Roda kehidupan terus berputar, bahkan bukan hanya untuk umat manusia saja, melainkan juga bagi klub-klub sepakbola. Mereka kadang di atas dan menikmati kejayaan, tapi kadang juga Chelsea, alias berada di bawah dan bergelut dengan masa-masa sulit. Tentu bukan hanya The Blues saja yang pernah mengalami masalah serupa, banyak yang senasib.
Salah satunya Inter Milan. Meski berstatus salah satu klub terbaik di Italia, Nerazzurri tak selamanya berada di masa kejayaan. Mereka juga pernah berada di masa sulit minim gelar. Itu bahkan terjadi berpuluh-puluh tahun sejak 1980-an hingga tahun 2006. Menariknya, yang mengakhiri masa paceklik Inter bukanlah belanja besar-besaran atau permainan yang mamamia. Melainkan sebuah kemurahan hati dari seorang hakim di Italia.
Loh, apa hubungannya? Jika kalian masih ingat, Inter Milan pernah meraih gelar juara melalui jalur hibah pada musim 2005/06. Musim tersebut agak laen memang. Musim 2005/06 jadi musim yang cukup aneh, problematik, dan berat untuk dijalani oleh sebagian tim di Serie A. Untuk sedikit memantik memori lama, mari kita bahas momen unik yang dialami Inter Milan tersebut.
Daftar Isi
Masa-masa Sulit di Era 90-an
Penggemar Serie A periode awal tahun 90-an hingga awal 2000-an pasti ingat betul kalau Inter Milan bukanlah tim unggulan Italia saat itu. Di masa-masa itu, Liga Italia bukan tempat yang ramah bagi Inter.
Gelar juara kasta tertinggi sekiranya hanya berkutat pada klub-klub digdaya lainnya macam Juventus, Milan, Lazio, AS Roma, bahkan Sampdoria. Sementara Internazionale sudah lama tak mengangkat gelar scudetto. Menurut sejarahnya, terakhir kali Inter merengkuh gelar Serie A adalah pada tahun 1989.
Ini jadi sebuah masa yang menimbulkan banyak asumsi liar. Bagaimana tidak? Sebelum era paceklik, Inter Milan adalah rajanya Serie A. Gelar juara seharusnya bukan suatu hal yang sulit bagi mereka. Asumsi yang paling terkenal barangkali dari presiden Palermo saat itu, Maurizio Zamparini.
Pria yang kini sudah menghadap sang khalik itu sempat berkata bahwa Inter Milan adalah tim yang sombong. Penantian gelar Inter tidak akan berujung manis selama sikap arogansi masih dipelihara para pemainnya termasuk sang pelatih. Menurutnya, meski Inter selalu berisikan pemain dan pelatih papan atas, itu justru menjadikan tim memiliki arogansi yang tinggi.
Zamparini juga menyampaikan bahwa kesombongan Inter telah berada di tahap optimisme yang kelewatan. Mereka menganggap bahwa tim yang dipenuhi oleh pemain-pemain hebat pasti akan otomatis mendapatkan gelar. Nyatanya, kepercayaan yang dipegang Inter sepenuhnya salah kaprah. Inter tetap kalah saing dengan Juventus dan rival sekotanya, Il Diavolo Rosso.
Sedangkan menurut beberapa legenda, seperti Javier Zanetti dan Ronaldo Nazario beda lagi. Di era 90-an, Inter Milan sebetulnya bukan tim yang lemah. Itu dibuktikan dengan beberapa kali menjuarai Europa League, tepatnya pada musim 1990/91, 1993/94, dan 1997/98. Menurut Ronaldo, lawan Inter bukanlah rival sekota atau tim kuat lainnya. Tapi mereka berjuang melawan sistem yang korup.
Zanetti pun demikian. “Inter Milan padahal sudah membangun tim yang sangat kokoh di mana para pemain telah mencapai kemistri yang membuat mereka merasa seperti bagian dari keluarga yang dicintai semua orang. Kami sudah memberikan yang terbaik di setiap pertandingan, tapi tak membuahkan hasil,” ujar Zanetti dikutip Sempre Inter. Beberapa pemangku kepentingan seperti tak membiarkan Inter untuk menjuarai Serie A.
Berbenah di Awal 2000-an
Demi satu tujuan, yakni merebut kembali tahta Serie A, Inter Milan pun terus berbenah setiap musimnya. Awal tahun 2000-an jadi yang paling masif. Bongkar pasang pemain dan pergantian kursi kepelatihan pun tak terelakan. Entah berapa ratus juta euro yang sudah dihabiskan oleh Massimo Moratti dan kolega saat itu.
Setelah berpisah dengan Luigi Simoni tahun 1998, tercatat Inter telah beberapa kali mengganti pelatih. Nama-nama yang dipilih pun bukan sembarangan. Mereka punya nama besar di dunia kepelatihan. Sebut saja seperti Roy Hodgson, Hector Cuper, Marco Tardelli, hingga Marcello Lippi.
Di sektor pemain pun banyak yang berdatangan. Sebut saja Francesco Toldo, Marco Materazzi, Hernan Crespo, Fabio Cannavaro, Dejan Stankovic, hingga salah satu talenta terbaik yang dimiliki Brazil kala itu, Adriano. Semua cara telah dicoba, tapi Inter tak kunjung menemukan ramuan terbaik untuk menggulingkan Milan dan Juventus. Lagi dan lagi, Si Ular Besar gagal menjuarai Serie A.
Tak heran, publik Inter Milan kian merindukan gelar tersebut. Apalagi mereka sudah tak tahan menjadi bahan olok-olok mengingat rival sekota mereka, yakni AC Milan tak henti-hentinya meraih gelar. Musim 2005/06 barulah Inter kembali meraih gelar Serie A. Namun, dengan cara yang cukup aneh. Gelar tersebut dianggap bukan hasil jerih payah mereka sendiri. Mengapa demikian?
Meledaknya Calciopoli
Seperti yang sudah disampaikan, tahun-tahun tersebut jadi momen yang berat bagi sepakbola Italia. Persepakbolaan Negeri Menara Pisa tak bisa terhindar dari aib yang diciptakan oleh Juventus. Ya, apalagi kalau bukan kasus Calciopoli.
Saking besarnya skandal pengaturan skor ini, kegembiraan Timnas Italia yang merengkuh trofi Piala Dunia 2006 pun sampai terpinggirkan. Jutaan pasang mata lebih terfokus pada kasus ini. Bagaimana tidak? Skandal pengaturan skor sepakbola Italia itu melibatkan banyak pihak termasuk klub-klub papan atas.
Sebetulnya, federasi sepakbola Italia (FIGC) sudah mencium bau busuk Calciopoli sejak tahun 2004. FIGC menemukan tanda-tanda kasus ini melalui ketidaksengajaan. Awalnya federasi hanya melakukan penyelidikan soal kasus doping yang saat itu juga jadi salah satu masalah bagi sepakbola Italia. Namun, sepandai-pandainya Juve menyembunyikan bangkai, pasti baunya akan tercium juga.
Dalam penyelidikan, federasi sepakbola Italia menemukan kejanggalan dalam aktivitas panggilan yang dilakukan oleh Juventus. Mereka menemukan riwayat panggilan yang begitu banyak dan tertuju pada nomor-nomor tertentu saja. Tentu ini jadi aktivitas yang mencurigakan mengingat saat itu bursa transfer belum dibuka.
Tim investigasi pun mulai tertarik dengan aktivitas panggilan Juventus. Maka dari itu, mereka menyadap telepon para petinggi klub. Dan suatu ketika kecurigaan federasi pun terbukti. Dalam salah satu panggilannya, tim investigasi mendengar salah satu tokoh klub Juventus sedang menekan pejabat wasit untuk berpihak pada klub tertentu.
Penyelidikan pun difokuskan pada kasus ini. Setelah bertahun-tahun mengumpulkan data dan bukti, akhirnya pada tahun 2006 hasil investigasi pun dipublikasikan. Hasilnya? Mengejutkan. Setidaknya ada lebih dari 20 pertandingan yang hasil akhirnya sudah diatur oleh salah satu petinggi La Vecchia Signora, Luciano Moggi.
Hukuman Bagi yang Terlibat
Dokumen yang dipublikasi oleh tim investigasi menyatakan bahwa beberapa klub raksasa terlibat dalam kasus pengaturan skor ini. Selain Juventus, AC Milan, Fiorentina, dan Lazio jadi beberapa klub papan atas yang terseret. Padahal, musim 2005/06 Juventus diambang gelar juara lantaran memuncaki klasemen. Ini sebuah pukulan telak bagi sang juara bertahan.
Klub-klub yang terlibat pun menerima hukuman dari federasi sepakbola Italia. Meski begitu, mereka memperoleh sanksi yang berbeda-beda. Yang paling berat tentu saja Juventus selaku dalang yang memulai tindakan kriminal ini. Selain denda dan hukuman degradasi ke Serie B, Juventus juga dihukum pencabutan dua gelar Serie A.
Salah satunya gelar yang baru mereka peroleh pada musim 2005/06. Sementara AC Milan, Lazio, dan Fiorentina mendapat sanksi pengurangan 30 poin pada musim 2005/06. Hal ini membuat peringkat mereka melorot cukup jauh di klasemen akhir. Pada musim 2006/07, AC Milan bahkan harus memulai kompetisi dengan minus delapan poin.
Sementara Lazio mendapat minus tiga poin dan Fiorentina 19 poin di musim berikutnya. Tentu saja bukan hanya klub, sang dalang utama, yakni Luciano Moggi juga harus menerima konsekuensi yang setimpal. Pria berkacamata itu mendapat hukuman berat berupa larangan aktif di dunia sepakbola selama sisa hidupnya.
Inter Ngalap Berkah
Lantas bagaimana dengan status Inter Milan dalam skandal ini? Naskah laporan penyelidikan tak menyebutkan nama Inter sekalipun. Dengan begitu, Inter Milan dinyatakan bebas dari segala hukuman karena tak terlibat dalam lingkaran setan. Di sisi lain kasus ini malah jadi berkah tersendiri bagi Nerazzurri. Inter Milan bak ketiban durian runtuh.
Gelar Serie A musim 2005/06 yang diambil dari Juventus pun akhirnya harus dihibahkan ke peringkat di bawahnya. Proses ini ternyata tak sesederhana itu. Harus melalui pengadilan terlebih dahulu. Para hakim mencari keputusan terbaik akan diapakan gelar scudetto musim 2005/06 ini.
Tok! Palu hakim berbunyi dan gelar tak bertuan itu jatuh ke tangan Inter Milan asuhan Roberto Mancini. Musim tersebut sebenarnya Inter finis di urutan ketiga dengan mengumpulkan 76 poin. Namun, karena AC Milan yang berada di peringkat kedua juga terlibat dan harus mengalami pengurangan poin, maka gelarnya pun diberikan pada Inter.
Sayangnya, keputusan pengadilan ini tak menyenangkan semua pihak. Pelatih Juventus kala itu, Fabio Capello jadi salah satu yang menentang putusan pengadilan. Menurutnya, Inter tak berhak mendapat hibahan gelar tersebut. Capello merasa hakim yang bertugas menangani Calciopoli, yakni Guido Rossi terlalu terburu-buru memutuskan. Apalagi saat itu muncul isu bahwa Rossi merupakan Interisti.
Juventus bahkan sempat mengajukan banding agar gelarnya dikembalikan atau sama sekali tak diberikan ke siapapun. Manajemen Juve merasa musim 2005/06 terlalu kalut sehingga tak ada yang berhak menggondol scudetto. Namun, keputusan pengadilan sudah final. Scudetto Serie A musim 2005/06 tetap tercatat atas nama Inter Milan.
Awal Dominasi Inter Milan
Setelah penantian panjang hampir 15 tahun, akhirnya Inter Milan buka puasa gelar Serie A. Gelar jatuh dari langit Inter mau tidak mau harus diakui. Terlepas dari gelar tersebut, ada hal yang jauh lebih disyukuri oleh Inter dari adanya kasus Calciopoli. Adalah hilangnya para rival. Ya, dengan Juventus yang berada di kasta kedua dan AC Milan yang memulai musim 2006/07 dengan poin minus, praktis Inter tak ada lawan.
Inter asuhan Roberto Mancini memanfaatkan momentum ini dengan baik. Mancini membawa Inter tampil konsisten di musim 2006/07. Inter Milan yang kala itu dihuni Julio Cesar, Javier Zanetti, Esteban Cambiasso, hingga Adriano membuktikan diri bahwa mereka memang layak meraih gelar. Tampil tanpa lawan, Inter keluar sebagai kampiun Serie A musim tersebut.
Dahsyatnya Inter di Serie A terus berlanjut hingga tiga musim ke depan. Setelah meraih scudetto selama empat musim beruntun, puncaknya adalah musim 2009/10. Di bawah kendali Jose Mourinho, La Beneamata menjadi klub Italia pertama yang merengkuh treble winner. Dalam hal ini, roda kehidupan Inter akhirnya kembali berputar. Mereka seperti bertukar nasib dengan Juve dan mendominasi Italia.
Sumber: 90min, Sempre Inter, These Football Times, BBC, Tale Of Two Halves