Apa formasi yang dimainkan Real Madrid saat mengalahkan Dortmund di final Liga Champions 2024? Jangan harap akan mendapatkan jawabannya dari Carlo Ancelotti. Pelatih asal Italia itu hanya akan menjawab begini:
“Jika anda bertanya kepada saya bagaimana kami memainkan sepak bola di Wembley, 4-3-3, 4-4-2, atau 4-3-1-2, saya akan menjawab tidak tahu.”
Tentu jawaban tersebut tidak sungguh-sungguh keluar dari mulut Ancelotti. Itu hanya anekdot. Rekaan. Imajiner. Namun, itu cukup untuk menjelaskan betapa pelatih yang baru saja meraih gelar UCL kelimanya itu tidak terlalu peduli pada taktik.
Carletto adalah anomali. Di tengah kehadiran pelatih yang melahirkan gaya dan taktik yang khas, ia justru seolah tidak memikirkan taktik sama sekali. Sebab Don Carlo tidak butuh taktik yang rumit. Benarkah demikian?
Daftar Isi
Carlo Ancelotti Miskin Taktik
Kalimat “Carlo Ancelotti Miskin Taktik” sering terdengar. Itu menjadi bahan olok-olok mana kala Don Carlo gagal. Atau, kalaupun belum berjumpa kegagalan, cap itu tetap tersemat pada Carletto. Apalagi ia dianggap hanya bisa sukses di klub-klub raksasa.
Ancelotti dilabeli pelatih yang tak punya rencana. Para pemainnya hanya bermain apa adanya. Permainannya tanpa pola. Tanpa taktik. Tanpa formasi.
Para kritikus melihatnya sebagai Harry Redknapp dari Italia yang hanya mencari nafkah dengan melatih tim-tim elit. Namun, hanya menyuruh pemain-pemain seperti Cristiano Ronaldo “berlari saja”. Sang guru, Arrigo Sacchi termasuk salah satu kritikus Ancelotti.
Arrigo Sacchi revealed what Carlo Ancelotti told him after Real Madrid’s late win over Bayern Munich: ‘It’s a tactic, Arrigo. We pretend to be dead and then, suddenly, at the end of the game, we rise again and win!’ #RMFChttps://t.co/xeoNZM71SK
— Italian Football News 🇮🇹 (@footitalia1) May 10, 2024
Belum lama ini, ketika Real Madrid-nya Ancelotti memulangkan Bayern Munchen di Liga Champions, Sacchi mengatakan, “Carlo, aku sungguh membenci pertandingan itu!” Sacchi marah pada Carletto. Akan tetapi, kemarahannya sebatas kemarahan guru terhadap muridnya.
Apa jawaban Carletto? “Sacchi, itu adalah taktik,” katanya. “Kami berpura-pura mati, lalu bangkit untuk menang,” jawab Ancelotti atas kritik Sacchi. Tentu jawaban itu hanya sekadar bercanda.
Carletto, Murid Arrigo Sacchi
Ancelotti adalah murid Arrigo Sacchi. Hampir seluruh pecinta sepak bola, terutama sepak bola Italia tahu itu. Bahkan Ancelotti terbilang sosok murid yang sami’na wa atho’na. Apa pun yang dilakukan Sacchi ditiru oleh Ancelotti. Sacchi yang sukses di AC Milan itu seorang mursyid yang turut mengembangkan formasi 4-4-2.
Ancelotti menganggap formasi 4-4-2 milik Sacchi seperti ayat Alkitab yang sakral. Ia pun membawa formasi itu saat memulai karier sebagai pelatih. Salah satunya saat menukangi Parma. Begitu taatnya Ancelotti dengan sistem 4-4-2, ia sampai menolak pemain kaliber Roberto Baggio.
🗣 Carlo Ancelotti dalam wawancaranya dengan @TimesSport: “Ketika saya memulai karier kepelatihan saya, saya tidak seperti ini.”
“Saya memiliki satu sistem yang saya pelajari di AC Milan dari Arrigo Sacchi. Itu adalah 4-4-2. Dan untuk itu, saya menolak Roberto Baggio di Parma… pic.twitter.com/N5QZher5dE
— Seputar Real Madrid (@SeputarMadrid) May 29, 2024
Ceritanya begini. Suatu hari Ancelotti datang ke Parma untuk melatih. Ia berpeluang merekrut pemain berambut kuncir kuda itu ke Parma. Namun, Don Carlo menolak, karena Baggio tidak cocok dengan sistem yang dipelajarinya dari Sacchi di AC Milan. Baggio ingin bermain sebagai nomor “10”, tapi formasi 4-4-2 tidak bisa mengakomodasinya.
Kelak, keputusan menolak Baggio disesali Ancelotti. Sebab Baggio ternyata sosok pemain yang berbakat. Penyesalannya atas keputusan tak mendatangkan Baggio menyadarkannya, bahwa taktik bukan segalanya. Ancelotti pun berubah dari sosok pelatih yang taat taktik menjadi pelatih yang mempersetankan taktik, sistem, dan pola permainan.
🤨 Carlo Ancelotti once REJECTED the opportunity to sign Roberto Baggio because he ‘didn’t fit in’ with his needs at the time while he was the manager of Parma
Not one of his better choices. 😅 pic.twitter.com/dmz8koVpG8
— Dev Bajwa (@ammandev) April 26, 2023
Tak Melahirkan Ideologi Taktik
Ancelotti lantas mengerti, sepak bola adalah hasratnya. Maka, ia akan melakukannya dengan cara paling sederhana. Don Carlo pun menghindari taktik-taktik yang rumit. Ia menjelma sosok pelatih yang tidak mempedulikan bakal bagaimana timnya bermain.
Carletto sama sekali tidak terobsesi pada taktik. Oleh sebab itu, ia pada akhirnya sama sekali tidak ideologis. Carletto tidak menghasilkan gaya bermain. Tidak menghasilkan ciri khas permainan. Ancelotti berbeda dengan misalnya, Josep Guardiola, Maurizio Sarri, hingga Jurgen Klopp. Ia bahkan berbeda dengan gurunya sendiri.
Ketiga nama itu, termasuk Arrigo Sacchi adalah sosok pelatih ideologis. Mereka menciptakan gaya bermain dan taktik yang khas. Namun, karena itu, mereka tidak fleksibel. Tidak semua tim cocok dilatih Guardiola, Sarri, maupun Klopp.
Sementara, dengan tanpa ideologi taktik, Ancelotti bisa melatih tim mana pun. Singkatnya, bukan tim yang akan menyesuaikan taktiknya. Namun, Ancelotti lah yang akan menyesuaikan tim.
Sepak Bola Itu Sederhana
Itulah mengapa, Chelsea, Bayern Munchen, Everton, hingga Real Madrid punya gaya main yang berbeda-beda di tangan Don Carlo. Sampai hari ini, tatkala Don Carlo dinobatkan pelatih yang paling banyak ke final Liga Champions, ia tetap teguh pada pendiriannya. Bahwa ia tidak menyukai taktik-taktik rumit.
Yang ada di kamus Don Carlo, sepak bola itu tidak rumit. Jika seorang pelatih terus memikirkan taktik, kata Carletto, justru akan membuatnya pusing dan ujung-ujungnya stres. Ancelotti tak mau begitu. Lihat saja, sejauh ini barangkali tidak ada pelatih yang setenang dirinya.
Carlo Ancelotti is satisfied with Real Madrid’s performance:
“We don’t have to reproach ourselves for anything. My personal opinion, since I don’t know much about football, is that we played very good football.”
“Calm down, the team is doing very well.”pic.twitter.com/RJQ6AzmiQE
— LaLigaExtra (@LaLigaExtra) February 5, 2024
Carletto ini dilihat-lihat tipe orang yang mengerti betul makna sesungguhnya sepak bola. Bahwa pada intinya, sepak bola adalah permainan. Selayaknya permainan, ia harus menyenangkan, bukan malah membuat pusing.
Namun, Carletto sendiri tidak akan bersenang-senang jika timnya tidak menang. Maka dari itu, kemenangan adalah tujuannya. Ini wajar karena Carletto adalah orang Italia. Bagi orang Italia, kemenangan harga yang tidak bisa ditawar.
Man Management Terbaik di Dunia
Lalu, jika bukan lewat taktik, apa yang dilakukan Carletto? Jawabannya sering kamu dengar. Carlo Ancelotti adalah salah satu, ah tidak, mungkin malah satu-satunya pelatih dengan kemampuan man management terbaik di dunia yang masih ada. Kala melatih sebuah tim, Ancelotti tidak pernah menganggap ia sedang mengelola pemain, melainkan manusia.
Daripada memaksa pemain tetap berada di posisi tertentu, Carletto lebih suka membebaskannya. “Saya pelatih jadul yang memberikan kebebasan berkreasi,” katanya. Ancelotti adalah orang yang mengerti sekali kemampuan terbaik para pemainnya. Ia pun tidak perlu menekan pemainnya untuk berbuat ini-itu.
“Jika saya punya Luka Modric dan Toni Kroos, konyol sekali jika saya menekannya,” kata Carletto. “Jika saya punya Cristiano Ronaldo, saya belajar bagaimana memberikan bola kepadanya.”
Lewat dua pernyataannya itu, Don Carlo bisa jadi ingin menunjukkan bahwa ia mengerti betul potensi pemainnya. Jadi, kalau sudah paham, kenapa mesti mengatur mereka?
Ia cuma mengklasifikasikan pemain menjadi dua jenis: mereka yang membuat perbedaan dan mereka yang harus berlari. Jadi ya, disesuaikan saja dengan dua jenis itu. Lewat keahlian membaca potensi pemain inilah, pemain seperti Dominic Calvert-Lewin di Everton bisa menemukan performa terbaiknya.
Kebebasan
Namun, apakah Ancelotti sungguh tak pakai taktik? Kenyataannya, Carletto selalu menyiapkan taktik. Misalnya, di Real Madrid musim ini. Ancelotti hampir selalu menggunakan formasi 4-3-1-2 maupun 4-4-2 berlian. Vinicius dan Rodrygo menjadi striker, dan Bellingham ada di belakang keduanya.
Tapi, Ancelotti tidak pernah meminta pemain Real Madrid menempati sesuai posisinya. Di lapangan mereka dibebaskan bergerak. Contoh Vinicius Junior. Ia memang ditempatkan sebagai striker dan itu membuat Vini seharusnya lebih sering bergerak ke dalam kotak.
🗣️ Carlo Ancelotti: “This season, we lost Karim Benzema, but Bellingham arrived. We had two fantastic strikers, Vinícius and Rodrygo, but they play wide. So we start to play Vinícius and Rodyrgo with Bellingham behind, #10 — 4-3-1-2.”
“We did really well at the beginning,… pic.twitter.com/nh5csY0mZ0
— Madrid Zone (@theMadridZone) May 28, 2024
Namun, Vinicius tidak nyaman main di posisi itu. Alhasil, di atas lapangan, Vini justru sering bergerak di sayap kiri. Ini kalau Pep yang ngelatih, bisa jadi ia dimarahi karena tidak bergerak sesuai posisinya. Tapi, Carletto tidak memarahinya. Justru ia paham bahwa itu adalah interpretasi pemainnya terhadap permainan.
Ancelotti membiarkan pemainnya berkreativitas. Ia mendorong mereka spontan dalam memutuskan. Mungkin saja ini karena secara intuitif, ia menyadari bahwa sesungguhnya manusia bisa menemukan solusi yang mungkin tidak bisa dilakukan apabila menggunakan pendekatan yang lebih ketat.
Terlihat tanpa taktik. Tapi sebetulnya itulah taktiknya. Sederhana. Simpel. Tapi memberi hasil. Dengan menyerahkan situasi lapangan pada pemain, permainan Ancelotti sulit dianalisis. Bahkan mungkin tak bisa dianalisis. Kemenangan yang diraih Carletto juga seakan muncul begitu saja. Namun, bukankah di situlah letak the beauty of football?
Sumber: SkySports, ToffeWeb, TheAthletic, Goal, ManagingMadrid, SportsYahoo