Timnas Indonesia kian populer, terutama di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Hal itu sampai melahirkan sekelompok orang yang, mungkin saja semula tak mengikuti perkembangan Timnas Indonesia, ikut nimbrung membahas Timnas Indonesia.
Tidak masalah memang. Tapi yang membuat mata kita pedas, orang-orang yang fomo terhadap Timnas Indonesia itu mulai membanding-bandingkan pemain Timnas Indonesia di era sekarang dengan era dulu. Sampai-sampai ada yang tanpa tedeng aling-aling bilang kalau Rafael Struick lebih hebat dari Boaz Solossa.
Yang lucunya lagi, bukan hanya dibandingkan dengan Struick, Kaka Boci juga dianggap tak lebih baik dari Ramadhan Sananta hingga Hokky Caraka. Lha, coba bajimane itu? Tentu ini membuat fans Timnas Indonesia dari era kegelapan bergejolak. Bagaimana mungkin seorang legenda Timnas Indonesia dibandingkan dengan para striker piyik yang bahkan cetak gol saja empot-empotan? Mereka ini sepertinya musti dikasih paham sehebat apa Kaka Boci dulu.
Daftar Isi
Jago Sejak 18 Tahun
Era sepakbola Indonesia sudah jauh berbeda. Skema permainan dan kebutuhan tipikal pemain untuk tim nasional juga berubah. Di era Shin Tae-yong, kita bisa melihat bahwa Skuad Garuda diisi oleh pemain-pemain yang mengedepankan determinasi dan koordinasi tim. Maka dari itu, cukup aneh jika pemain seperti Rafael Struick dibandingkan dengan Boaz Solossa.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada masyarakat Tulehu, Bumi Cendrawasih juga dikenal sebagai salah satu pabriknya talenta sepakbola di Indonesia. Papua udah kayak Brazil yang nggak pernah kehabisan bakat. Dan Boaz adalah salah satu dari sekian ribu pesepakbola hebat yang lahir dari rahim Papua.
Boaz memulai karir sepakbolanya dengan cara yang tak lazim. Jika biasanya para pesepakbola memulai karir di level klub terlebih dahulu baru dipanggil ke tim nasional berkat kerja kerasnya, maka apa yang dilakukan Boaz justru kebalikannya. Kaka Boci lebih dulu terjun ke dunia sepakbola profesional melalui tim nasional.
Peter Withe jadi sosok paling berpengaruh kala itu. Masih menjabat sebagai pelatih Timnas Indonesia, pria asal Inggris itu menemukan Boaz di ajang PON 2004. Peter yang memang sedang mencari pemain muda untuk tim nasional kagum dengan performa Boaz kala itu. Masih berusia 18 tahun, dirinya sudah mencetak 10 gol bagi tim PON Papua.
Masih bermain untuk tim PON, Boaz belum terikat kontrak secara profesional dengan klub mana pun. Namun, tanpa ragu Peter Withe membawa Boaz ke Timnas Indonesia. Bukan kelompok umur, melainkan tim nasional senior yang akan berlaga di Piala Tiger 2004. Nama Boaz Theofilus Erwin Solossa pun mencuat setelah membukukan empat gol dan membawa Indonesia menembus partai final.
Dari sini saja kita sudah bisa melihat bagaimana perbedaan yang mencolok antara Boaz dan Rafael. Boaz, yang belum bermain di level profesional sudah bisa mencetak gol ke gawang Vietnam dan Malaysia. Sedangkan Rafa yang sudah bermain untuk tim utama ADO Den Haag sama sekali belum mencetak gol untuk tim nasional senior.
Gaya Bermain
Dari segi gaya bermain, Boaz Solossa dan Rafael Struick sama-sama mengandalkan kecepatan dan skill individu. Kedua pemain juga bertipikal versatile. Baik Boaz maupun Rafael, keduanya bisa mengisi segala pos lini serang. Perbedaan yang cukup mencolok adalah penggunaan kaki. Seperti yang kita ketahui, Kaka Boci merupakan pemain kidal.
Mitosnya, pemain kidal memang memiliki potensi yang lebih besar dari pemain berkaki kanan. Jika konteksnya antara Boaz dan Rafael, itu bisa dibenarkan. Sama-sama berposisi asli sebagai sayap, Boaz memiliki produk akhir yang lebih baik daripada Rafael. Boaz cepat, tajam, dan cerdas. Dirinya bisa diandalkan dalam urusan mencetak gol atau menciptakan peluang.
Kekuatan dan akurasi tendangan kaki kanan dan kaki kirinya sama baiknya. Dirinya hampir tak memiliki sudut mati untuk menceploskan bola ke gawang lawan. Selain memiliki naluri mencetak gol yang tinggi, Boaz juga dianugerahi visi bermain yang luar biasa. Umpan dan pembacaan permainannya di atas rata-rata pemain Indonesia.
Dedikasi
Menjadi pemain paling berbahaya di lini depan membuat Boaz selalu mendapat marking ketat dari bek-bek lawan. Namun, dirinya memiliki football intelligence yang sangat baik. Boaz selalu memiliki cara untuk meloloskan diri dari tekanan lawan. Kecerdasan yang dimiliki Boaz didapat dari dunia pendidikan yang tak pernah ia tinggalkan. Kepedulian Boaz kepada isi kepalanya dibuktikan dengan gelar S2 yang dimilikinya.
Boaz percaya bahwa pesepakbola akan terbantu perkembangannya apabila memiliki pendidikan yang baik. Kematangan berpikir dan kemampuan memusatkan konsentrasi didapatkan dari bangku kuliah. Kehebatan Kaka Boci pun mendapat pengakuan dari pemain-pemain top lainnya.
Bambang Pamungkas, rekan sekaligus rival di persepakbolaan Indonesia jadi salah satu sosok yang memuji Boaz. Mengutip wawancaranya dengan Sport 77, dirinya tidak menutup mata akan kontroversi dan tindakan indisipliner yang dibuat oleh Boaz. Namun, soal sepakbola Boaz adalah yang terbaik.
Menurut Bepe, Boci adalah satu-satunya pemain lokal yang bisa bermain di segala pos lini serang dengan sama baiknya. Mau itu di posisi striker tengah, sayap atau second striker sekalipun. Boaz selalu memberikan 100% kemampuannya jika bermain di tim nasional.
Nasionalisme Boaz sudah tak diragukan lagi setelah dirinya mengalami patah kaki sebanyak dua kali saat membela Timnas Indonesia. Pertama di final Piala Tiger 2004 dan kedua di laga uji coba melawan Hongkong. Boaz juga tetap mau membela Timnas Indonesia, meski sempat terjadi kisruh dualisme.
Boaz merasa tak ada alasan untuk menolak panggilan tim nasional. Jika jadwalnya tidak berbenturan dengan klub, dirinya akan terus mengabdi. Soal dedikasi, Rafael jelas belum keliatan. Dedikasi Rafael mungkin bisa dinilai nanti ketika Indonesia gagal melaju ke Piala Dunia 2026 atau saat tidak lagi dilatih STY.
Prestasi di Klub dan Timnas Indonesia
Meski beberapa kali mengalami cedera parah, Boaz tetap bisa bermain apik baik di level klub maupun tim nasional. Pasca pulih dari cedera patah pergelangan kaki di Piala Tiger, Boaz bergabung dengan Persipura. Di klub tanah kelahirannya itu, Boaz tampil menggila. Catatan golnya pun luar biasa.
Total, dirinya sudah mendulang 183 gol selama bermain untuk Persipura di Liga 1. Boaz juga disebut sebagai Jenderal Bintang Empat. Itu mengarah pada peran pentingnya mengantarkan Persipura juara Liga Indonesia sebanyak empat kali. Dirinya juga pernah berstatus sebagai top skor Liga Indonesia dan pemain terbaik Indonesia sebanyak tiga kali.
Salah satu musim terbaiknya adalah saat dirinya mencetak 38 gol dari 35 pertandingan di semua kompetisi musim 2008/09. Saat itu, usianya baru 22 tahun. Di usia yang kurang lebih sama, Rafael belum bisa konsisten mencetak dua digit gol seperti Boaz. Dirinya bahkan kesulitan untuk menjadi pilihan utama di Den Haag dan akhirnya bergabung Brisbane Roar dengan dalih keluar dari zona nyaman.
Lantas, bagaimana performa Boaz di level internasional? Boaz mengantongi 50 caps dan berhasil mengemas 14 gol untuk Timnas Indonesia. Beberapa golnya bahkan dicetak ke gawang tim-tim raksasa. Contohnya, saat Boaz mencetak gol ke gawang Uruguay pada laga uji coba tahun 2010 dan ke gawang Arab Saudi pada laga Kualifikasi Piala Asia 2015.
Sementara Rafael? Belum mencetak satu gol pun untuk Timnas Indonesia. Rafael memang tidak dibebani tugas sebagai ujung tombak. Di bawah asuhan Shin Tae-yong, Rafa lebih diharapkan untuk bergerak mobile dan melakukan high press. Tapi tolok ukur utama seorang striker itu tetap jumlah gol dan Boaz unggul telak soal itu.
Lalu, jika ada pertanyaan mana yang lebih baik antara Boaz dan Rafael? Maka jawabannya adalah Boaz Solossa. Tanpa berniat menyinggung fans-fans fomo, jika Boaz Solossa berada di era manajemen yang jauh lebih baik seperti sekarang, mungkin kita tak akan pernah mengenal Rafael Struick.
Sumber: Bola.net, CNN Indonesia, Suara, TVOnenews