Tumbangnya Raksasa Tiongkok, Guangzhou Evergrande

spot_img

Selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya Guangzhou Evergrande menguasai sepak bola China. Berbasis di kota Guangzhou, di provinsi Guangdong, Guangzhou Evergrande sempat menjadi kekuatan dominan dalam sepak bola Tiongkok setelah memenangkan gelar liga dalam tujuh musim berturut-turut. Meski sempat terputus di tahun 2018, mereka kembali memenangkan liga di tahun 2019. 

Klub yang memiliki nama asli sebagai Guangzhou FC ini merintis jalan baru menjadi kekuatan sepak bola Asia bersama Evergrande Real Estate Group, perusahaan properti paling besar di China saat itu. Dalam beberapa tahun terakhir Evergrande Group menjadi pemasok dana terbesar untuk Guangzhou demi mencapai kejayaan di sepak bola Asia.

Namun, di dunia ini tak ada yang abadi. Kejayaan yang sudah bertahun-tahun dibangun oleh Guangzhou di sepak bola Asia mendadak runtuh seketika pada akhir tahun 2021. Hal itu ditandai oleh sang investor utama, Evergrande Group yang terancam bangkrut karena terlilit hutang hingga milyaran dollar. Lantas bagaimana nasib Guangzhou Evergrande sekarang?

Guangzhou Evergrande

Dengan perkembangan industri sepak bola yang semakin masif, tim sultan di dunia sepak bola kini tidak hanya ada di Eropa saja. Beberapa kesebelasan di Benua Asia perlahan namun pasti juga mulai unjuk gigi dalam hal tersebut. Contohnya adalah Guangzhou Evergrande, klub sultan dari Chinese Super League, kasta tertinggi kompetisi sepak bola di China.

Sepak bola China sejatinya sebelas dua belas dengan sepak bola Indonesia, mereka miskin prestasi namun kaya akan masalah internal. Meskipun menjadi salah satu olahraga paling populer di China, skandal suap dan pengaturan skor terjadi di mana-mana. Tak jarang hal tersebut membuat beberapa pemain dan perangkat pertandingan mendekam di penjara.

Kejadian itu akhirnya menggugah pengusaha properti, Xu Jiayin yang mana ia adalah bos dari Evergrande Real Estate Group untuk mengambil jalan pintas. Pada awal 2010, Xu Jiayin mengambil alih klub Guangzhou FC dengan harga 11,2 juta euro atau hampir dua ratus miliar rupiah. 

Akhirnya Guangzhou FC pun berganti nama menjadi Guangzhou Evergrande. Pembelian ini cukup mengejutkan lantaran Guangzhou baru saja terdegradasi ke divisi dua Liga China.

Sempat Menjadi Raja Asia

Xu Jiayin selaku pemilik klub bergerak cepat untuk merombak besar-besaran Guangzhou Evergrande. Langkah awal Xu Jiayin adalah dengan mengontrak pelatih top Eropa yang sukses mengantarkan Italia meraih titel juara Piala Dunia 2006, Marcello Lippi sebagai pelatih kepala.

Selain Marcello Lippi, Guangzhou Evergrande juga pernah menggunakan jasa pelatih top lainnya seperti Luiz Felipe Scolari dan yang terakhir legenda Italia, Fabio Cannavaro.

Di sisi lain Guangzhou Evergrande juga memperkuat line up mereka dengan mendatangkan para pemain-pemain bintang Eropa dan Amerika Latin. Pada musim 2012/2013 Guangzhou mendatangkan Lucas Barrios dari kontestan Liga Jerman, Borussia Dortmund dengan biaya 8,5 juta euro atau sekitar Rp 136,4 miliar.

Lucas Barrios hanya sebagai nama pembuka saja, selain Barrios ada nama-nama bintang lainnya seperti Alberto Gilardino, Alessandro Diamanti, Paulinho, Jackson Martinez, Talisca hingga Robinho yang kala itu didatangkan langsung dari AC Milan.

Dalam sepuluh tahun dominasi mereka di sepak bola Tiongkok, Guangzhou Evergrande telah memenangkan segalanya. Tercatat mereka telah memenangkan delapan gelar Liga, empat trofi Chinese Super Cup, dua Chinese Cup dan dua kali meraih gelar Liga Champions Asia. 

Dengan catatan prestasi tersebut, menjadikan Guangzhou Evergrande sebagai klub paling sukses dalam sejarah sepak bola China. Bahkan berkat prestasinya di Asia, publik penikmat sepak bola sempat membanding-bandingkan Guangzhou Evergrande dengan raksasa Spanyol, Real Madrid dalam upaya mengincar pasar global.

Hebatnya, di tangan Xu Jiayin, Guangzhou Evergrande sempat menduduki peringkat keempat sebagai kesebelasan dengan pundi-pundi uang terbesar di dunia dan menjadi nomor satu di Asia, menurut Soccerex Football Finance 2018 edition.

Bangkrutnya Sang Investor

Namun, roda kehidupan akan selalu berputar dan yang berkilau tak selamanya indah. Pada akhir tahun 2021, Guangzhou Evergrande diambang kehancuran lantaran sang pemegang saham utama, Evergrande Real Estate Group sedang dililit utang dan terancam bangkrut. 

Kabarnya besaran utang Evergrande mencapai 300 miliar US dollar atau sekitar Rp 4,3 kuadriliun rupiah. Ditambah utang lain yang belum tercatat dengan jumlah yang belum diketahui.

Evergrande yang diambang kebangkrutan sangat mempengaruhi kestabilan keuangan Guangzhou Evergrande. Mereka telah melelang pemainnya untuk mengumpulkan uang  demi mencegah inflasi internal klub. Nama-nama seperti Talisca, Paulinho dan Ricardo Goulart dilego ke klub lain demi mengurangi beban gaji.

Saking kesulitannya untuk membayar utang, Evergrande sampai meminta pertolongan kepada pemerintah China agar perusahaan-perusahaan milik negara membeli beberapa aset milik Evergrande agar perusahaan terhindar dari kebangkrutan.

Terakhir, Guangzhou Evergrande juga telah melepas salah satu beban keuangan yaitu sang pelatih, Fabio Cannavaro. Pasalnya, selama Cannavaro menjadi pelatih Guangzhou, ia dikabarkan menjadi salah satu pelatih dengan bayaran tertinggi di dunia sepak bola.

Cannavaro pun telah meninggalkan posnya sebagai manajer klub. Kedua belah pihak mencapai kesepakatan dengan persetujuan bersama di tengah krisis keuangan yang sedang dihadapi Evergrande. Kini posisi pelatih diisi oleh Zhi Zheng sebagai manajer sementara.

Keadaan Sekarang

Kini dengan segala upaya dari manajemen klub, keadaan Guangzhou mulai stabil. Namun, keadaan klub sekarang jauh berbeda dengan Guangzhou Evergrande yang kita kenal beberapa tahun lalu. Klub yang dulu berjaya dengan nama Guangzhou Evergrande, karena regulasi dari Liga China, kini mereka telah berganti nama dengan menggunakan nama awal klub, yaitu Guangzhou FC. 

Skuad mewah yang dulunya dihiasi oleh nama-nama beken sepak bola Eropa pun kini hanya didominasi oleh pemain-pemain muda dan pemain lokal China. Dominasi mereka di Chinese Super League pun mulai runtuh. Hal itu ditandai dengan dua tahun terakhir, CSL telah menemukan pemenang baru.

Pembangunan stadion baru Guangzhou FC pun tersendat. Evergrande sempat menghentikan konstruksi stadion berkapasitas seratus ribu kursi tersebut karena kekurangan dana. Kabarnya stadion tersebut akan dijual, dan jika tidak ada peminat maka pemerintah daerah akan mengakuisisinya melalui perusahaan negara.

Harga pasar dari Guangzhou FC pun turun drastis, kini mereka hanya menempati urutan ke delapan di daftar klub Tiongkok paling berharga, dengan harga pasaran sekitar Rp. 119 miliar. Kalah jauh dengan rival mereka Shanghai Port di urutan pertama dengan harga pasaran Rp. 571 miliar yang kini masih memiliki pemain asing kelas dunia seperti Aaron Mooy dan mantan pemain Chelsea, Oscar. 

Kasus ini kalau diingat-ingat mirip dengan klub Catalan, Barcelona. Hampir bangkrut karena terlilit utang, melego pemain bintangnya demi mengurangi beban gaji, dan kini sedang berjuang demi kestabilan finansial. Semoga Guangzhou FC bisa berjuang dari krisis dan kembali merajai sepak bola Asia.

Sumber: Thesefootballtimes, Transfermarketweb, Ny Times, Libero

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru