Sihir Jogo Bonito Brazil Yang Timbul Tenggelam

spot_img

Brazil dan sepakbola seakan menjadi sebuah kepercayaan tersendiri di mata dunia bahwa sisi keindahan dan kemolekan bermain bola yang menghibur menjadi titik fokus. Pemain-pemain hebat yang lahir di negara tersebut kerap diibaratkan sebagai seorang dewa dalam sepakbola yang turun ke bumi.

Era generasi emas Brazil semacam Pele, Romario, Ronaldo, Ronaldinho, hingga Neymar Jr misalnya. Permainan indah mereka seolah menyihir hati para penggemar sepakbola yang mengaguminya.

Brazil memang identik dengan permainan indah yang memanjakan mata. Filosofi Jogo Bonito namanya. Namun sayangnya, dengan permainan tersebut tidak selamanya prestasi itu datang. prestasi yang timbul tenggelam seakan memunculkan banyak pertanyaan.

Jogo Bonito dan Identitas

Dalam penerapannya, filosofi ini menganut moto bermain dari hati yang nantinya akan melahirkan permainan yang cair, kreatif, keindahan serta kegembiraan dalam sebuah pertandingan sepakbola.

Istilah atau sebutan Jogo Bonito sendiri erat digunakan untuk menggambarkan permainan Timnas Brazil, terutama dalam ajang Piala Dunia. Istilah Jogo Bonito sendirimuncul dari pernyataan pemain legendaris Brazil, Edson Arantes do Nascimento alias Pele.

Pele menggunakan frasa Jogo Bonito atau permainan indah dalam bahasa Portugis, untuk merujuk pada olahraga sepakbola. Identitas yang melekat erat dengan sepakbola Brazil itu banyak berbuah hasil. Sebagai bukti Pele bersama Brazil dengan Jogo Bonito-nya menjuarai Piala Dunia sebanyak tiga kali yakni pada tahun 1958, 1962, dan 1970.

Kemudian di era baru 90-an ada Romario maupun Bebeto yang berhasil meraih kampiun di Piala Dunia 1994. Dan yang berikutnya muncul Ronaldo, Ronaldinho, dan Rivaldo di Piala Dunia 2002 yang juga keluar sebagai kampiun dengan identitas Jogo Bonito-nya.

Jogo Bonito Juara Dunia 2002

Brazil berangkat ke Korea Jepang 2002 di bawah tekanan kegagalan di Prancis 1998. Selain itu, mereka mencatat hasil buruk di Piala Konfederasi 2001. Di 2002, pemain penerus tahta Jogo Bonito kembali berkumpul dalam skuad demi membalaskan kegagalan itu.

Di bawah komando racikan pelatih senior yang bertipe menyerang yakni Luiz Felipe Scolari. Brazil menjelma sebagai kekuatan besar pengusung sepakbola indah nan penuh bintang di turnamen itu.

Pola skill individu Jogo Bonito tingkat dewa milik para pemainnya berhasil menyihir publik asia ketika itu. Berawal dari bergabungnya Brazil di babak grup bersama Turki, Cina dan Kosta Rika.

Brazil langsung menggebrak babak penyisihan grup dengan membukukan tiga kemenangan beruntun. Setelah melewati Belgia di 16 besar, tantangan baru datang dari Inggris yang harus mereka hadapi di perempat final. Di sinilah Ronaldinho menunjukkan keahliannya pada dunia bahwa identitas Jogo Bonito telah kembali.

Golnya dihasilkan dari tendangan bebas dari jarak 35 meter, yang dikenang sebagai salah satu gol indah terbaik Piala Dunia sampai sekarang.

Setelah melewati Inggris di perempat final dan Turki di semifinal, Jogo Bonito Brazil kembali diuji di partai penentuan gelar juara melawan tim panser Jerman. Jogo Bonito Brazil pun lulus ujian dan keluar sebagai juara dunia 2002. Kesuksesan Brazil menjuarai Piala Dunia untuk kelima kali merupakan kemenangan sepak bola indah.

Piala Dunia 2006 dan Copa America 2007

Memasuki Piala Dunia 2006, Brazil menjadi unggulan pertama sebagai juara bertahan. Brazil racikan pelatih Carlos Alberto Parreira dijagokan karena diisi pemain-pemain top dunia dengan ciri khas Jogo Bonito-nya yang makin matang.

Kaka, Ronaldinho, Adriano dan Ronaldo adalah kuartet jogo bonito yang dipercaya bakal menghancurkan semua lawan yang dihadapi Brazil di Piala Dunia 2006. Di Piala Dunia 2006, Selecao tergabung di Grup F bersama Kroasia, Australia dan Jepang. Brazil pun tampil prima di babak tersebut, yang mana menyapu tiga laga dengan kemenangan.

