Perselingkuhan dan Kegagalan Jadi Cara Inggris Mempermalukan Diri Sendiri

spot_img

Nyanyian Football’s Coming Home selalu mengiringi langkah Timnas Inggris ketika berlaga di turnamen mayor. Tapi mau sekeras apapun lagu itu dinyanyikan, selama belasan tahun terakhir, tak ada satu pun trofi yang berhasil dibawa pulang The Three Lions. Bahkan ketika Inggris memiliki pemain-pemain hebat. Publik menyebutnya, “Golden Generations” 

Generasi itu berisikan pemain-pemain macam David Beckham, Ashley Cole, Frank Lampard, Wayne Rooney, Michael Owen, hingga Steven Gerrard. Alih-alih mendulang prestasi, angkatan ini justru menjelma jadi aib yang memalukan. Bagaimana hal itu terjadi? Berikut adalah kisah Timnas Inggris, dan bagaimana mereka mempermalukan diri sendiri.

Munculnya Generasi Emas

Nah, pada awal tahun 2000-an sebelum negara-negara seperti Spanyol dan Belgia melahirkan generasi emasnya, Inggris sudah lebih dulu memiliki itu. Hampir setiap lini, The Three Lions memiliki pemain berlabel bintang di klubnya masing-masing. Awal mula terindikasi bahwa Inggris akan memiliki generasi emas itu pada tahun 2001, saat Inggris melakoni laga kualifikasi Piala Dunia 2002.

Bertindak sebagai tim tamu, Inggris justru berhasil mengalahkan Jerman dengan skor telak 5-1 di Olympiastadion di Kota Munich. Jelas, ini sebuah kemenangan yang mengejutkan. Mengingat di pertemuan-pertemuan sebelumnya, Tim Tiga Singa selalu kesulitan untuk mengalahkan Der Panzer. Yang makin bikin kagum adalah, saat itu status Jerman adalah tim kuat.

Sejak 1985, Der Panzer tercatat belum pernah menelan kekalahan di laga kualifikasi Piala Dunia. Dan kekalahan pertamanya datang dari Inggris, mana telak lagi. Laga itu akhirnya jadi momen yang mendapat sorotan dari media lokal. Tau sendiri lah ya, media Inggris itu doyan mengglorifikasi sebuah berita. Apalagi kali ini tentang tim nasional kesayangan.

Pemain-pemain yang berada di skuad tersebut mendapat panggung yang lebih besar dari biasanya. Terutama si bocah ajaib Michael Owen yang kala itu mencetak hattrick luar biasa ke gawang kiper kawakan Jerman, Oliver Kahn. Selain Owen, di situ juga ada Robbie Fowler, Andy Cole, David Beckham, Paul Scholes, Emile Heskey, Steven Gerrard dan masih banyak lagi. 

Di tengah hype masih tinggi, CEO Federasi Sepakbola Inggris, Adam Crozier justru menyiram bensin ke api yang membara dengan mengatakan bahwa “Kemenangan ini adalah awal generasi emas Inggris.” Mendengar itu, media langsung menyambar layaknya ikan koi yang diberi pelet. Pernyataan Adam langsung jadi headlines dimana-mana.

Dikelola oleh Sven-Goran Eriksson

Terbentuknya tim semewah itu tak lepas dari campur tangan sang pelatih, Sven Goran-Eriksson. Menariknya, Eriksson bukan pria berkewarganegaraan Inggris. Sven-Goran Eriksson merupakan pelatih yang berasal dari Swedia. Dirinya tercatat sebagai pelatih asing pertama yang menukangi tim nasional Inggris.

Sven-Goran Eriksson sendiri merupakan pelatih yang memiliki pengalaman panjang di dunia manajerial. Sebelum menukangi Inggris, dirinya sudah lebih dulu berkelana lintas benua. Namun, kesuksesannya di Italia bersama Lazio, AS Roma, dan Sampdoria jadi alasan penting mengapa dirinya dicap layak untuk posisi itu.

Bersama Il Samp, Coppa Italia 1993/94 pernah direngkuhnya. Sementara bersama Lazio, Prestasinya lebih hebat lagi. Dalam kurun waktu 1997 hingga Januari 2001, Biancoceleste panen prestasi. Eriksson hantarkan Lazio memenangi Scudetto pada tahun 2000, Coppa Italia pada tahun 1998 dan 2000, Piala Winners tahun 1999, Piala Super tahun 1999, dan sempat menjadi runner-up Piala Super Eropa pada 1998 silam.

Kalau diperumpamakan dengan sepakbola sekarang, Sven-Goran Eriksson tuh ibarat Jose Mourinho-nya Swedia. Pelatih asal Swedia itu banyak, tapi jarang banget yang sukses apalagi di negeri orang. Nah Eriksson ini spesial. Satu dari sekian banyaknya pelatih Swedia yang bisa mendulang sukses di perantauan. 

Federasi sepakbola Inggris pun mempercayai Eriksson untuk mengelola tim yang sedang dihuni oleh pemain-pemain terbaik. Di bawah asuhannya, Inggris langsung lolos ke Piala Dunia 2002 dengan cara yang mengagumkan. Ditunjuk pada Januari 2021, Inggris tak terkalahkan di enam pertandingan sisa babak kualifikasi Piala Dunia 2002.

Gagal di Piala Dunia 2002

Skuad impian Inggris pun melakukan penerbangan ke Benua Asia, tempat Piala Dunia 2002 diselenggarakan. Berisikan pemain-pemain hebat, skuad asuhan Sven-Goran Eriksson berjalan dengan kepala tegak. Mereka percaya diri bahwa tim akan meraih hasil maksimal di turnamen empat tahunan tersebut.

Apalagi sosok Eriksson yang memiliki julukan sebagai “serial-winner”, membuat ekspektasi fans kembali melonjak tinggi. Sambil menyanyikan Football’s Coming Home, mereka yakin sang pelatih bakal mengeluarkan potensi terbaik dari para pemain tim nasional Inggris. Ujian pertama pun harus dilewati karena Inggris satu grup dengan Argentina, Nigeria, dan negara asal Sven-Goran Eriksson, Swedia di Grup F.

Dilihat dari ranking FIFA dan komposisi timnya, banyak media yang menyebut Grup F adalah grup neraka. Tapi persetan dengan neraka yang satu ini. Dengan skuad bertabur bintang yang dibawa Sven-Goran Eriksson ke Jepang dan Korea Selatan, Tim Tiga Singa diprediksi melaju ke fase gugur dengan mudah.

Kala itu, Inggris berisi pemain-pemain yang tak jauh berbeda dengan babak kualifikasi. Paling cuma Steven Gerrard dan Gary Neville yang berhalangan hadir lantaran harus fokus pada pemulihan cederanya. Meski begitu, skuad masih memiliki banyak talenta untuk menambal lubang yang ditinggalkan Gerrard dan Neville.

Sialnya, Inggris justru kewalahan berada dalam kepungan kontestan Grup F. Yang bikin tengsin, The Three Lions susah payah untuk lolos dari fase grup. Mereka harus puas hanya berstatus runner-up Grup F, di bawah Swedia yang keluar sebagai juara grup karena punya catatan gol yang lebih banyak. Skuad racikan Sven-Goran Eriksson bahkan hanya menang sekali atas Argentina dan dua kali ditahan imbang oleh Swedia dan Nigeria.

Setelah berhasil memperbaiki performa dan menang telak 3-0 atas Denmark di babak 16 besar, Inggris sudah ditunggu Brazil racikan Luiz Felipe Scolari di babak perempat final. The Three Lions terlihat akan memenangkan laga ini usai Michael Owen mencetak gol di menit pertengahan babak pertama. Sial, Rivaldo merusak pesta turun minum Inggris dengan cara menyamakan kedudukan di masa injury time babak pertama.

Bukannya berusaha bangkit dan kembali unggul, Emile Heskey dan kolega justru kembali kebobolan di menit 50. Kali ini, yang jadi aktor di balik gol kedua Brazil adalah Ronaldinho. Melalui tendangan bebas jarak jauh yang luar biasa, mantan pemain Barcelona itu membuat David Seaman tertunduk malu karena tak sanggup menjangkaunya. Gol itu memastikan laju generasi emas Inggris terhenti di perempat final.

Seaman Kena Hujat

Meski pada akhirnya Brazil jadi tim yang menjuarai Piala Dunia 2002, tapi kekalahan tersebut cukup menjadikan Inggris bahan olok-olok. Tidak seharusnya Seaman kebobolan oleh sepakan spekulatif macam itu. Blunder konyol itu pun langsung digoreng oleh media-media Inggris. Salah satunya FourFourTwo.

Mereka menjelaskan bahwa kesalahan Seaman terbukti telah merugikan Inggris. Seaman dinilai telah meremehkan tendangan jarak jauh itu sehingga gagal menebak arah bola. Meski sempat dibela oleh sang pelatih, media-media lain pun seakan mengamini apa yang ditulis oleh FourFourTwo.

Beruntungnya, pembelaan dari Sven-Goran Eriksson sedikitnya membantu Seaman agar tidak bernasib sama dengan David Beckham empat tahun sebelumnya. Kita semua tahu, bagaimana Beckham jadi kambing hitam atas kegagalan Timnas Inggris di Piala Dunia 1998. Padahal mantan pemain Manchester United itu cuma terkena kartu merah, bukan blunder atau mencetak gol bunuh diri.

Sang pelatih berusaha meredam situasi dengan mengatakan bahwa ini baru awal. Dirinya butuh waktu lebih banyak lagi untuk menyiapkan dan membangun kemistri pemain Inggris baik di dalam maupun di luar lapangan. Maka dari itu, berita buruk soal Seaman mereda dan Inggris kembali mempersiapkan diri jelang Euro 2004.

Gagal Lagi di Euro 2004

Jika muncul pertanyaan apakah di Euro 2004 nasib Inggris jauh lebih baik? Jawabannya sama sekali tidak. Karena skuad asuhan Sven-Goran Eriksson kembali mandek di perempat final. Inggris awalnya berhasil lolos dari jeratan grup sulit lainnya. Dimana disitu ada Kroasia, Swiss, dan Prancis.

Meski sempat kalah dari sang juara bertahan, Prancis, Inggris berhasil mengamankan kemenangan di dua laga lain. Menang 3-0 atas Swiss dan menang 4-2 atas Kroasia. Finis sebagai urutan kedua di Grup B, Inggris mau nggak mau harus kembali menghadapi Luiz Felipe Scolari yang kini menukangi Portugal di babak perempat final.

Inggris yang hadir dengan skuad yang lebih sangar dan matang tentu masih dijagokan meski lawannya adalah tim tuan rumah. Toh, Steven Gerrard dan Gary Neville sudah kembali ke skuad. Bau-bau kemenangan kembali semerbak di awal babak pertama. Pemain terbaik Inggris saat itu, Michael Owen membuka keunggulan di menit ketiga.

Setelah itu, Inggris dan Portugal saling berbalas gol. Hingga akhir babak tambahan waktu, skor masih sama kuat 2-2. Laga pun berlanjut ke adu penalti. Nasib sial pun mengiringi Inggris di sini. Diwarnai kegagalan David Beckham dan Rui Costa, Ricardo yang mencopot sarung tangannya menjadi pahlawan Portugal usai menghentikan eksekusi Darius Vassell.

Kasus Perselingkuhan

Kali ini bukan pemain lagi yang jadi sasaran amuk media, melainkan sang pelatih. Media Inggris yang terkesan kejam dalam menguliti para pemain pun kini mulai antipati pada sosok mantan pelatih AS Roma itu. Usai kegagalan di Euro 2004, kapasitas Sven-Goran Eriksson pun mulai diragukan.

Bermodal pemain-pemain kelas wahid, Eriksson dinilai tidak becus dalam mengelola tim. Beberapa media bahkan menyebut dirinya sebagai penghancur generasi emas Inggris. Seharusnya, dalam dua ajang tersebut, setidaknya bisa menjuarai salah satunya. Minimal masuk final lah ya. Ini kan enggak.

Media makin jengkel ketika mengetahui bahwa FA tidak punya niat untuk memecatnya meski performa Inggris tidak sesuai harapan. Oleh karena itu, media-media seperti The Guardian dan Daily Mail mulai bergerak lebih rajin dalam mengulik sisi lain dari pelatih asal Swedia tersebut.

Hingga pada akhirnya pada tahun 2005 salah satu pers Inggris menguak kasus perselingkuhannya dengan sekertaris FA, Faria Salim. Ketika berita ini mencuat, Eriksson kelabakan. Jika biasanya disibukan dengan materi latihan, saat itu Eriksson justru lebih disibukkan dengan sesi klarifikasi dan membantah berita itu.

Sialnya, alibi dan alasan-alasan yang dikeluarkan Eriksson untuk menghindari tuduhan itu  akhirnya sia-sia. Karena federasi sepakbola Inggris malah membenarkan kalau keduanya (Eriksson dan Faria) memang menjalin hubungan gelap. Melalui juru bicaranya, FA menyatakan telah menemukan bukti-bukti yang membenarkan rumor perselingkuhan tersebut.

Tak cuma di situ, The Guardian bahkan membongkar satu fakta lagi yang tak bisa dihindari oleh Eriksson. Menurut mereka, ini bukan kali pertama Eriksson berselingkuh. Jauh sebelum kasusnya dengan sekertaris FA, mantan pelatih Leicester City itu juga pernah ketahuan berselingkuh dengan presenter Ulrika Johnsson. Hmmm, daripada “Serial Winner”, Eriksson sepertinya lebih tepat dijuluki “Serial Cheater”.

Eriksson pun Dipecat

Lucunya, meski banyak berita miring yang menerpa Sven-Goran Eriksson tak ada sedikitpun niat dari FA untuk memecatnya. FA justru dengan tegas ingin terus mempertahankan Eriksson hingga Euro 2008. Tentunya ini bukan keputusan yang mengejutkan, mengingat dirinya punya hubungan baik dengan Faria Salim.

Tapi, keputusan ini menjadi perbincangan media internasional. Inggris dianggap menormalisasi perselingkuhan dan semakin menguatkan bahwa generasi emas Inggris tak kunjung berprestasi karena banyak dosa-dosa yang dilakukan oleh federasi dan pelatihnya. Eriksson dicap sebagai aib yang terus dirawat oleh sepakbola Inggris.

Anyway, pada akhirnya Eriksson memang berhasil meloloskan Inggris ke Piala Dunia 2006. Akan tetapi, pada Januari 2006 FA mengumumkan kalau sosok yang sudah tidak diinginkan oleh fans itu akan meninggalkan posisinya pasca gelaran Piala Dunia.

Turnamen antar negara terbesar di dunia yang kala itu diselenggarakan di Jerman jadi pembuktian terakhir bagi Eriksson dan generasi emas Timnas Inggris. Meski beberapa pemain sudah mulai pensiun, The Three Lions tetap datang dengan skuad yang bertabur bintang.

Beberapa nama baru seperti Jermaine Jenas, Michael Carrick, Aaron Lennon, Peter Crouch, Theo Walcott, hingga Wayne Rooney makin melengkapi skuad The Three Lions yang sedari awal sudah bertabur bintang. Datang dengan skuad begitu, Inggris sukses melewati babak penyisihan grup dengan cukup meyakinkan, yakni tak terkalahkan. 

Tapi lagi-lagi, Inggris harus terhenti di perempat final. Kalian pun pasti sudah bisa menebak, siapa yang menghentikan langkah generasi emas Inggris. Ya, siapa lagi kalau bukan Luiz Felipe Scolari serta skuad Portugalnya. Kekalahan di Piala Dunia 2006 jadi akhir dari masa jabatan Sven-Goran Eriksson di Timnas Inggris.

Generasi Emas yang Mubazir

FA pun sadar bahwa dalam tiga ajang terakhir, tim nasional Inggris selalu kalah dari skuad asuhan Luiz Felipe Scolari. Oleh dasar itu, FA berusaha membujuk Scolari untuk menukangi Inggris. Sayangnya, pelatih asal Brazil itu masih enggan untuk meninggalkan Portugal. Pada akhirnya, nama Steve McClaren yang kemudian dipilih sebagai pelatih anyar timnas Inggris.

Keputusan FA untuk mempekerjakan McClaren tidak disambut baik oleh publik Inggris. Tapi apa boleh buat. Tak ada opsi lain. Alih-alih berbenah, McClaren justru menjadi puncak komedi dari serangkaian kegagalan yang memalukan. Mewarisi skuad mewah Sven-Goran Eriksson, McClaren justru gagal meloloskan Inggris ke Euro 2008. 

Sumber: 90min, The Guardian, FFT, These Football Times, Mirror

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru