Piala Dunia Qatar 2022 telah usai. Turnamen terakbar sedunia yang digelar sejak 20 November hingga 18 Desember tersebut ditutup dengan pertandingan ter-epic dalam sejarah ketika Argentina merengkuh trofi Piala Dunia ketiganya usai menundukkan Prancis via adu penalti sekaligus mengukuhkan Lionel Messi sebagai Greatest of All Time.
Selama Piala Dunia 2022 berlangsung, banyak data dan fakta yang tersaji. Namun, jika boleh merangkumnya dalam satu kesimpulan besar, maka Piala Dunia tahun ini jadi bukti kalau yang atraktif kalah dari yang efektif.
Pragmatisme dan Efektivitas Menjanjikan Kemenangan di Piala Dunia 2022
Piala Dunia 2022 memecahkan rekor sebagai gelaran Piala Dunia tersubur. 172 gol tercipta di Qatar. Rekor tersebut melampaui 171 gol yang tercipta di Prancis 1998 dan Brasil 2014. Meski begitu, Qatar 2022 kembali jadi bukti kalau pendekatan konservatif dan gaya bermain yang lebih pragmatis lebih menjanjikan kemenangan ketimbang bermain atraktif.
Ada beberapa parameter yang bisa membuktikan pernyataan tersebut. Yang pertama adalah angka statistik penguasaan bola.
Di Piala Dunia 2022, tim yang menang penguasaan bola justru cenderung gugur terlebih dahulu. Data yang dihimpun Fotmob jadi buktinya. 10 tim dengan penguasaan bola tertinggi diisi oleh Spanyol (76,3%), Inggris (63,3%), Portugal (60,8%), Denmark (60,5%), Jerman (59,3%), Argentina (57,6%), Belgia (57,4%), Brasil (56%), Kroasia (54,5%), dan Meksiko (54,3%). (sumber: Fotmob)
#Spain made over 1000 passes, had over 70% of ball possession, and yet, Bono for Morocco made only ONE save during the entire 90 mins of regular time 😳😳#MAR | #ESP | #WorldCup2022 pic.twitter.com/RL9dBQyHGN
— viva laliga (@vv_laliga) December 7, 2022
Dari daftar tersebut, terdapat 3 tim yang gagal lolos dari fase grup dan hanya Argentina dan Kroasia yang lolos sampai 4 besar. Sepertinya, menang penguasaan bola sudah tidak menjamin kemenangan. Bukti terbaiknya ya Spanyol yang rata-rata penguasaan bolanya mencapai 76,3%, tetapi kemudian melempem di hadapan Maroko yang bermain pragmatis.
Maroko memang contoh terbaik di parameter ini. Singa Atlas ada di urutan ke-27 dengan angka penguasaan bola rata-rata hanya sebesar 38,6%. Statistik defensif mereka luar biasa dengan catatan 4 kali cleansheets. Hanya mencetak 6 gol sepanjang turnamen, permainan pragmatis Maroko mengantar mereka jadi semifinalis.
Pun begitu dengan Jepang yang rata-rata angka penguasaan bolanya hanya sebesar 35,6%, terendah kedua di antara kontestan lainnya. Bahkan saat menang melawan Jerman, Samurai Blue hanya menguasai bola sebesar 26,1% dan hanya menguasai 17,7% saat menumbangkan Spanyol. Angka tersebut tercatat sebagai penguasaan bola terendah dalam sejarah Piala Dunia.
Japan finished the game vs Spain with just 17.7% possession of the ball, this is the lowest figure in recorded in World Cup history. Via: (Opta)
Yet they still won 2-1. Masterclass. 👀 pic.twitter.com/lizdoDihwd
— Bet9ja (@Bet9jaOfficial) December 1, 2022
Parameter kedua adalah soal efektivitas di depan gawang lawan. Lagi-lagi, tim yang subur di sebuah turnamen belum tentu bisa meraih kejayaan.
Untuk membuktikan pernyataan ini, ada analisis menarik yang disampaikan ketua FIFA Technical Study Group (TSG), Arsene Wenger. Mantan pelatih legendaris Arsenal itu menyampaikan pentingnya memanfaatkan peluang.
“Tim yang memiliki jumlah tembakan ke gawang terendah telah lolos. Kami memiliki dua jenis: jumlah tembakan yang tinggi menunjukkan tim yang mendominasi permainan mereka, dan jumlah tembakan yang rendah menunjukkan tim yang bermain dari sudut pandang bertahan dan mengandalkan serangan balik. Itu berarti ada lebih banyak efisiensi untuk mereka,” kata Arsene Wenger dikutip dari FIFA.
Hasil pengamatan tersebut disampaikan usai babak grup selesai. Faktanya, tidak ada tim yang memiliki lebih banyak tembakan ketimbang 67 tembakan milik Jerman. Sayangnya, statistik tersebut tak sanggup mengantar mereka lolos dari fase grup. Begitu pula dengan Belgia yang membutuhkan 11 tembakan hanya untuk mencetak 1 gol.
Sebaliknya, Belanda dan Polandia berada di antara golongan tim dengan jumlah tembakan terendah sepanjang fase grup. Namun, keduanya mampu melaju hingga babak 16 besar.
Germany had 23 shots on target which is the most in the World Cup 2022 by far 🎯
Yet converted only 6 of them and are out of the group stage for the second year in a roll 🤯#FIFAWorldCup #Qatar2022 pic.twitter.com/q5ouebcpuQ
— Oddspedia ⚽️🏀🎾🥊 (@oddspedia) December 2, 2022
Krusialnya Peran Pemain Nomor 9 di Piala Dunia 2022
Dalam kesempatan berikutnya, para expert TSG juga mengungkap kalau pada Piala Dunia 2022 ini, gol open-play dari umpan silang mengalami kenaikan sebesar 83%. Meskipun lebih sedikit umpan silang yang terjadi, tetapi gol yang tercipta dari situasi tersebut lebih banyak. Di edisi 2022, tercipta 45 gol, sementara di edisi 2018 hanya tercipta 24 gol yang berasal dari skema umpan silang.
Selain itu, di Piala Dunia tahun ini, gol yang tercipta dari luar kotak penalti terbilang sangat sedikit dibanding edisi-edisi sebelumnya. Tren ini terjadi karena rapatnya jarak antarlini dan fokus para kontestan Piala Dunia 2022 yang bermain lebih konservatif dan begitu menjaga area tengah pertahanan mereka.
“Tim memblokir bagian tengah lapangan dan lebih terbuka di sayap. Jadi, ini adalah ciri khas kompetisi: salah satu konsekuensinya adalah tim yang memiliki pemain sayap terbaik adalah tim yang memiliki peluang terbaik untuk memenangkan Piala Dunia. Dan ketika saya berbicara tentang pemain sayap terbaik, bukan hanya pemain ofensif, tetapi juga full-back,” kata Wenger dikutip dari FIFA.
Fenomena ini bisa kita lihat dari para semifinalis di Qatar 2022. Maroko punya Hakim Ziyech, Sofiane Boufal, dan Achraf Hakimi. Kroasia masih punya Ivan Perisic dan di bangku cadangan juga masih ada Mislav Orsic.
Prancis tak usah ditanya lagi, ada Ousmane Dembele, Kylian Mbappe, dan Theo Hernandez. Sementara Argentina punya Angel Di Maria, Nahuel Molina, hingga Marcus Acuna.
After a HAT TRICK in the Final, the 2022 FIFA World Cup Golden Boot winner is Kylian Mbappé 🔥🏆 pic.twitter.com/XUeEeLCL0P
— FOX Soccer (@FOXSoccer) December 18, 2022
Akan tetapi, seperti yang dikatakan Juergen Klinsmann, skema serangan tersebut membutuhkan sosok penyerang nomor 9 untuk menyelesaikan peluang yang sudah diciptakan dari sisi sayap.
“Sangat penting bahwa ketika Anda ingin mengonversi peluang yang Anda ciptakan, yang sebagian besar datang dari sayap, Anda harus memiliki pemain di dalam kotak yang mampu menyelesaikan dan mencetak gol. Bukan kebetulan bahwa Prancis dan Argentina berada di final, karena mereka memiliki pemain yang mampu mengonversi peluang yang tercipta dari sisi sayap,” kata Juergen Klinsmann dikutip dari FIFA.
Prancis punya Olivier Giroud dan Argentina punya Julian Alvarez. Keduanya sama-sama mencetak 4 gol dan berada tepat di belakang Kylian Mbappe dan Lionel Messi yang memuncaki daftar top skor.
Pun begitu dengan Maroko yang punya Youssef En-Nesyri yang mencetak 2 gol. Kroasia juga sama. Bahkan 3 dari 4 striker murni yang mereka bawa, yakni Adrei Kramaric, Marko Livaja, dan Bruno Petkovic sanggup menyumbang gol.
🇵🇹 Gonçalo Ramos
🇦🇷 Julian Alvarez
🇫🇷 Olivier Giroud
🏴 Harry Kane
🇧🇷 Richarlison
🇪🇨 Enner ValenciaWho has been the most LETHAL striker at the FIFA 2022 World Cup? 🥵#Qatar2022 #FIFAWorldCup pic.twitter.com/dkMpeqDMtc
— Sportskeeda Football (@skworldfootball) December 17, 2022
Tak bisa dipungkiri kalau efektivitas yang ditunjukkan oleh para negara yang terbilang sukses di Piala Dunia 2022 ditunjang oleh performa apik para striker murni bertipikal nomor 9. Sebaliknya, tim yang tak punya striker bagus atau malah memainkan taktik false nine gagal melaju jauh di Qatar 2022.
Spanyol dan Jerman adalah dua contohnya. Keduanya sebetulnya terbilang memainkan sepak bola yang atraktif dengan penguasaan bola dan jumlah tembakan yang banyak. Namun, gara-gara tak punya penyerang bernomor 9, mereka gugur cepat.
Spanyol dan Jerman lebih banyak memainkan false nine. Marco Asensio di kubu La Roja dan Kai Havertz di kubu Der Panzer. Keduanya sebetulnya sama-sama membawa 1 striker murni, yakni Alvaro Morata dan Niclas Fullkrug. Statistik membuktikan kalau keduanya lebih klinis dari false nine.
Morata mencetak 3 gol dan 1 asis dalam 4 penampilan. Sementara itu, Fullkrug jadi top skor Jerman di Qatar 2022 dengan torehan 2 gol dan 1 asis. Andai keduanya lebih banyak diberi menit bermain, mungkin saja Spanyol dan Jerman bisa melaju lebih jauh.
Belum bisa dipastikan apakah taktik false nine sudah usang. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri kalau kebutuhan akan striker tajam mengalami peningkatan, apalagi dalam format turnamen seperti Piala Dunia. Sebab, keberadaan pemain bernomor 9 ini ternyata sangatlah krusial.
Ini jadi tren tersendiri di Piala Dunia 2022. Meskipun mereka tak jadi top skor di edisi kali ini, tetapi keberadaan striker bernomor 9 mampu meningkatkan efektvitas serangan. Efektivitas itulah yang kemudian membawa mereka meraih kejayaannya di Piala Dunia 2022.
***
Referensi: Fotmob, FIFA, FIFA, Daily Mail, The Analyst.