Di tengah kekecewaan fans Arsenal yang resmi puasa gelar lagi musim ini, ada dua klub London yang sedang berusaha memoles nama baik sepakbola Inggris di Eropa. Mereka adalah Chelsea dan Tottenham. Chelsea akan menghadapi Real Betis di final Conference League, sedangkan Spurs akan menantang sesama wakil Inggris, Manchester United di final Europa League.
Dari perjuangan dua klub London ini, Spurs jadi yang paling menarik. Mereka akan menghadapi United yang memiliki latar belakang sama. Ya, keduanya sama-sama porak poranda di kompetisi domestik. Mereka bahkan nyaris terdegradasi. Untungnya Ipswich Town dan Southampton bermain lebih buruk dari Spurs dan MU.
Final ini jadi sebuah anomali baru di kompetisi Eropa. Klub yang susah menang di liga justru berduel di final kompetisi Eropa. Aneh memang, tapi begitu lah sepakbola. Lantas, akan berakhir seperti apa duel klub big six terburuk di Inggris ini?
Daftar Isi
Kondisi di Premier League
Jika kalian melihat klasemen Premier League di Google, kalian harus scroll beberapa kali sampai akhirnya menemukan nama Manchester United. Karena memang posisinya se-bawah itu. United lebih dekat dengan Divisi Championship ketimbang zona Liga Champions. Menurut grafik yang ada, United tak pernah menyentuh enam besar musim ini.
Mereka lebih sering berjibaku di papan tengah dan papan bawah. Dari 35 pertandingan yang sudah dimainkan sejauh ini, United hanya menang sepuluh kali dan kalah 16 kali. Sebelumnya, rekor terburuk MU tercatat pada musim 2021/22 saat hanya meraih 58 poin dari 38 pertandingan.
Namun, hasil buruk musim ini memastikan mereka tidak akan mencapai angka tersebut, bahkan jika menang dalam semua laga tersisa. Skuad asuhan Ruben Amorim hanya mengoleksi 39 poin dari 35 pertandingan musim ini. Artinya, musim 2024/25 akan menjadi musim dengan poin terendah sepanjang sejarah Premier League bagi Setan Merah.
Nasib yang kurang lebih sama juga dialami oleh Spurs. Menurut beberapa sumber, musim ini jadi periode terburuk dalam 17 tahun terakhir. Spurs hanya menang sekali dalam sembilan pertandingan terakhir di Premier League. Itu membuat mereka berada di peringkat ke-16 klasemen sementara. Tertinggal satu poin dari MU yang berada di atasnya.
Keberhasilan kedua tim melaju ke final UEL pun seakan membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di sepakbola. Performa apik di liga tidak bisa dijadikan tolok ukur performa di kompetisi Eropa. Jika bisa, seharusnya Liverpool tak terkapar di babak 16 besar dan Arsenal tidak mengalami patah hati di Paris, kota paling romantis di dunia.
Perjalanan Mereka di UEL Musim Ini
Musim 2024/25 terasa makin aneh bagi kedua klub ini karena performa Manchester United dan Spurs di kompetisi Europa League sangat memukau. Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan performa di Premier League. Manchester United bahkan berstatus tim tak terkalahkan di kompetisi level dua Eropa itu.
Start Manchester United di Europa League musim ini memang lambat. Mereka cuma dapat tiga hasil imbang dari tiga laga pertama. Namun, setelah itu United tak pernah mengambil langkah mundur. Setan Merah kini telah memainkan 14 pertandingan dan tak pernah mencicipi kekalahan.
Sementara Spurs, mereka sudah mengalami dua kekalahan. Kekalahan yang mereka dapat pun dari tim-tim yang tidak diperhitungkan. Seperti saat Son Heung-min cs kalah 1-0 dari klub Belanda, AZ Alkmaar. Padahal, kala itu mereka bermain dengan skuad terbaik.
Apakah tim yang dihadapi Spurs lebih susah dari United? Hmmm, nggak juga tuh. Setelah memasuki fase gugur, Spurs justru menghadapi tim-tim medioker. Selain AZ Alkmaar di babak 16 besar, Spurs hanya menghadapi Eintracht Frankfurt di perempat final dan Bodo/Glimt di semifinal.
Berbanding jauh dengan lawan-lawan yang dihadapi United. Di fase gugur, MU menghadapi tiga tim yang berasal dari lima liga top Eropa. Real Sociedad di babak 16 besar, Lyon di perempat final, dan Athletic Bilbao di semifinal. Ibarat jalan, Spurs ke final lewat tol, sedangkan MU lewat Kelok Sembilan di Sumatera Barat.
MU Lebih Berpengalaman
Selain latar belakang kondisi tim, laga ini jadi makin menarik karena ini jadi pertemuan pertama mereka di kompetisi Eropa. Untungnya, mereka sudah kenal baik karena udah sering ketemu di kompetisi domestik. Ibaratnya, cuma pindah tempat nongkrong doang ini mah.
Anyway, Manchester United tercatat lebih berpengalaman soal mentas di Eropa. Khusus Europa League saja, laga yang akan dimainkan pada 22 Mei mendatang adalah final ketiga mereka dalam lima partisipasi terakhir. Dua final sebelumya dicatatkan pada 2017 dan 2021. Dimana tahun 2017 United keluar sebagai kampiun.
Sedangkan bagi Spurs, ini adalah debut mereka di final UEL. Klub yang kabinet trofinya kayak dompet di akhir bulan ini memang kurang berpengalaman ya di ajang-ajang besar kayak gini. Seringnya cuma jadi penggembira saja. Terakhir kali mencapai final aja pada tahun 2019. Kala itu, mereka kalah dari Liverpool di final Liga Champions. Tandanya, Spurs punya rekor buruk jika menghadapi sesama wakil Inggris di laga final kompetisi Eropa.
Yang bikin MU terlihat lebih menguasai medan tempur adalah lokasi final itu sendiri. Laga final nanti akan dihelat di Stadion San Memes, Bilbao. Di babak semifinal, United sudah gladi resik duluan dengan membuat sang empunya tempat, Athletic Bilbao bertekuk lutut. United menang mudah, 3-0 di San Memes.
MU Lebih Termotivasi
Berdasarkan pengalaman dan lokasi pertandingan, jelas United lebih termotivasi menjelang laga ini. Mental bermain Manchester United sedang bagus di Eropa. Gelar Europa League jadi sangat penting bagi mereka. Sebab, dengan gelar tersebut, United bisa kembali tampil di Champions League musim depan.
Bermain di Champions League bukan cuma soal sorotan media, MU tak butuh itu. MU akan tetap terlihat sexy di manapun kompetisinya. Yang MU harapkan dari Champions League adalah daya tarik. Bermain di UCL akan memudahkan Ruben Amorim untuk menggaet pemain-pemain incarannya.
Seperti misalnya Viktor Gyokeres. Mantan anak asuh Amorim di Sporting CP ini hanya mau menggadaikan jiwanya pada Setan Merah jika mereka bermain di UCL. Dan kebanyakan pemain-pemain lain pun begitu.
Di sisi lain, Spurs justru demotivasi. Mereka seperti tidak menargetkan apapun musim ini. Yang diinginkan manajemen adalah agar musim cepat selesai. Dengan begitu, mereka bisa mengatur ulang sistem dan komposisi skuad musim depan. Daniel Levy bahkan akan tetap memecat Ange Postecoglou terlepas dari hasil yang dicapai di kompetisi Eropa.
Satu-satunya motivasi yang muncul adalah dari Son Heung-min. Selain ingin menyudahi paceklik trofi, sang kapten ingin mengikuti jejak mantan rekannya di Spurs, Harry Kane. Striker berpaspor Inggris itu sudah lebih dulu meraih gelar Bundesliga bersama Bayern Munchen.
Prediksi Jalannya Laga
Jika begini, Manchester United jelas diunggulkan dong ya? Tidak juga. Secara mental dan pengalaman, United boleh petantang-petenteng. Tapi, kalau soal head to head, MU lebih pas disebut ayam sayur ketimbang Spurs itu sendiri.
Mengutip dari situs Transfermarkt, United belum pernah menang dalam lima pertemuan terakhir dengan Spurs. Termasuk pertemuan di kompetisi berformat sistem gugur, macam Carabao Cup. Lantas, bagaimana United bisa keluar dari rekor buruk ini?
Tottenham di bawah asuhan Ange Postecoglou dikenal dengan pendekatan menyerang yang agresif dan garis pertahanan tinggi. Ini bisa dimanfaatkan oleh Andre Onana cs. Gaya bermain Spurs sering membuat mereka rentan terhadap serangan balik cepat. Amad Diallo dan Alejandro Garnacho bisa jadi ancaman utama bagi Spurs.
Keduanya akan mengandalkan kecepatan untuk mengeksploitasi ruang kosong di belakang garis pertahanan tinggi Spurs. Namun, skema ini bisa berjalan dengan baik jika United bisa menjaga fokus di pertahanan dan efektivitas lini serang. Ruben Amorim mungkin perlu memberi kultum lebih dulu kepada Andre Onana agar nggak ngelawak di laga sepenting ini.
Jika United gagal menjaga konsentrasi, maka Spurs bisa saja mencuri kesempatan. Spurs memiliki kemampuan untuk menciptakan peluang dari berbagai situasi, termasuk bola mati dan pergerakan tanpa bola. Bruno Fernandes cs pasti nggak mau kan patah hati di musim 2020/21 terulang kembali?
_____
Sumber: Goal, Independent, Sporting News, Tempo