UEFA yang Pengecut Bikin Tim Seperti Girondins Bordeaux Bangkrut

spot_img

“Aku bisa hidup tanpa uang, tapi tidak bisa hidup tanpa cinta,” kata aktris sekaligus penyanyi Judy Garland. Namun, dalam konteks klub sepak bola, perkataan yang indah itu hanya kembang lambe. Klub tidak bisa hidup hanya dengan cinta dari penggemarnya, tapi juga membutuhkan uang.

Girondins Bordeaux, salah satu klub legendaris di Prancis terpaksa bangkrut karena mereka punya cinta dari penggemar, tapi tak memiliki dana. Bordeaux kini berada di divisi keempat. Tidak hanya kehilangan dana, tapi juga para pemainnya.

Ironis, di balik bangkrutnya Bordeaux, ada sifat pengecut dari UEFA. Bagaimana UEFA yang pengecut bisa bikin tim seperti Girondins Bordeaux bangkrut? Mari mengulasnya.

Degradasi

Musim 2021/22, Girondins Bordeaux degradasi dari Ligue 1. Sesuatu yang agak sulit dimengerti. Di awal musim, Les Girondins sebenarnya berhasil merekrut pelatih yang gemilang di Timnas Swiss, Vladimir Petkovic. Ia juga memperkuat tim dengan pemain-pemain yang didatangkan. Hanya saja, alih-alih berujung bahagia, rencana Bordeaux di tangan Petkovic berakhir bencana.

Hal itulah yang membuat jabatan Petkovic dicopot. Namun, mencopot Petkovic tidak lantas membersihkan air yang sudah keruh. Keadaan terlanjur kacau di tubuh Bordeaux. Sehingga pelatih baru yang didatangkan, David Guion pun tak bisa berbuat banyak. Di bawah asuhannya, Bordeaux hanya memetik dua kemenangan dari 14 pertandingan Ligue 1.

Di akhir musim, Bordeaux tak sanggup menghindari jurang degradasi. Les Girondins hanya mengumpulkan 31 poin. Mereka kalah dalam 19 laga. Lebih lengkap soal betapa kacaunya Bordeaux saat itu, kamu bisa menonton video Starting Eleven Story sebelumnya.

Masalah Keuangan

Masalah keuangan menjadi salah satu masalah klasik dalam klub sepak bola. Dan itulah yang mendorong Les Girondins ke gua gelap tanpa penerangan. Namun, sebelum menimpa masalah keuangan dan akhirnya degradasi, Bordeaux sudah dikelola ugal-ugalan. Kalau dilacak, hal itu kemungkinan besar dimulai pada tahun 2018.

Waktu itu, Bordeaux kedatangan investor dari perusahaan General American Capital Partners milik Joseph DaGrosa junior. Pemilik baru itu awalnya sesumbar akan menggelontorkan dana 80 juta euro (Rp1,3 triliun) dan mengembalikan Bordeaux ke Liga Champions dalam kurun tiga tahun. Namun, seperti DPR, pemilik Bordeaux itu mengkhianati janjinya.

Josep DaGrosa hanya menggelontor 9 juta euro (Rp156 miliar) saja. Jauh sekali dari janjinya. Para pendukung tentu saja protes, dan akhirnya membuat kepemilikan General American Capital Partners yang baru seumur jagung kandas. Setelah perusahaan itu menarik diri, tak berapa lama Covid-19 melanda. Pandemi menghantam segala lini, dan Bordeaux salah satu korbannya.

Bordeaux yang sudah bonyok makin babak belur. Apalagi pandemi membuat penonton berkurang. Di lain tempat, Liga Prancis juga terkapar karena Mediapro, perusahaan multimedia asal Spanyol mencabut kesepakatan hak siar di Ligue 1. Liga Prancis pun terpaksa kehilangan 780 juta euro (Rp13,5 triliun) dari sana.

Pengelola Buruk

Setelah General American Capital Partners lepas dari Bordeaux, King Street masuk. Namun, memasuki tahap administrasi pada April 2021, usai pandemi melanda, King Street menarik diri. Kepemilikan kemudian beralih ke pengusaha Spanyol-Luksemburg, Gerard Lopez.

Nah, degradasi yang diceritakan di awal terjadi di tangan Gerard Lopez. Bahkan sebetulnya, di musim 2021/22, Bordeaux tidak hanya degradasi ke Ligue 2 untuk pertama kalinya sejak 31 tahun, namun juga terancam bangkrut.

Direction Nationale du Contrôle de Gestion atau DNCG, badan yang bertanggung jawab mengawasi finansial klub-klub Prancis menghukum Bordeaux ke Championnat National atau liga kasta keempat atau liga amatir. Les Girondins sempat mengajukan banding, tapi degradasi dan kebangkrutan sulit dihindari karena masalah keuangan memeluk mereka.

Masalah keuangan ini diduga timbul karena Gerard Lopez, selain mengakuisisi Bordeaux juga membeli klub Liga Portugal, Boavista. Jadi, sang pemilik selain mengelola Bordeaux yang sedang krisis, juga mengurus Boavista.

Mengelola lebih dari satu klub tidaklah gampang, apalagi salah satunya bermasalah. Alhasil, krisis keuangan pun tak bisa dihindari Bordeaux. Gerard Lopez tak kuasa membuat timnya itu aman dari segi finansial.

Salah satu legenda klub, Bixente Lizarazu pernah mengutarakan kemuakkan pada Lopez. Lizarazu bahkan mendorong agar Lopez segera angkat kaki. Kendati Lizarazu tidak menampik bahwa itu adalah konsekuensi dari sistem manajemen olahraga dan keuangan yang buruk selama bertahun-tahun.

Gagal Diakuisisi FSG

Apa yang dimaksud Lizarazu konsekuensi dari sistem manajemen olahraga? Jika dilihat dari Lopez yang memiliki dua klub sekaligus, ini berarti berkaitan dengan sistem multi club ownership, yang mana satu orang bisa memiliki lebih dari satu tim. Sistem tersebut memang sedang ngetren belakangan ini. 

Tapi kenyataan pahitnya, apabila pemilik itu tak mampu mengelola keuangan bisa jadi kacau, seperti apa yang dialami Bordeaux. Klub seperti Les Girondins adalah makanan empuk bagi pemilik klub yang ingin menerapkan kepemilikan banyak klub. Namun, selayaknya daging empuk, masaknya juga butuh effort yang luar biasa.

Boleh jadi effort itulah yang tidak mau diambil oleh pemilik Liverpool, FSG. Sebelum mengajukan diri dan menyatakan bangkrut, Fenway Sports Group pernah menginginkan untuk berinvestasi pada Bordeaux. Lalu menjadikannya saudara Liverpool.

Sayangnya, karena kesepakatan tak kunjung ketemu, FSG membatalkan rencana itu. Mengutip This Is Anfield, FSG tidak melihat ada kesepakatan yang menguntungkan bagi mereka dengan mengakuisisi Bordeaux.

Harapan Palsu Bernama Multi Club Ownership

Munculnya sistem multi club ownership membuat klub-klub tradisional yang berada dalam kesulitan keuangan akhirnya mulai berpikir untuk diambil alih oleh klub super adalah satu-satunya solusi. Sebelum dinyatakan bangkrut, hal itulah yang juga diharapkan oleh Girondins Bordeaux.

Satu-satunya harapan datang dari Fenway Sports Group. Jatuh ke FSG dan menjadi saudara Liverpool terkesan sebagai keputusan yang masuk akal. Padahal berkaca pada kasus Gerard Lopez, hal semacam itu ternyata tidak bisa menghindari klub dari kehancuran.

Sistem multi club ownership bisa jadi hanya akan menguntungkan bagi konglomerat kelas atas. Setidaknya mereka yang uangnya tak berseri. Dan pada gilirannya, sistem yang kemudian dihalalkan oleh UEFA itu hanya akan menjadi ladang keserakahan kaum elit.

UEFA terlalu pengecut dengan memberikan dispensasi kepada klub-klub yang berbagi kepemilikan, seperti Leipzig dan Salzburg, Manchester City dan Girona, atau Manchester United dan Nice. UEFA terlalu lembek dengan misalnya, mengizinkan dua tim satu pemilik saling jual-beli pemain, seperti yang dilakukan City dan Girona.

Selain itu, UEFA terlalu mudah mengizinkan dua tim yang dimiliki satu orang berkompetisi di turnamen yang sama. UEFA cuma mensyaratkan, bagi dua klub satu pemilik yang ingin bermain di satu kompetisi yang sama, wajib mengubah susunan organisasi klub.

Syarat itu tentu saja mudah dipenuhi. Girona bahkan memenuhi syarat tersebut hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Mereka yang sebelumnya terancam tidak bisa bermain di Liga Champions musim 2024/25 karena bersamaan dengan Manchester City, akhirnya diizinkan berpartisipasi.

UEFA Tak Berfungsi

Ketika sebuah tim mengalami krisis keuangan dan diambang kebangkrutan, lalu mereka berpikir bisa diakusisi pemilik klub lain, ini memperlihatkan betapa UEFA di bawah kepemimpinan Aleksander Caferin, menjadi badan yang sama sekali tidak berfungsi.

Bordeaux yang pernah gagal karena multi club ownership, tapi justru berharap ke hal serupa pada FSG, ini sejatinya menjadi pukulan telak bagi UEFA. Sebagai lembaga yang menaungi klub-klub di Eropa, UEFA lah yang mestinya mengulurkan tangannya pada Bordeaux, bukan klub bersangkutan yang berharap terus pada pengusaha.

Tapi, ya, mau gimana lagi? UEFA tak menolong. FSG tak sudi berinvestasi. Les Girondins pun dipaksa gulung tikar dan kehilangan status profesional. Bangkrutnya Bordeaux sangat disayangkan. Apalagi tim ini merupakan salah satu tim tersukses di Prancis. Enam gelar Ligue 1, empat kali juara Piala Prancis, dan dua kali menjambret Piala Super Prancis buktinya.

Selain pernah menjadi persinggahan Zinedine Zidane dan Didier Deschamps, Bordeaux juga melahirkan pemain hebat. Christophe Dugarry, Lizarazu, Aurelien Tchouameni, Marouane Chamakh, hingga Jules Kounde adalah pemain yang mengawali kariernya dari sini.

Sumber: TheGuardian, SportingNews, ThisIsAnfield, beinSPORTS

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru