi ajang bancakan Portugal di hadapan publik sendiri. Namun, layaknya lagu The Jansen, Portugal justru dipaksa “Mereguk Anti Depresan Lagi” setelah dipermalukan oleh tim nasional antah berantah di partai final.

Tim antah berantah? Bagaimana hal seperti itu bisa terjadi? Simak kisahnya di Mimpi Generasi Emas Portugal yang dihancurkan oleh Timnas Antah Berantah berikut ini.

Portugal Jadi Tuan Rumah 2004

Tahun 2004 jadi edisi ke-12 bagi kompetisi antar negara paling bergengsi di Benua Biru itu. Banyak negara yang berminat menjadi tuan rumah. Setidaknya ada empat negara yang mengajukan diri. Namun, karena Austria dan Hungaria memilih jadi satu, yang tersisa dalam bursa pencalonan tuan rumah tinggal tiga, yakni Austria-Hungaria, Spanyol, dan yang terakhir Portugal.

Dalam sebuah voting yang diadakan oleh UEFA pada tahun 1999, akhirnya Portugal jadi negara yang terpilih untuk menjadi tuan rumah. Ini kali pertama Portugal menyelenggarakan event besar seperti Piala Eropa. Maka dari itu, Portugal menyiapkan sepuluh stadion di delapan kota yang berbeda.

Ditunjuk sebagai tuan rumah, pemerintah Portugal membuka turnamen dengan meriah. Acara pembukaan ditandai dengan presentasi kapal raksasa dengan membawa bendera masing-masing negara. Nantinya, upacara pembukaan yang meriah ini justru dikait-kaitkan sebagai pertanda buruk bagi Timnas Portugal.

Portugal Diunggulkan

Berbeda dengan format EURO sekarang yang melibatkan 24 tim di putaran final, edisi 2004 masih menggunakan format lama. Pada saat itu, hanya ada 16 negara di putaran final. Nah, menjadi tuan rumah dan bermain di kompetisi yang pesertanya lebih sedikit tentu saja membuat Portugal jadi pihak yang paling bahagia. Apalagi, saat itu Portugal sedang dihuni oleh pemain-pemain terbaiknya.

Tak berlebihan jika menyebut angkatan 2004 adalah salah satu angkatan terbaik yang dimiliki oleh Selecao das Quinas. Karena setelah era Eusebio, Portugal baru punya deretan pemain kelas dunia yang bisa diandalkan lagi. Portugal punya skuad yang layak menyandang predikat Geração de Ouro, atau yang berarti sang generasi emas.

Sebetulnya, generasi emas Timnas Portugal di EURO 2004 sudah tersusun sejak akhir 80-an ketika Luis Figo dan Rui Costa sukses back to back menjuarai Piala Dunia U-20 pada tahun 1989 dan 1991. Nah, di tahun 2004, mereka sedang berada di usia matang saat membela Timnas Portugal di kompetisi EURO.

Selain mereka, Portugal juga memiliki nama-nama seperti Costinha, Ricardo Carvalho, Paulo Ferreira, Maniche, dan legenda Barcelona, Deco. Nama-nama tersebut adalah jebolan FC Porto yang beberapa hari sebelum kick off EURO 2004 baru memenangkan trofi Liga Champions bersama Jose Mourinho.

Tak cuma itu, dalam skuad EURO 2004 juga banyak pemain-pemain muda potensial. Sebut saja seperti Joao Moutinho, Helder Postiga, Ricardo Quaresma, Simao, Tiago Mendes, dan tentu saja Cristiano Ronaldo. Dengan susunan skuad yang teramat mewah, itu menguatkan status Portugal sebagai tim unggulan di EURO 2004.

Dilatih Pelatih Juara Dunia

Yang makin bikin lawan ketar-ketir adalah siapa yang duduk di kursi kepelatihan. Kala itu, Luiz Felipe Scolari lah pelatih Portugal. Sosok yang sebelumnya mengantarkan Timnas Brazil menjuarai Piala Dunia 2002. Scolari lah yang mengembalikan identitas jogo bonito ke dalam Tim Samba. Ia berhasil memadukan skill olah bola dari anak asuhannya dengan taktik yang dimilikinya.

