Ronald Koeman baru-baru ini mengatakan bahwa pola 4-3-3 Barcelona milik Xavi yang coba mengembalikan pola “tiki-taka” kini tak cocok lagi alias sudah usang. Koeman juga mengatakan bahwa Barcelona kini hidup di masa lalu. Bagaimanapun sepakbola makin berkembang, dan klub harus sadar tentang itu.
Nah, berangkat dari perkataan Koeman mengenai tiki-taka itu, apakah benar jika tiki-taka itu sudah Benar-benar usang? Pertanyaan itu akan menjadi lebih menarik ketika kita terlebih dahulu melihat era di mana istilah tiki-taka ini lahir dan bagaimana perkembangannya sampai sekarang.
Ronald Koeman: “Barcelona live in the past with the 4-3-3 and the ‘tiki-taka’. Football has changed. Now it’s faster… more physical.” pic.twitter.com/thO4QDHrCa
— Barça Universal (@BarcaUniversal) June 27, 2022
Daftar Isi
Kok Bisa Disebut Tiki-Taka
“Estamos tocando tiki-taka” begitu teriak mendiang Andres Montes, seorang komentator sepakbola saat mengomentari laga Spanyol kontra Tunisia di Piala Dunia 2006. Gara-gara komentar Andres di televisi itulah istilah tiki-taka kemudian masyhur.
“Estamos tocando tiki-taka tiki-taka”, “we are playing with light, quick steps.” – Andrés Montes, (Spanish commentator) – Spain v Tunisia, 2006@AFHStewart & @fennertown explain Tiki-Taka:https://t.co/WaFZSksVs5#WhiteboardFootball pic.twitter.com/Xk6VE4pkMY
— Tifo Football (@TifoFootball_) April 9, 2020
Pertama diawali dengan sosok Luis Aragones, pelatih kawakan Spanyol yang bisa dikatakan punya jasa besar terhadap bangkitnya prestasi sepak bola negeri Matador. Aragones mengambil alih kursi nahkoda La Furia Roja pada tahun 2004 menggantikan Inaki Saez yang gagal di Piala Eropa 2004.
Ia menerapkan gaya permainan dengan sirkulasi umpan-umpan pendek seperti apa yang dijalankan Barcelona ketika itu dengan aroma Total Football-nya ala Rijkaard. Berkat cara bermain seperti itulah Spanyol akhirnya bisa merengkuh trofi Piala Eropa 2008.
Luis Aragones, who introduced tiki-taka to the Spain national team at Euro 2008, dies aged 75 http://t.co/3f7PqFHYml pic.twitter.com/jkf90RfRpx
— Telegraph Football (@TeleFootball) February 1, 2014
Kalau bicara tiki-taka, sebenarnya apa yang dilakukan Spanyol itu adalah buah dari evolusi sepakbola Total Football Belanda era 1970-an. Adapun yang mengatakan, bahwa tiki-taka tidak hanya buah evolusi Total Football, melainkan ada campuran cara bermain “Spinning Top” milik Schalke yang sudah dulu dipraktekkan di era 1930-an.
🚨 MEISTER 1930-1940 🚨
We jump into 1930s where we celebrate German dominance during a dark era in Europe.
#S04 #Schalke #SchalkeUS @2BundesligaPod @Bundesliga4u @Schalke_Canada @Schalkecorner @S04UK @marieschubo @SchalkeCbus @FCSchalke04BR pic.twitter.com/rmKsl7rxLd
— SchalkeMerica (@SchalkeMerica) September 3, 2021
Yang jelas, secara garis besar tiki-taka adalah menganut sepakbola menyerang. Di mana pertahanan terbaik adalah menyerang. Semua lini bisa sama-sama berkontribusi yang terbaik bagi tim, tidak hanya stagnan dalam satu posisi.
Sentuhan tiki-taka ala Spanyol menitikberatkan pada passing dan penguasaan bola. Selama mungkin memegang bola dan mengurung lawan, semakin banyak pula peluang tercipta. Dari situlah semakin banyak persentase gol yang akan tercipta. Dengan begitu lawan pun tak bisa banyak memainkan bola dan akan terus terkuras tenaganya.
Itulah dasar tiki-taka yang diperagakan. Tentu tidak sembarangan dalam memainkan gaya ini. Diperlukan pemain dengan kapasitas yang sesuai dan konsistensi.
Penyempurnaan Dan Dominasinya
Selain pemain yang sesuai, juga diperlukan pelatih yang sesuai. Dan Spanyol beruntung mempunyai seorang Pep Guardiola yang bisa menyerap ilmu dari gurunya, Johan Cruyff dengan baik. Pep membangun infrastruktur pemain melalui La Masia di Barcelona sambil belajar dari pendahulunya Van Gaal dan Rijkaard sebelum menangani Barcelona.
Johan Cruyff and Pep Guardiola. pic.twitter.com/wjVCrTmriQ
— 90s Football (@90sfootball) November 18, 2020
Nah, dari Pep inilah kemudian tiki-taka yang sudah populer sejak 2006 itu disempurnakan. Pep yang kadang overthinking itu kemudian meramu tiki-taka dengan versi yang lebih modern ketika ia ditunjuk sebagai pelatih Barcelona pada 2008.
Pep lebih bereksplorasi bermain dengan ruang kecil. Pep menitikberatkan permainan dengan mengeksploitasi sekecil apa pun ruang pertahanan lawan. Evolusi taktik itu bisa dikatakan berjalan mulus. Itulah sebabnya Barcelona bisa meraih sextuple di tahun pertamanya melatih.
Semenjak itu, tiki-taka bergelora namanya di penjuru dunia. Nama Pep terlihat menonjol sebagai peracik tiki-taka modern. Dan tak heran juga ketika itu timnas Spanyol pun mengadopsi pola permainan yang sama seperti Barcelona.
Tak dipungkiri selama ini era keemasan tiki-taka tumbuh mekar pada kurun waktu tahun 2008 hingga 2012. Seiring dengan dominasi Barcelona dan juga timnas Spanyol. Untuk timnas Spanyol, mereka setelah ditinggal Aragones mampu diteruskan dengan baik oleh Vicente Del Bosque. Del Bosque juga mengikuti cetak biru yang sama dengan pola permainan Barcelona. Tak heran sebagian besar pemain timnas Spanyol adalah pemain Barca.
Pep Guardiola’s Barcelona, & the world-conquering Spanish team of 2008-2012, turned Tiki-Taka into an all dominating force.
In this pod, @JM_Devine & @AFHStewart explain what it actually means and how it’s used.
Listen:https://t.co/1OhQc6mC4j
Watch:https://t.co/sdNMRP2Nh4 pic.twitter.com/vDlAnEd4Gt
— Tifo Football (@TifoFootball_) April 11, 2020
Dominasi Spanyol menjadi 2 kali juara beruntun Piala Eropa, dan 1 kali Piala Dunia menasbihkan bahwa tiki-taka sedang pada masa kejayaan. Namun apakah tiki-taka akan terus berjaya? Ternyata tidak. Seperti umumnya sebuah kejayaan, pasti akan mengalami keruntuhan pula. Dan persis, beberapa antitesa untuk membendung tiki-taka pun bermunculan.
Matinya “Nama Tiki-Taka”
Beberapa antitesa pun muncul yang membuat Barcelona tak lagi perkasa. Salah satunya termasuk Inter Milan di 2010 dengan “parkir bus” racikan Mourinho. Sebuah bentuk pola Reaktif Football yang cenderung mengarah kepada Negative Football diterapkan dengan baik oleh Mourinho yang sadar akan dominasi tiki-taka Barcelona.
Hasil eksperimennya bisa dikatakan berhasil. Akhirnya banyak klub saat itu ketika melawan pola tiki-taka Barca mengadopsi antitesa yang sama dengan Mourinho. Meskipun banyak juga yang gagal karena mungkin kualitasnya belum memadai. Sejak itulah kelangsungan hidup tiki-taka pun akhirnya mulai terusik.
#OnThisDay 10 years ago in 2010, the Special One lit Pep’s Camp Nou on fire.
Mourinho: “We didn’t park the bus that day… We parked an A-340 with its wings spread out.” pic.twitter.com/XE7GB5CpN4
— M•A•J (@Ultra_Suristic) April 28, 2020
Dan itu terbukti pada beberapa contoh. Misal Barcelona dengan Pep yang mulai turun performanya baik di liga domestik maupun Eropa. Hal itu juga terjadi beriringan dengan timnas Spanyol, sejak juara eropa 2012, performa Spanyol perlahan mulai menurun.
Pep yang mencoba pindah ke Munchen pun bisa dikatakan kurang berhasil. Ketika itu Munchen-nya Pep dilibas Madrid di Liga Champions berkat antitesa pelatih yang katanya miskin taktik, Carlo Ancelotti. Hal itu lama kelamaan disadari sendiri oleh Pep. Pep pun kini akhirnya mengatakan bahwa ia risih disebut bermain dengan tiki-taka. Ia tak mau lagi menggunakan istilah tiki-taka dalam permainanya.
Taktik Itu Berubah Secara Dinamis
Istilah tiki-taka ini perlahan mulai hancur dan hanya tinggal sebuah nama. Seiring dengan berkembangnya era sepakbola modern seperti sekarang ini. Sepakbola kini berkembang dengan pola taktik yang dinamis. Segalanya harus disesuaikan dengan perkembangan era teknologi modern. Di mana sepakbola semakin canggih dan kini bisa diukur dengan statistik.
Muncullah varian pola baru sepakbola seperti misal, gegenpressing. Yang lebih menitikberatkan pada merebut bola secepat mungkin dari lawan dan juga secepat mungkin melakukan serangan. Hal itu menuntut banyak energi fisik para pemain yang prima dalam menjalankannya. Seperti apa yang dilakukan pelatih-pelatih Jerman seperti Klopp, Rangnick, Nagelsmann, maupun Tuchel. Akan tetapi yang perlu diingat, semuanya itu tetap berangkat dari satu filosofi yang sama yakni sepakbola menyerang.
🚨Who is Ralf Rangnick? Rangnick is Considered as The Godfather of German Coaching, He is The Mastermind Behind The Gegenpressing.
The Top German Managers in Football Right Now – Jurgen Klopp, Thomas Tuchel, Julian Nagelsmann, Hansi Flick, etc. — pic.twitter.com/CoHzAiMaGg
— AZR (@AzrOrganization) November 25, 2021
Ada benarnya juga ketika tiki-taka dikatakan Koeman sudah usang. Namun yang perlu diingat bahwa itu hanya nama. Rohnya sampai kapan pun tak akan pernah hilang layaknya Total Football. Hanya saja sekarang lebih bervariasi dan tidak berpaku pada satu pola taktik.
Kini, Barcelona era Xavi yang dikritik oleh Koeman itu pun sebenarnya sudah jauh dari apa yang dinamakan tiki-taka. Begitupun Pep yang bertahun-tahun berhasil hidup di ketatnya Premier League. Seorang Pep sekalipun bisa tumbuh beradaptasi dengan berbagai macam pola taktik ketika di Manchester City.
Kini, apa pun itu namanya, sepakbola dengan pola seperti tiki-taka akan terus ada. Hanya saja mungkin nama, variasi, dan sentuhannya yang berbeda. Dan itu juga akan tetap terus dilawan dengan antitesanya. Semua orang berhak mengidolai tiki-taka. Akan tetapi, di sisi lain jangan juga menghujat pengagum Negative Football. Semuanya sah dalam sepak bola. Tinggal condong yang mana, yang penting jangan sampai jotos-jotosan.
https://youtu.be/QzMcLXLcuz4
Sumber Referensi : foottheball, sportskeeda, fourfourtwo