Thiago Emiliano da Silva atau yang akrab dikenal dengan Thiago Silva lahir pada 22 September 1984 di Rio, Brasil.
Sejak kecil, Thiago sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba kekurangan. Thiago Silva sempat tertekan menyusul perpisahan kedua orang tuanya.
“Ketika aku masih kecil, aku sangat merindukan ayah. Kedua orang tuaku berpisah dan itu sangat mengganggu psikologisku.”
Thiago yang merupakan teman dekat David Luiz sering menghabiskan waktu dengan bermain bola. Hingga pada akhirnya, bakat keduanya terlihat. Memulai pengalaman dengan menjadi maskot pada pertandingan sepak bola, keduanya mulai berlatih secara serius.
Keduanya pun terpisah untuk mencari keberuntungannya masing-masing.
Masa kecil Thiago benar-benar menakutkan. Selain terjerat kemiskinan, dirinya juga sering mendengar suara tembakan karena rumahnya berada tak jauh dari penjahat narkoba.
“Aku sering mendengar suara tembakan. Bahkan, aku juga sering melihat polisi datang ketempat yang tak jauh dari aku tinggal.”
Alih-alih mengikuti arus menuju jurang kriminal, Thiago tetap pada pendiriannya. Ia terus fokus pada sepak bola dan selalu ingat dengan impiannya.
Thiago selalu menemukan cara untuk bisa berlatih sepak bola. Sering tak memiliki uang, dirinya sengaja pergi ke tempat latihan dengan menaiki bus. Agar tidak dikenakan biaya, ia sering naik bus dengan mengenakan seragam sekolah. Karena pada saat itu di Brasil, anak sekolah bisa menikmati pelayanan transportasi gratis.
Meski sempat gagal berkarir di tim lokal, Thigo Silva terus bekerja keras. Keyakinannya terus ia tingkatkan. Yang hanya dipikirkan waktu itu adalah disiplin dan kerja keras.
Hingga pada akhirnya tepat pada tahun 2004, Thiago bergabung dengan tim B FC Porto. Ia diboyong dengan harga sekitar 2,5 juta euro. Setahun di Portugal, Thiago memutuskan untuk hijrah ke Russia.
Disinilah, perjalanan hidup yang amat mengerikan bagi Thiago dimulai.
Diduga menderita TBC, Thiago Silva hampir tewas di Russia.
Dilansir dari FourFourTwo, saat Thiago muda dan bermain untuk klub Dinamo Moscow, ia hampir saja kehilangan nyawanya karena terkena tuberkulosis (TBC). Bukannya bermain sepakbola, ia justru menghabiskan enam bulan waktunya di rumah sakit di kota Moscow.
Pemain yang kini berusia 34 tahun itu menyebutkan bahwa sebelum terkena penyakit pernapasan ini, ia bermain baik untuk Dinamo. Sayangnya, tubuhnya seperti sangat mudah kelelahan.
Setelah itu, kondisi kesehatannya menurun dan terus mengalami demam tinggi, keringat dingin, dan batuk-batuk.
Parahnya lagi, rupanya Thiago Silva sudah menderita penyakit Tuberkulosis selama sekitar sembilan bulan.
“Jika penyakit tidak segera diketemukan beberapa minggu kemudian, Ia akan meninggal dunia.” ujar sang Dokter.
Dokter pun menyarankan agar Thiago memotong sebagian paru-parunya disebelah kanan agar ia bisa bertahan hidup lebih lama.
Tetapi, Thiago menolaknya dan lebih memilih untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit lebih lama dari seharusnya.
Usai kondisinya berangsur membaik, Thiago Silva memutuskan untuk berhenti bermain sepak bola. Dynamo Moscow sendiri membayar semua biaya perawatannya. Akan tetapi, ia tak pernah bermain satu pertandingan pun. Akhirnya, kontrak itu dibatalkan dan Thiago harus kembali ke Brasil.
Setelah mendapat dorongan dari sang ibu, Thiago kembali bermain bola. Ia kembali merumput bersama klub Brasil, Fluminense. Di Fluminense, Thiago Silva berhasil bangkit dan menjadi sosok penting di klubnya tersebut.
Dan tepat pada tahun 2009, AC Milan merekrut pemain asal Brasil itu. Dirinya menjadi skuat juara tim merah-hitam pada tahun 2011.
Melihat kesuksesannya di Milan, klub asal Prancis, PSG, tertarik untuk meminangnya. Dengan biaya transfer mencapai 42 juta Euro atau sekitar 652 miliar rupiah, Thiago Silva resmi berseragam el Parisians.
Menjalani musim luar biasa bersama PSG, Thiago Silva menjelma menjadi salah satu bek terbaik dunia. Di timnas Brasil pun, ia sering menjadi pilihan utama untuk mengisi pos pertahanan tim.