Setelah pasukan Israel kembali membuka jalan Saleh el-Din, ribuan warga Palestina berbondong-bondong meninggalkan wilayah Gaza untuk mencari tempat berlindung yang baru. Mereka harus menetap di camp pengungsian karena rumah-rumah mereka sudah hancur akibat situasi di Palestina makin memanas. Demikian laporan BBC.
Ternyata menghindari konflik berkepanjangan dan tinggal di kamp pengungsian juga pernah dirasakan oleh beberapa pemain bintang Eropa. Mereka membuktikan kalau hidup di kamp pengungsian bukan halangan untuk mengejar mimpi sebagai pesepakbola. Nama-nama berikut bisa jadi contoh bagi saudara-saudara kita untuk tetap menghidupkan mimpi mereka. Siapa saja pesepakbola yang mengawali karir dari kamp pengungsian itu?
Daftar Isi
Luka Modric
Pemain pertama yang mengawali karir dari kamp pengungsian tentu saja Luka Modric. Gelandang Real Madrid itu memiliki masa kecil yang sangat sulit. Ketika kakeknya menjadi korban perang Balkan awal tahun 90-an, Modric dan sisa keluarganya terpaksa mengungsi dari tanah kelahirannya sendiri yang kala itu masih jadi bagian Yugoslavia.
Kejadian itu tentu saja menghancurkan semangat hidup Modric yang masih berusia enam tahun. Sebab, ia dididik dan dibesarkan oleh sang kakek. Pada saat itu, sepak bolalah yang mengalihkan perhatian Modric terhadap realita yang sangat kejam. Di pengungsian kecintaannya terhadap si kulit bundar mulai tumbuh. Modric kecil mulai memimpikan menjadi pesepakbola terkenal demi memperbaiki ekonomi keluarganya.
Ketika negaranya mulai kondusif, Modric memulai karirnya bersama tim muda NK Zadar tahun 1996. Dari situlah bakat Modric mulai terlihat dan akhirnya menjadi pesepakbola ternama bersama Real Madrid dan Timnas Kroasia. Selain mengoleksi lima trofi Liga Champions, Modric juga sudah meraih satu Ballon d’Or pada tahun 2018.
Ivan Rakitic
Rekan senegara Modric, yakni Ivan Rakitic juga mengalami nasib yang hampir sama. Meski Rakitic terkenal menjadi pemain Timnas Kroasia, ia lahir di Mohlin, Swiss. Kedua orang tua Rakitic merupakan imigran Bosnia keturunan Kroasia yang mengungsi ketika bibit-bibit perang di semenanjung Yugoslavia mulai terlihat. Jadi, bisa dibilang Rakitic lahir di kamp pengungsian.
Meski pada akhirnya Rakitic membela Timnas Kroasia, dirinya sudah lebih dulu mengenal sepakbola di Swiss. Karena kehidupannya di sana sudah lebih baik dan berkecukupan daripada waktu perang di Kroasia. Maka dari itu ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sepakbolanya di FC Basel.
Kemunculannya pun dirasa jadi anugerah tersendiri bagi persepakbolaan Swiss. Digadang-gadang bakal jadi pilar penting Timnas Swiss, Rakitic justru memutuskan untuk membela negara ayahnya, Kroasia. Meski sempat menimbulkan perdebatan hingga ancaman dari para fans di Swiss, keputusan ini jadi pilihan yang tepat bagi sang pemain. Itu dibuktikan dengan karirnya bersama Timnas Kroasia yang luar biasa.
Alphonso Davies
Pemain selanjutnya ada bintang Bayern Munchen sekaligus Timnas Kanada, Alphonso Davies. Davies ternyata memiliki masa kecil yang sangat sulit. Ia lahir di kamp pengungsi pada tahun 2000 lalu, dari rahim seorang ibu yang terusir dari tanah kelahirannya sendiri, Liberia.
Awalnya Republik Liberia didirikan guna menampung para budak kulit hitam Amerika Serikat yang baru saja memperoleh kebebasan. Namun, di tanah kebebasan itu pula, salah satu perang sipil di Tanah Afrika terjadi. Nah, orang tua Davies jadi salah satu yang terdampak pada tahun 1999.
Mereka berakhir di kamp pengungsi Buduburam yang terletak di sisi barat ibu kota Ghana, Accra. Di sanalah sosok Alphonso Boyle Davies lahir pada 2 November 2000. Setelah menghabiskan lima tahun yang sulit di pengungsian, bersama kedua orang tuanya, Davies pindah ke Windsor, Kanada, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Di sanalah Davies mulai membangun karir sebagai pesepakbola profesional. Vancouver jadi klub profesional pertama bagi Davies. Setelah tiga tahun di sana, barulah Davies diboyong Bayern Munchen dan mengukuhkan diri sebagai salah satu bek kiri terbaik di dunia.
Edin Dzeko
Edin Dzeko adalah warga negara asli Bosnia dan Herzegovina. Ia menjadi salah satu korban dari perpecahan Yugoslavia yang mengakibatkan terjadinya migrasi terbesar dalam sejarah. Maka dari itu, masa mudanya harus dihabiskan di kamp pengungsian.
Setelah perang selesai dan Dzeko yang memiliki latar belakang kelam tak putus asa dalam memperbaiki hidupnya. Melalui sepakbola, Dzeko mulai mendapat hidup yang layak. Striker jangkung itu mengenyam pendidikan sepakbola di tim muda Zeljeznicar. Tak bertahan lama, Dzeko akhirnya hijrah ke Republik Ceko dan sempat malang melintang bersama klub lokal setempat.
Barulah namanya melambung ketika berkarir di Jerman bersama Wolfsburg. Ketajamannya di mulut gawang membawa Wolfsburg menjuarai Bundesliga musim 2008/09. Performanya yang terlihat mencolok akhirnya membuat klub sekelas Manchester City pun kepincut. Karirnya terus membaik sehingga belasan trofi bergengsi pun bisa ia raih.
Eduardo Camavinga
Gelandang andalan Real Madrid, Eduardo Camavinga juga ternyata lahir dan besar di kamp pengungsian. Tepatnya di Angola setelah keluarganya melarikan diri dari peperangan. Kehidupannya mulai membaik setelah kedua orang tuanya membawa Camavinga mencari tempat tinggal yang layak di Prancis.
Camavinga merasa bersyukur bisa meraih kesuksesan di dunia sepak bola meski masa lalunya tak mudah. Dilansir Goal, ia bahkan sempat dipilih sebagai pemain yang memiliki nasib sebagai mantan pengungsi untuk memberikan semangat kepada pengungsi di seluruh belahan dunia untuk mewujudkan apapun mimpi mereka.
Perjalanan karier sepak bola Camavinga bisa dibilang cemerlang. Menembus skuad utama Rennes di usia yang masih sangat muda, Camavinga menjelma jadi salah satu gelandang masa depan Timnas Prancis. Puncaknya, ketika Real Madrid datang pada tahun 2021. Bermain untuk El Real, Camavinga kini telah memenangkan segalanya termasuk Liga Spanyol dan Liga Champions.
Xherdan Shaqiri
Jika membicarakan soal pesepakbola yang pernah jadi pengungsi, Xherdan Shaqiri tak boleh terlewat. Banyaknya perpecahan yang terjadi di tempat asalnya, Kosovo, membuat orangtua Shaqiri memutuskan pergi meninggalkan tempat kelahiran sang pemain. Mereka pun akhirnya pergi ke negara netral dan hidup tenang di Swiss.
Mungkin dari sekian nama di daftar kali ini, Shaqiri yang paling nelangsa. Sudah jadi pengungsi, postur tubuhnya jadi penghalang mewujudkan mimpinya sebagai pesepakbola. Meski sempat diremehkan oleh beberapa klub lokal Swiss, Shaqiri yang berstatus sebagai pendatang tak menyerah begitu saja.
Saat usianya masih 8 tahun, Shaqiri mendapat tawaran dari klub terbesar di Swiss, Basel. Mereka percaya kalau sang pemain memiliki potensi. Dan prediksi Basel tak meleset. Meski memiliki postur kecil, Shaqiri meningkatkan massa otot, skill olah bola, dan kecepatannya. Itulah yang membuatnya jadi pemain top dan memenangkan banyak gelar bersama klub-klub papan atas macam Bayern Munchen dan Liverpool.
Granit Xhaka
Lalu yang terakhir ada rekan satu tim Shaqiri di Timnas Swiss, Granit Xhaka. Mantan pemain Arsenal itu memang lahir di Swiss. Namun, dalam dirinya mengalir darah Albania dari kedua orang tuanya yang memilih bermigrasi ke Swiss karena gejolak di negaranya. Ayah Xhaka, Ragip Xhaka, saat muda merupakan seorang Kosovorian yang kerap memprotes pemerintahan Yugoslavia.
Didikan sang ayah dan lingkungan yang keras pasca konflik membentuk karakter Xhaka sebagai pemain sepakbola yang selalu berapi-api di lapangan. Meski memiliki darah Albania, Xhaka memutuskan untuk membela Timnas Swiss karena merasa berhutang pada negara tersebut.
Berbeda dengan sang kakak, Taulant Xhaka yang memilih untuk bela Albania. Pilihan Granit Xhaka terbilang tepat karena ia jadi salah satu pemain paling penting di negaranya. Kini, dirinya telah mencatatkan rekor sebagai pemain dengan penampilan terbanyak untuk tim nasional, yakni 119 caps.
Sumber: The Sun, Bundesliga, Rescue, Goal