Kemudian di babak 16 besar skuad Jogo Bonito Brazil itu mampu menang telak 3-0 dan berhasil maju di perempat final dengan melawan Prancis. Naas bagi Brazil, permainan indah Jogo Bonito yang diperlihatkan mengalami deadlock dan akhirnya mencapai titik klimaksnya dengan kebobolan lewat gol Thierry Henry. Kekalahan 1-0 mengubur impian Jogo Bonito Brazil ke babak berikutnya.

Kegagalan ini menjadi evaluasi besar bagi sepakbola Brazil. Ditunjuklah Dunga menjadi pelatih baru Brazil pengganti Carlos Alberto Parreira untuk menatap Copa America 2007. Jogo Bonito luntur begitu Dunga menduduki kursi pelatih tim nasional. Pendekatan otot lebih dikedepankan daripada otak mengingat ia menempati posisi gelandang bertahan saat masih aktif bermain

Pemain dengan skill individu ala Jogo Bonito seperti Ronaldinho, Ronaldo, Roberto Carlos tidak lagi mengisi skuad Brazil di bawah Dunga. Dunga lebih memilih pemain yang cenderung kuat secara fisik dan mampu bermain kolektif bersama tim macam Elano, Julio Baptista, Luis Fabiano maupun Fred.

Mengandalkan gaya bermain menyerupai Catenaccio alias pertahanan grendel ala Italia. Dunga mengantarkan tim Samba menjuarai Copa America 2007.

Taktik anti-Jogo Bonito Dunga paling terlihat di partai final kontra Argentina. Skor akhir terbilang telak, tapi setiap gol yang dicetak berasal dari serangan balik cepat dan akurat, persis seperti taktik Catenaccio.

Tetapi sayangnya, meskipun berhasil mengantarkan Selecao menjadi juara, gaya bermain Brazil ala Dunga ini mendapat kecaman keras dari masyarakat di sana. Masyarakat Brazil yang menganggap sepakbola Jogo Bonito menjadi sebuah tradisi dan kultur budaya kecewa lantaran gen Brazil seolah hilang dari permainannya.

Sosok Tite dan Copa America 2019

Dunga dipecat setelah 2010 dan kemudian masa kedua Luiz Felipe Scolari yang terbantai di semifinal Piala Dunia 2014 oleh Jerman, juga dipecat. Kemudian lahirlah sosok pelatih seperti Adenor Leonardo Bacchi pada 2016 yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kapan sepakbola indah Brazil hadir kembali.

Pria yang memiliki panggilan Tite ini pun berhasil mengembalikan Jogo Bonito dengan tidak menghilangkan permainan efektif untuk mendapatkan juara. Tite tidak menutup mata dengan perkembangan sepakbola masa kini yang cenderung lebih sistematis dan taktikal. dan pada akhirnya Tite berhasil menemukan formula yang pas untuk memadukan Jogo Bonito khas Brazil dengan permainan sistematis Eropa.

Rekor tak terkalahkan pada kualifikasi Piala Dunia 2018 menjadi bukti hasil kinerja Tite. Namun, pada akhirnya di putaran final Piala Dunia di Rusia, Brazil kembali tak mampu melaju lebih jauh. Mereka bersama Tite gagal di perempatfinal setelah takluk atas Belgia 2-1.

Akan tetapi Tite dan skuad The New Jogo Bonito-nya ini tidak tinggal diam di ajang Copa America 2019. Pemain-pemain The New Jogo Bonito yang lahir macam Casemiro, Firmino, Richarlison, maupun Gabriel Jesus merupakan perpaduan yang apik antara naluri taktik Eropa dan naluri budaya Jogo Bonito.

Brazil akhirnya mampu dibawa Tite menjuarai Copa America 2019 dengan konsep The New Jogo Bonito-nya tersebut dengan mengalahkan Peru di final dengan skor 3-1. Akan tetapi hal itu tidak lagi terulang di Copa America 2021 yang lalu. The New Jogo Bonito Brazil takluk tipis atas Argentina di final.

Memasuki Piala Dunia Qatar 2022, Brazil bersama Tite mengusung misi membawa mimpi kesuksesan Jogo Bonito era 2002. Dengan konsep baru Brazil rasa Tite di 2022 bukan tidak mungkin The New Jogo Bonito akan mampu berbicara banyak dan melaju jauh. Kini dengan nama-nama baru skuad macam Vinicius, Anthony, maupun Richarlison, Brazil mengharapkan bersinarnya kembali Jogo Bonito di hamparan padang pasir Qatar 2022 nanti.

Sumber Referensi : sportskeeda, thesefootballtimes, bleacherreport

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru