Penghargaan Ballon d’Or yang disematkan kepada Rodri yang penuh tanda tanya itu telah membuat hati Vinicius terluka. Sebab, menurutnya, secara statistik ia lebih layak daripada gelandang tengah Manchester City itu. Masalah semakin besar setelah kontroversi ini merambah ke dapur Real Madrid.
Pihak klub merasa bahwa selama ini Vini telah diragukan kemampuannya. Warna kulitnya yang berbeda pun diperkirakan jadi masalah utama dalam beberapa tahun terakhir. Lantas bagaimana Vini menyumpal semua keraguan yang disematkan pada dirinya?
Sebelum mengulas lebih lanjut, yuk Subscribe dan nyalakan notifikasi agar tak ketinggalan video-video terbaru dari Starting Eleven Story.
Daftar Isi
Perkenalannya dengan Sepak Bola
Vinicius baru saja meraih penghargaan Pemain Terbaik Dunia Versi FIFA. Namun salah satu pencapaian individu terbaik di dunia itu tak akan pernah ia raih, jika di masa lalu, Vini lebih memilih Futsal ketimbang sepakbola.
Tidak seperti kebanyakan pemain hebat lain, Vinicius tidak memulai karirnya dari lapangan hijau, melainkan lapangan karet. Ya, Vini yang masih berusia sembilan tahun justru menekuni futsal terlebih dahulu.
Sampai-sampai, bakatnya terendus oleh salah satu perwakilan klub terbesar di Brazil, Flamengo. Namun, setibanya di kamp latihan Flamengo, pelatih Flamengo, yakni Eduardo Junior merasa bahwa Vini masih terlalu muda dan lemah untuk sepakbola. Ia diminta untuk tetap menekuni futsal saja, ketimbang sepakbola.
Awal karir Vinicius tak seindah kini.
Bermain di Club besar, sudah pasti melekat tekanan & ekspektasi besar.
Speak Up-nya tentang rasisme jadi magnet media & Fans Laliga
Vinicius salah satu pemain yg sukses mengelola tekanan menjadi motivasi diri. 🫡 pic.twitter.com/WB7qam7DmZ— Siaran Bola Live (@SiaranBolaLive) June 4, 2024
Tapi, tekad Vini lebih besar dari pandangan sinis orang-orang di Flamengo. Melihat hamparan rumput hijau, ia merasa bahwa ini lah sepakbola sesungguhnya. Vini pun tidak mendengarkan saran itu dan tetap berlatih sepakbola di Flamengo muda.
Vini memulai debutnya pada pertandingan melawan Atletico-MG tahun 2017. Kala itu, Vini diturunkan pada menit ke-82. Meski hanya bermain sekian menit, sang pelatih merasa bahwa Vini memiliki potensi yang terpendam.
Meski pada akhirnya tidak selalu jadi starter di Flamengo, tapi sekalinya tampil dia mampu membayar kepercayaan sang pelatih. Vini pasti menghasilkan assist maupun menciptakan gol. Penampilan konsistennya pun sampai menarik perhatian raksasa La Liga, Real Madrid pada tahun 2018.
Diboyong ke Real Madrid
Menariknya, talenta Vini yang dianggap begitu potensial bagi Madrid, membuat klub Spanyol itu bersedia untuk merogoh kocek yang cukup dalam. Kala itu, Madrid rela mengeluarkan 45 juta euro. Padahal, bagi sebagian orang, Vini hanya pemain Brazil mentah. Banyak pemain yang punya kualitas sama sepertinya.
Beberapa pengamat sepakbola merasai nilai yang dikeluarkan Los Blancos itu terlalu gila untuk pemain seperti Vini. Dengan kualitasnya yang masih abu-abu, Vinicius dinilai tidak layak jadi pemain termahal kedua Brasil setelah Neymar yang kala itu diboyong Barca dengan mahar 54 juta Euro. Nah, disitulah konsekuensi berat harus dihadapi.
Di Brazil, mungkin Vini dipuja-puja berkat skill individunya. Tapi ketika di Real Madrid Vini bagaikan anak kemarin sore yang belum tahu apa-apa. Real Madrid sebagai klub besar memaksa Vini belajar lebih banyak lagi soal sepakbola dan atmosfer Santiago Bernabeu.
Bermain untuk Real Madrid butuh sesuatu lebih dari sekadar kemampuan individu. Seperti yang ditekankan Karim Benzema, sepakbola adalah soal kerja sama tim. Dan Vini masih bermasalah soal itu. Terbukti, ia kesulitan saat awal-awal bergabung dengan salah satu klub elite tersebut.
Tantangan yang Berat
Di sisi lain, timing Vinicius Junior bergabung dengan Real Madrid sebenarnya tidak tepat. Karena El Real kala itu sedang masa transisi. Hal ini sedikit membuat perkembangan karir Vini sempat terhambat.
Madrid sedang limbung secara performa. Apalagi semenjak ditinggalkan Cristiano Ronaldo yang pergi ke Juventus di tahun 2018, Real Madrid tak lagi punya mesin gol. Gareth Bale yang diharapkan bisa jadi mesin gol belum mampu gantikan peran CR7.
Sementara dari sisi pelatih, Madrid juga lagi labil. Real Madrid bergonta-ganti pelatih. Saat itu Real Madrid dilatih oleh Julen Lopetegui yang memang tidak menaruh kepercayaan pada Vini. Dirinya dinilai gagal untuk mengerek performa tim. Dan berakhir dengan pemecatan. Ia digantikan oleh Santiago Solari.
Di era Santiago Solari, baru lah Vinicius jadi lebih sering bermain. Ia mendapat kesempatan bermain sebanyak 31 kali di musim 2018/19. Dari penampilan tersebut, Vini menciptakan 3 gol dan 12 assist. Performa yang terbilang lumayan bagi pendatang baru sepertinya.
Lalu saat Zinedine Zidane melatih EL-Real lagi tahun 2019, Vini mendapat kesempatan bermain yang cukup banyak. Tapi performa Vini tak sebanding dengan laga yang dimainkan. Ia hanya mengemas 3 gol dan 2 assist dari 29 laga di La Liga musim 2019/20.
Ini adalah performa yang mengecewakan, mengingat Vini didatangkan Madrid untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Cristiano Ronaldo.
Hujatan Rasis
Belum juga membuktikan kapasitas sebagai pemain top dunia dipecahkan, Vini malah mendapat perlakuan tak menyenangkan. Vinicius mendapat penghinaan rasis dari suporter di Spanyol.
Operator kompetisi La Liga mencatat kalau sudah ada sembilan pengaduan pelecehan rasisme terhadap Vini sejak Oktober 2021. Di tahun selanjutnya pelecehan itu makin menjadi dengan patung yang digantung dekat jembatan tol dekat tempat latihan Real Madrid.
Serangkaian bentuk rasisme membuat hati kecil Vini tersayat-sayat. Ia merasa tak dihargai layaknya seorang manusia. Hal itu terlihat saat Vini diwawancarai The Athletic, Vini tak kuasa menahan tangis. Punggawa El Real itu mengeluhkan pelaku-pelaku rasis itu tak dihukum. Sehingga mereka tetap bebas melakukan serangan rasisme kepadanya.
“Saya hanya ingin bermain, dan saya hanya ingin pergi ke stadion tanpa ada yang mengganggu saya karena warna kulit saya.” ucap Vini.
Melawan Rasisme di Spanyol
Dari sini, Vini bertekad untuk melawan rasisme yang dilakukan oleh oknum fans sepakbola di Spanyol. Vini mengancam akan meminta tim untuk meninggalkan pertandingan jika nyanyian-nyanyian berbau rasisme terdengar lagi. Menurutnya, itu akan membuat para oknum merugi karena membayar denda yang lebih besar.
Meski pada akhirnya tidak semua fans membayar denda, tapi cara seperti itu menurut Vini cukup efektif meredam serangan rasisme. Ancaman Vini dan Real Madrid itu akhirnya menginspirasi operator kompetisi La Liga, untuk meminta Pemerintah Spanyol merevisi peraturan tentang rasisme agar lebih tegas lagi.
Dengan penegasan aturan tersebut, serangan rasisme itu menjadi surut. Vini akhirnya bisa fokus untuk bermain sepak bola tanpa perlu lagi mendengar kata-kata “Monyet”, “Vini Mati Saja.” dari oknum fans yang ingin merendahkannya.
Performa Terbaik
Kini, siapa saja berhati-hati untuk mengatakan rasis pada Vini. Jika ada yang nekat, siap-siap saja untuk mendapatkan hukuman yang lebih berat. Dengan seperti itu, Vini berharap bisa mengubah persepsi fans Spanyol terhadap kulit hitam.
Seiring berjalannya waktu, Vini yang mengabaikan nada-nada berbau rasis performanya kian meroket. Di tangan Carlo Ancelotti, Vini dilatih sebagaimana pemain top dunia bermain. Tak cuma skill tapi juga paham soal visi bermain sepak bola. Hasilnya sungguh mengejutkan.
Vini nyaris saja menyabet gelar Ballon D’or 2024. Sebab perform Vini di musim 2023/24 sangat impresif. Vini mencetak 25 gol dan 12 assist di semua kompetisi. Tak cuma itu, Vini juga membantu Madrid mengawinkan gelar Liga Spanyol dan Liga Champions di musim tersebut.
Tapi, karena dasarnya Ballon d’Or adalah penghargaan yang mengandalkan vote, Ballon d’Or Vini dibegal Rodri, pemain Manchester City yang secara statistik tak terlalu membanggakan. Boleh dibilang lebih rendah daripada Vini. Namun ia unggul 41 poin dari Vini.
Meski demikian, kehebatan Vini di lapangan tetap diakui oleh khalayak umum. Tak terkecuali dari para praktisi sepakbola. Oleh karena itu, dia tetap menjadi kandidat kuat untuk memperoleh penghargaan Pemain Terbaik versi FIFA. And ya, dengan 48 poin yang diperoleh dari rekan-rekan sejawat, Vini berhak membawa pulang penghargaan tersebut.
Meskipun penghargaan tersebut kalah bergengsi dari Ballon d’Or, setidaknya capaian ini jadi pembungkaman telak terhadap para fans Spanyol yang rasis itu. Mau dihina bagaimana pun, Vini tetap bisa membuktikan bahwa ia adalah yang terbaik di dunia.
FootballFaithful, Goal, SportDetik, isfootball, Bolanet, Liputan6, New York Times, 90 Menit