“Hanya sedikit pelatih di dunia yang lebih baik daripada Luis Enrique.”
Itulah salah satu sabda dari Pep Guardiola soal rekan seperjuangannya, Luis Enrique. Sebagai pelatih, pria kelahiran Gijon itu dianggap Pep sempurna soal kepribadian dan karakter.
Identitas Enrique sejak menjadi pelatih, memang jarang berubah. Mungkin hanya ada beberapa sentuhan yang membuatnya jadi sedikit berbeda. Pria 54 tahun itu bukan sosok yang plin-plan soal keyakinan strateginya. Formasi 4-3-3 baginya ibarat kitab suci yang tak bisa diusik. Lantas, selama ini apa yang bisa ditorehkan Luis Enrique dengan formasi fanatiknya itu?
Luis Enrique is loving this PSG win 🤗 pic.twitter.com/ZqIZiEZjhR
— B/R Football (@brfootball) March 11, 2025
Daftar Isi
Konsisten Sejak Barcelona Athletic
Kegandrungan Enrique terhadap sepakbola menyerang sama seperti Pep. Ia memiliki pemikiran yang sama soal sepakbola menyerang, begitupun soal taktik 4-3-3. Namun dalam prakteknya saat menjadi pelatih, mereka berbeda. Pep lebih identik dengan gaya penguasaan bola yang lebih intens, sedangkan Enrique lebih bermain direct, dan tak melulu berbasis penguasaan bola.
Keyakinan taktik Enrique itu, sudah dipraktekan sejak ia membesut Barcelona Athletic. Enrique mengawali debut kepelatihannya cukup baik di musim 2008/09. Ia mampu membawa Barcelona Athletic menduduki peringkat lima Segunda Division B Grup 3. Bahkan nih, di musim keduannya ia langsung bisa membawa Barca Athletic promosi ke Segunda Division setelah sebelas musim lamanya absen.
Tak hanya soal pencapaian. Enrique juga meninggalkan legacy di tim ini. Dari konsep bermain 4-3-3 yang diterapkan, Enrique banyak menelurkan pemain. Khususnya di posisi gelandang dan penyerang. Saat itu bermunculan gelandang tangguh seperti Oriol Romeu maupun Sergi Roberto. Sementara di lini serang, muncul pemain seperti Jeffren Suarez, Jonathan Soriano, maupun Nolito.
Identitas Gelandang Dan Penyerang
Dalam keyakinan Enrique, taktik 4-3-3 berfokus pada keseimbangan lini tengah dan daya gedor tiga pemain di depan. Baginya, satu kesatuan itu adalah senjata utama untuk menjalankan taktiknya.
Lihat saja ketika ia menangani Barcelona Athletic. Sosok Oriol Romeu yang berperan sebagai gelandang bertahan, tak dibiarkan bertugas sendirian dalam bertahan. Ia menyuruh gelandang pekerja keras seperti Sergi Roberto untuk membantu tugas Romeu. Di situlah tercipta keseimbangan antara menyerang dan bertahan.
Nah, kalau untuk urusan mencetak gol, ia menugaskan secara khusus trio lini depannya secara optimal. Trio lini depan dituntut untuk bisa menggedor pertahanan lawan dari berbagai sisi. Nolito, Jeffern, dan Jonathan Soriano adalah beberapa pemain yang ia beri tugas saat itu.
Masa Singkat Di Roma Dan Celta Vigo
Identitas Luis enrique tersebut sebenarnya berlanjut ketika membesut AS Roma dan Celta Vigo. Di AS Roma, ia sudah mencoba memberikan warna baru dengan taktik 4-3-3-nya. Itu adalah hal yang baru, mengingat musim sebelumnya Giallorossi di bawah pelatih Claudio Ranieri maupun Vincenzo Montella, jarang memakainya.
Secara komposisi pemain, Enrique juga berusaha membentuk identitasnya seperti di sektor gelandang dan penyerang. Terbukti dari perekrutannya, Enrique mendatangkan gelandang macam Miralem Pjanic untuk menemani Daniele De Rossi sebagai gelandang bertahan. Lalu di sektor lini serang, ia coba mendatangkan Dani Osvaldo dan Bojan Krkic, untuk disiapkan menjadi trio bersama pangeran Roma, Francesco Totti. Namun sayang, belum juga mengunduh hasilnya, baru satu musim ia sudah meninggalkan Roma.
Hampir mirip ceritanya ketika ia di Celta Vigo. Enrique tetap berusaha untuk menancapkan legacy dengan identitas permainan 4-3-3-nya. Untuk bisa mewujudkannya, Enrique mengangkut gelandang seperti Rafinha maupun penyerang seperti Nolito.
Celta Vigo mampu diubahnya bermain lebih agresif daripada musim sebelumnya di bawah pelatih Paco Herrera. Di zaman Paco Herrera, Celta Vigo hampir terdegradasi lho, karena finish di posisi 17 La Liga. Bandingkan ketika sudah ditangani Enrique. Celta Vigo bisa finish di posisi 9 La Liga di musim 2013/14. Nolito dan Rafinha benar-benar jadi sosok penting kebangkitan Celta Vigo saat itu. Khususnya Nolito yang berhasil menjadi top skor tim dengan 14 gol.
Rakitic Dan Trio MSN
Masa singkat di Roma dan Celta Vigo bukanlah kiamat bagi karier Enrique. Ia justru naik kelas di musim 2014/15, setelah dipercaya menangani Barcelona menggantikan Gerardo Tata Martino.
Momen pulang kampung Enrique, sudah banyak dinanti publik Catalan. Mereka rindu Barcelona bermain seperti era Pep. Namun Enrique telah memilih jalan berbeda dengan Pep. Kalau Pep identik dengan tiki-taka, penguasaan bola, serta umpan-umpan pendeknya, Enrique lebih memainkan variasi serangan dengan umpan panjang, crossing, serta bola-bola direct yang cepat.
Barcelona era Enrique tak seperti era Pep yang terkadang bereksperimen menggunakan striker palsu atau false nine. Enrique tetap yakin pada identitas permainan 4-3-3-nya.
Salah satu keberhasilan Enrique saat itu adalah menemukan peran gelandang yang bisa membantu Sergio Busquets menjalankan fungsi bertahannya.
Enrique jeli membeli seorang Ivan Rakitic. Gelandang petarung asal Kroasia yang punya power. Tujuannya agar lini tengah tetap seimbang dalam bertahan maupun menyerang. Yang tak kalah spektakuler, Enrique mampu menciptakan trio ganas nan mematikan di lini depan, yakni Lionel Messi, Luis Suarez, dan Neymar. Siapa sih di sini yang belum pernah dengar Trio MSN?
Tak terhingga prestasi yang sudah dicatat Barca di era trio maut ini. Termasuk gelar UCL terakhir Barca di musim 2014/15. Kalau kalian masih ingat, di final Berlin melawan Juventus, tak hanya Trio MSN saja lho yang berkontribusi. Ivan Rakitic juga punya kontribusi lewat satu golnya.
Six years ago today, Luis Suarez joined Barcelona and the MSN was born in 2014-15.
Messi: 58 goals, 29 assists
Suarez: 25 goals, 23 assists
Neymar: 39 goals, 10 assistsChampions League. La Liga. Copa del Rey. 🤯 pic.twitter.com/wO0nn1xmGr
— B/R Football (@brfootball) July 16, 2020
Timnas Spanyol
Tak berhenti sampai di Barcelona. Identitas 4-3-3 Enrique berlanjut di Timnas Spanyol. Debut Enrique melatih La Furia Roja di Euro 2020, adalah buktinya. Spanyol diantarkannya hingga semifinal. Hal yang tak bisa dicapai Fernando Hierro di Piala Dunia 2018 maupun Vicente del Bosque di Euro 2016.
Tak hanya itu, Enrique juga mampu memberikan warna seperti halnya di Barcelona. Enrique tak membiarkan Sergio Busquets bekerja bertahan sendirian. Ia memberinya partner seorang Koke, gelandang binaan Diego Simeone di Atletico Madrid yang bertipe petarung.
Spanyol saat itu jadi tampil solid dan tak pernah kalah di Euro 2020. Mereka hanya apes, kandas lewat babak adu penalti oleh Italia di semifinal.
Oh iya, jangan lupakan juga saat Enrique membentuk trio penyerang baru Spanyol, yakni Ferran Torres, Pablo Sarabia dan Alvaro Morata. 13 gol yang dihasilkan La Furia Roja di Euro 2020, sebagian besar disumbangkan oleh mereka.
PSG
Setelah didepak oleh La Furia Roja akibat kegagalannya di Piala Dunia 2022, Luis Enrique mencoba membawa identitas permainannya itu ke Paris. Saat melatih PSG, ia mendapat dukungan besar dari pemilik Nasser Al Khelaifi untuk menerapkan identitasnya itu.
Nasser rela PSG tak lagi “bling-bling” penuh bintang, demi sebuah identitas permainan. Terbukti, satu per satu bintang seperti Lionel Messi, Neymar hingga Kylian Mbappe, dilepas oleh Nasser.
Enrique makin nyaman dan mulai membangun tim dengan apa yang ia yakini. Identitas 4-3-3-nya coba ia terapkan. Ia tak terpengaruh melihat pelatih lainnya yang berhasil dengan taktik yang berbeda dengannya. Seperti misal Pep di City. Enrique tak meniru Pep yang berhasil menjuarai UCL dengan taktik 3-2-4-1.
Berkat kesetiaannya terhadap identitas 4-3-3-nya, ia perlahan mulai menuai hasilnya bersama Les Parisiens. PSG jadi makin ngeri di musim ini, meski tanpa bintang besar. Enrique justru mampu menciptakan trio gelandang dan penyerang baru yang lebih mematikan musim ini.
Vitinha, Joao Neves, dan Fabian Ruiz, adalah trio gelandang yang sempat bikin Liverpool frustrasi di Anfield. Sementara itu, tanpa bayang-bayang Mbappe, trio Bradley Barcola, Ousmane Dembele dan Desire Doue, menjelma menjadi trio baru yang sangat produktif. Bayangkan saja, hingga bulan Maret, total 55 gol telah mereka ciptakan.
Ya, pada akhirnya jelas terjawab, itulah mengapa Enrique selalu yakin pada identitas 4-3-3-nya. Ia tak pandang bulu pelatih lain bereksperimen mengubah-ubah taktik. Bagi Enrique, kesetiaan dan konsistensi menjadi yang utama. Toh ia nyaman kok menjalankannya. Dan yang paling penting, identitas itu nyatanya telah banyak berhasil.
“Se eu tiver que ser eliminado da Liga dos Campeões, serei eliminado da Liga dos Campeões, sem problemas, mas será jogando futebol!”
Luis Enrique, senhoras e senhores.
O Dono do Vestiário no PSG 🧠pic.twitter.com/x765wd219y
— Luis Fernando Filho (@luisfernanfilho) March 12, 2025
Sumber Referensi : bleacherreport, transfermarkt, coachesvoices, bleacherreport, nytimes, sportkeeda