Dengan kesempurnaan yang dimiliki tim tuan rumah, tentu amat sangat sulit untuk menghentikan laju mereka kala itu. Portugal sudah dianggap sebagai juara di edisi ini mengalahkan unggulan lain, seperti Prancis yang datang sebagai juara bertahan bahkan sebelum peluit kick off EURO dibunyikan. 

Laga Pembuka yang Buruk

Sebagai tuan rumah, Portugal berada di Grup A yang dihuni oleh Spanyol, Rusia, dan Yunani. Mendengar namanya, tercatat Spanyol lah yang diprediksi bakal jadi lawan terberat Portugal. Karena skuad La Roja kala itu juga berisikan nama-nama beken macam Xavi, Xabi Alonso, Raul, Carles Puyol hingga Iker Casillas. 

Tapi itu hanya di atas kertas. Statistik dan nama besar tidak bisa jadi jaminan ketika sudah masuk ke lapangan. Ketika lebih mewaspadai Spanyol, Timnas Portugal justru kecolongan di laga pembuka melawan Yunani. Tim yang bahkan tak dibahas saat sang pelatih membicarakan peta kekuatan Grup A EURO 2004.

Yunani mengejutkan Portugal dengan mencuri kemenangan 2-1. Ini jadi hasil yang tidak diinginkan oleh siapapun kecuali masyarakat Yunani itu sendiri. Dihadapan 48 ribu lebih penonton yang memadati Estadio do Dragao, Giorgios Karagounis dan Angelos Basinas membawa Yunani unggul lebih dulu menit tujuh dan 51. Portugal pun dibuat frustrasi lantaran sulit menembus pertahanan Ethniki.

Gol balasan dari Portugal baru hadir dari tandukan Cristiano Ronaldo di menit 90+3. Sayang, gol tersebut terlambat. Di waktu yang tersisa cuma sedikit, Portugal gagal bangkit untuk menyamakan skor. Luis Figo dan kolega pun membuka turnamen dengan hasil buruk.

Beruntungnya, itu hanya kesialan di awal saja. Karena skuad asuhan Scolari berhasil memperbaiki performa di laga berikutnya. Dengan formasi 4-3-3 andalannya, Scolari membawa Portugal menang dua gol tanpa balas melawan Rusia dan menang 1-0 kala menghadapi Spanyol. 

Meski kalah di awal, Selecao das Quinas berhasil keluar sebagai juara grup dengan mengumpulkan enam poin. Ditemani Yunani yang mengumpulkan empat poin di urutan kedua. Sebenarnya La Furia Roja juga mengumpulkan yang sama, tapi mereka kalah soal produktivitas gol. 

Laga Kontroversial Melawan Inggris

Dengan lolosnya Portugal ke babak berikutnya, gelar juara hanya berjarak tiga laga. Namun, sebelum berbicara soal itu, Portugal harus menghadapi generasi emas lainnya, yakni Timnas Inggris di babak perempat final. Laga yang mempertemukan dua tim besar ini jadi pertandingan yang cukup kontroversial kala itu.

The Three Lions datang dengan ambisi memutus kutukan selalu gagal di Piala Eropa. Sedangkan Portugal harus menjaga nama baik di hadapan publik sendiri. Awalnya, laga yang dimainkan di markas Benfica itu didominasi oleh Inggris. Melalui Michael Owen, pasukan Sven-Goran Eriksson pun unggul di menit ketiga. 

Costinha melakukan kesalahan mengantisipasi sebuah umpan jauh langsung dari kiper David James. Owen yang menyelinap pun langsung menghukum Portugal dengan gol cepat. Skuad racikan Scolari pun harus bersabar hingga menit 83 untuk menyamakan kedudukan. Helder Postiga yang berdiri tanpa pengawalan menanduk bola hasil umpan Simao. Skor 1-1 pun sepertinya akan mengakhiri laga.

Namun, Inggris sempat mencetak gol di menit-menit akhir waktu normal. Sol Campbell memanfaatkan kemelut di depan gawang Ricardo dan memasukan bola menggunakan kepalanya. Campbell pun berlari kegirangan seolah telah memenangkan laga. Tapi ia justru tak mendengar bunyi peluit wasit. Urs Meier, wasit yang bertugas kala itu menganulir gol Campbell.

Keputusan ini layak diperdebatkan. Menurut Daily Star, Meier merasa John Terry sudah lebih dulu melakukan pelanggaran terhadap kiper Portugal. Padahal, jika dilihat dari tayangan ulang, Campbell dan Terry tak melakukan upaya untuk mengganggu pergerakan Ricardo. Campbell berduel di udara secara bersih tanpa mengganggu penjaga gawang. Meier pun dikecam setelah menganulir gol kemenangan Tiga Singa.

Para pemain Inggris pun marah pada pengadil lapangan. Namun, Urs Meier tetap teguh pada pendirian. Laga pun dilanjutkan ke babak extra time. Setelah tanpa gol di babak pertama perpanjangan waktu, di lima menit awal babak kedua Rui Costa yang masuk sebagai pemain pengganti mencetak gol dan memberikan harapan pada publik Portugal.

Ricardo Melepas Sarung Tangannya

Sepakan kerasnya menghujam gawang David James menit 110. Sialnya lima menit kemudian, legenda Chelsea, Frank Lampard mencetak gol penyeimbang dan memaksa laga harus diakhiri melalui babak adu penalti. Dewi Fortuna seakan berpihak pada Portugal saat David Beckham yang maju sebagai penendang pertama Inggris justru gagal menunaikan tugasnya.

Tetapi, kebahagiaan itu cuma sesaat. Karena setelah itu, Rui Costa mengalami kejadian yang sama sehingga skor adu penalti menjadi imbang 2-2. Setelah itu, enam algojo berturut-turut sukses menunaikan tugasnya. Di saat skor kembali imbang, di sinilah ide gila Ricardo muncul. 

Merasa frustrasi lantaran gagal menepis banyak tendangan, Ricardo pun melepas sarung tangannya ketika akan menghadapi tendangan dari Darius Vassell. Pemain Inggris itu pun sempat mempertanyakan tingkah Ricardo kepada wasit. Namun, Urs Meier lagi-lagi mengambil keputusan aneh dengan mengizinkan aksi tersebut. Dan ya, ide konyol itu membuahkan hasil. Ricardo memblok sepakan Vassell dengan tangan kosong.

Tak cukup sampai di situ, Ricardo yang rasa percaya dirinya sedang memuncak meneruskan aksi dengan mengambil penalti berikutnya. Kiper yang tak begitu tinggi itu akhirnya menyudahi perlawanan Inggris dengan sepakan kerasnya. Papan skor pun menunjukkan Portugal menang adu penalti dengan skor akhir 6-5.

Mendominasi Belanda

Setelah susah payah menundukan Inggris, Portugal sudah ditunggu Timnas Belanda di babak semifinal. Ini bakal jadi cobaan berat berikutnya bagi Rui Costa dan kolega. Karena Belanda saat itu juga berisikan pemain-pemain jempolan yang sedang naik daun. Sebut saja seperti Edwin Van Der Sar, Ruud Van Nistelrooy, Arjen Robben, Clarence Seedorf, hingga Edgar Davids.

Laga antara Portugal dan Belanda agaknya seperti final kepagian. Stadion pun dipenuhi oleh penonton yang ingin menyaksikan aksi dari pemain-pemain bintang. Jual beli serangan pun tersaji sejak menit pertama. Namun, Portugal terlihat lebih percaya diri. Mereka mendominasi permainan dengan melepaskan tujuh tembakan on target. Sementara Belanda lebih sibuk meloloskan diri dari tekanan.

Gol pembuka lahir dari sundulan si bocah ajaib, Cristiano Ronaldo menit 26. Gol tersebut jadi satu-satunya di babak pertama. Di awal babak kedua, pelatih Belanda, Dick Advocaat melakukan beberapa perubahan. Salah satunya dengan menarik Wilfred Bouma dan memasukan Rafael van Der Vaart. Sayang, perubahan itu tak membuahkan hasil.

Alih-alih menyamakan kedudukan, Belanda justru kembali kebobolan. Kali ini melalui sepakan Maniche buah assist Ronaldo menit 58. Belanda sempat membalas satu gol pada menit 62. Tapi itu pun bukan dari usaha mereka sendiri, melainkan karena bek Portugal, Jorge Andrade melakukan kesalahan sehingga tercipta gol bunuh diri. 

Tak ada perlawanan hingga berakhirnya laga, Portugal pun melenggang ke final setelah mengalahkan De Oranje dengan skor 2-1. Itu jadi malam dimana seluruh skuad Portugal mengira bahwa gelar telah menjadi milik mereka. Karena lawan yang akan mereka hadapi di final “cuma” Yunani.

Dipermalukan Yunani (Lagi)

Setelah beristirahat selama empat hari, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Laga final antara Portugal dan Yunani diselenggarakan di Estadio da Luz dipenuhi penonton. Ini jadi laga final pertama bagi kedua belah pihak. Jika Portugal memang sudah diprediksi bakal tampil di laga puncak karena berstatus sebagai tuan rumah, tidak demikian halnya dengan Yunani.

Datang sebagai tim yang diremehkan karena selalu gagal meraih kemenangan di turnamen-turnamen besar sebelumnya, pasukan Otto Rehhagel kali ini tampil dengan sepakbola kolektif dan disiplin yang kuat di lini pertahanan. Yunani mengandalkan serangan balik dan terbukti sejumlah tim pun mereka kalahkan.

Menghadapi tim kuda hitam, jalanan kota Lisbon pun mulai sepi karena hampir seperempat setengah populasi memenuhi Estadio da Luz untuk melihat Timnas Portugal merayakan gelar juara EURO 2004. Namun, Portugal yang sudah berpesta lebih dulu tampaknya lupa diri. Luis Figo cs tak ingat bagaimana Yunani pernah mempermalukan Portugal di laga pembuka.

Kembali bertemu Yunani di final, Portugal kembali kesulitan menghadapi pertahanan kokoh Ethinki. Meski terus digempur oleh Ricardo Quaresma cs, Yunani tetap bertahan. Dari sebelas tembakan dan sepuluh sepakan pojok, tak ada satu pun yang melewati garis gawang Antonios Nikopolidis.

Portugal boleh jadi tuan rumah, tapi Yunani bersama para dewa. Yunani justru lebih dulu membuka keunggulan di awal babak kedua. Angelos Charisteas berhasil melompat lebih tinggi dari Ricardo untuk menyambut umpan sepak pojok dari Angelos Basinas. Publik Lisbon terdiam, tapi tidak dengan bench pemain Yunani. Mereka beranjak dari tempat duduk dan merayakan gol tersebut.

Sialnya, gol itu jadi satu-satunya yang tercipta di laga final. Inggris, Belanda, dan Spanyol bisa dikalahkan oleh Portugal. Tapi, tidak dengan Yunani. Mereka jadi satu-satunya tim yang tak bisa dikalahkan oleh Portugal meski memiliki dua kali kesempatan. 

Masih ingat dengan upacara pembukaan yang menggunakan sebuah kapal di awal cerita? Ya, itu jadi pertanda bahwa akan datang sekelompok bajak laut yang merampas gelar juara dari Portugal. Dan Yunani lah bajak laut itu.

Sumber: Goal, UEFA, Daily Star, BR, The Guardian, These Football Times

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru