Kalau kata Tan Malaka, “Terbentur, Terbentur, Terbentuk,” Timnas Indonesia justru terbentur, terbentuk, dan terbentur lagi. Putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 berlalu. Kita patut memanjatkan puja dan syukur karena Timnas Indonesia masih melanjutkan nafasnya di putaran keempat.
Kita bangga karena Timnas Garuda bisa terbang sejauh ini. Tapi di titik yang sama, kritik mesti tetap ada. Bukan karena tidak suka atau membenci. Bukan karena ingin mengolok-olok. Karena kritik tidak sama dengan olok-olok. Begitulah kemudian La Grande Indonesia juga mengkritik performa Timnas Indonesia selama dilatih Patrick Kluivert.
Kelompok suporter yang tifonya selalu kita nanti-nantikan itu memperingatkan Patrick Kluivert. Lho, memperingatkan soal apa?
Daftar Isi
Kritik La Grande Indonesia buat Kluivert
La Grande memperingatkan Kluivert karena tidak sesuai target. Jika kita mundur ke belakang. Di hari saat Shin Tae-yong diusir dari Timnas Indonesia dan Patrick Kluivert datang, La Grande memberi target tinggi pada mantan pemain Barcelona itu. Apa targetnya? Membawa Indonesia lolos langsung ke Piala Dunia.
Muluk-muluk? Jelas. Tapi lumrah suporter menarget demikian. Lha coba ngana pikir. Sudah berproses bertahun-tahun dengan Shin Tae-yong malah dipotong di tengah jalan. Lagi pula, pemberitaan yang muncul saat itu, mengganti STY dengan Kluivert tujuannya untuk menaikkan level tim nasional.
Tapi mana? Nyatanya, justru level Timnas Indonesia tak kelihatan naik. Hanya lolos ke putaran keempat mah, Shin Tae-yong juga ditarget begitu. Pertandingan melawan Jepang di laga pamungkas kemarin, alih-alih memperlihatkan level yang lebih baik, Timnas Indonesia malah kelihatan lemah.
Itu kalau kata La Grande Indonesia. Bagaimana dengan Starting Eleven? Starting Eleven kemarin-kemarin sudah memberi pujian dan apresiasi pada Patrick Kluivert.
Nah, sekarang ini, setelah lolos ke putaran keempat, Starting Eleven akan me-review lebih jujur perjalanan Kluivert bersama timnas sepanjang putaran ketiga kemarin. Tentu seobjektif apapun penilaian, akan ada sisi subjektifnya. Mari kita mulai.
Efektif Meraih Poin
Dalam format seperti Kualifikasi Piala Dunia yang terpenting adalah meraih poin. Menang tiga poin, kalah 0, dan seri mendapat satu poin. Terlepas ada head to head maupun agresivitas gol, untuk lolos yang terpenting adalah mendapat poin sebanyak-banyaknya.
Patrick Kluivert yang lebih berpengalaman dari Kas Hartadi, jelas paham soal itu. Saat datang ke Indonesia, Kluivert hanya kebagian empat laga sisa di putaran ketiga. Melawan Australia, Bahrain, China, dan Jepang. Indonesia butuh poin dan Kluivert paham caranya memaksimalkan pertandingan.
Itu terbukti. Hanya melatih di empat laga, Kluivert mampu memberikan enam poin. Meskipun bukan poin maksimal yang bisa diraih dan bukan poin maksimal yang diharapkan, tapi ini peningkatan. Di bawah pelatih sebelumnya, Indonesia butuh enam pertandingan buat dapetin enam poin.
Apakah artinya eks jawara Liga Champions itu lebih baik dari sang mantan? Untuk urusan mendulang poin, iya. Sekalipun laga melawan Bahrain di Basra tidak diakali, dan di laga itu Indonesia menang, Kluivert tetap lebih unggul dalam hal efektivitas mendapatkan poin.
Tidak masalah cuma menang 1-0 dan ada yang golnya dari penalti. Yang penting adalah poinnya. Ingat bagaimana Massimiliano Allegri kalau melatih? Kurang lebih begitulah. Tapi penilaian tidak berhenti sampai di situ.
Seret dalam Mencetak Gol
Melatih tim nasional tidak seperti melatih klub sepak bola. Allegri bisa saja cuma memenangkan pertandingan dengan sebiji gol, konsisten selama semusim. Tapi hal serupa tidak berlaku untuk tim nasional yang waktu kompetisinya, lebih pendek dari klub sepak bola.
Maka, tak cukup sekadar mendapatkan tiga poin, tapi juga bagaimana agar permainan bisa meyakinkan untuk meraih kemenangan. Selama dilatih Kluivert di putaran ketiga kemarin, keraguan akan itu tergambar dari permainan di atas rumput hijau. Singkatnya, Timnas Indonesia seret dalam mencetak gol sehingga kemenangan masih harga yang bisa ditawar.
Tengoklah skor menghadapi China dan Bahrain di Gelora Bung Karno. Indonesia hanya mampu mencetak masing-masing satu gol. Bila gol penalti Ole Romeny ke gawang Wang Dalei tak dihitung, Indonesia cuma bisa mencetak satu gol di markas sendiri. Jika ditotal selama empat laga, Timnas Indonesia cuma mencetak tiga gol. Dua dari open play, satu dari titik 12 pas.
Pelatih berkebangsaan Belanda itu kalah dari Shin Tae-yong. Selama dilatih STY dalam enam laga di putaran ketiga, timnas mampu mencetak enam gol. Jika dirata-rata berarti satu gol per laga.
Nggak fair, min, STY kan enam laga, Kluivert cuma empat.
Oke deh, kita ambil empat laga terakhir STY di putaran ketiga kemarin saja, yakni saat menghadapi Bahrain, China, Jepang, dan Arab Saudi. Di empat laga itu betul bahwa STY hanya meraih empat poin, tapi Indonesia bisa , dan tak satu pun berasal dari titik putih.
Poin ini Patrick Kluivert lebih buruk dari pelatih sebelumnya. Titik. No debat. Tapi apakah akan berhenti sampai di sini saja? Tentu belum. Mari kita beralih ke penilaian berikutnya.
Pertahanan Rapuh
Sir Alex Ferguson pernah bersabda, “Serangan memenangkan pertandingan, tapi pertahanan yang baik akan mengantarkan tim anda ke gelar.” Selain tidak memenuhi variabel pertama, Timnas Indonesia di era Kluivert juga tak punya pertahanan yang bagus. Ibarat kata, menang pun akan sulit, apalagi dapetin gelar.
Dalam empat laga dilatih Kluivert di putaran ketiga, timnas kebobolan 11 gol. Bayangkan, rukun iman aja cuma enam, lho. Jika menengok ke belakang, dalam enam laga dilatih STY di putaran ketiga, Indonesia “cuma” kebobolan 9 gol.
Kalau yang dihitung cuma empat laga, sama seperti Kluivert, di empat laga terakhir STY di putaran ketiga, Indonesia kebobolan 8 gol saja. Masih lebih baik dari Kluivert. Kenapa bisa begini? Coba tanyakan ke Bung Arya Sinulingga, beliau jelas lebih mengerti soal sepak bola.
Kalau menurut mimin, selama ditukangi Kluivert, pertahanan timnas kurang disiplin. Pemilihan pemain juga terlalu berani. Padahal belum tentu susunan pemain, di lini belakang terutama, punya kemistri. Contohnya saat digebuk Australia di Sydney.
Selain itu, pertahanan timnas di era Kluivert juga sering disorganisasi. Lihatlah bagaimana dengan mudahnya Jepang lapis kedua, sekali lagi, JEPANG, LAPIS, KEDUA, membobol gawang Emil Audero enam kali.
Buruk di Pertandingan Away
Yang makin membuat sorotan ke Kluivert besar adalah pertandingan tandang. Indonesia selalu kena bantai di dua pertandingan tandang. Berbeda dengan pelatih sebelumnya. Shin Tae-yong memang kalah dari China, tapi setidaknya itu kekalahan tipis.
Lho, min, STY kan belum teruji main tandang menghadapi lawan tangguh seperti Australia dan Jepang?
Betul. Tapi hal itu tak bisa jadi tolok ukur. Jadwal ronda mungkin Pak RT yang ngatur, tapi jadwal pertandingan kan FIFA sama AFC yang ngatur. Andai STY yang melatih, apakah mungkin bisa menahan imbang Australia di Sydney? Belum tentu. Sesuatu yang tidak atau belum terjadi sulit diukur.
Kalau urusan lawan tangguh, bisa ambil contoh Arab Saudi. Saudi adalah satu-satunya tim yang bisa mengalahkan Argentina di Piala Dunia 2022. Saat melawat ke Jeddah, Indonesia toh sukses menahan imbang mereka. Ketika kembali dilatih Herve Renard, Arab Saudi malah digulung di GBK.
Mental Buruk
Salah satu yang jadi sorotan adalah, ketika ditukangi Kluivert, Timnas Indonesia seperti kehilangan daya juang. Misal ketika menghadapi Jepang. Pasukan Hajime Moriyasu tidak turun dengan tim terbaiknya. Takumi Minamino dan Ritsu Doan cuma nonton.
Tapi Jay Idzes dan kolega tak menunjukkan perlawanan. Tidak ada tembakan, penguasaan bola nggak sampai 30%, dan jumlah operannya nggak nyampe separuh dari jumlah operan pemain Jepang di laga itu. Betul kalah kualitas, tapi melihat hasil di laga pertama melawan Jepang, ini penurunan.
Jepang turun dengan skuad utama di GBK. Pasukan Moriyasu membantai Indonesia 4-0. Tapi menghadapi skuad terbaik Jepang, Indonesia asuhan STY masih berani menyerang. Malahan bisa melepas setidaknya tiga tembakan tepat sasaran. Lalu, saat Piala Asia kemarin, saat pemain diaspora belum sekomplet sekarang, Indonesia malah bisa nyetak satu gol ke gawang Nippon.
Artinya apa? Artinya, tiga loli Milkita setara dengan segelas susu. Ah, bukan dong. Maksudnya tiga orang di staf pelatih timnas sekarang masih belum bisa menyamai level Shin Tae-yong. Gitu bukan sih kesimpulannya?
Harusnya Dievaluasi, Tapi….
Apakah nggak ada hal baik dari Kluivert selain efektif memberikan poin penuh? Ada dong. Di era Kluivert, meritokrasi terjaga. Setidaknya yang tampak dari luar begitu. Mau main di luar negeri, diaspora, atau pemain lokal, semuanya mendapat kesempatan yang sama. Hal yang tidak dilakukan oleh Shin Tae-yong.
STY kalau nurunin pemain itu-itu saja. Sementara Kluivert berani lakukan rotasi. Pemain minim jam terbang di tim nasional seperti Beckham Putra bahkan masuk starting line up menghadapi raja terakhir.
Well, jelang putaran keempat, PSSI kabarnya akan memberikan evaluasi kepada Patrick Kluivert. Tapi soal apakah PSSI beneran mengevaluasi Kluivert, hanya mereka dan ikat pinggang Erick Thohir yang tahu.