“Moneyball”, Cara Brentford Kalahkan Tim Kaya dan Promosi ke Premier League

spot_img

Bukan dengan modal besar, bukan pula dengan merekrut pemain mahal. Sebagai tim promosi, Brentford punya cara unik untuk mengalahkan tim kaya dan memastikan satu tempat di Premier League musim depan.

Setelah menunggu selama 74 tahun, Brentford akan kembali berlaga di level tertinggi Liga Inggris setelah sukses promosi via jalur play-offs. Brentford mengalahkan Swansea City 2-0 di partai final. Tak seperti Norwich City dan Watford, modal Brentford untuk promosi ke Premier League musim depan bisa dibilang paling minim.

Profil Singkat Brentford

Brentford sendiri merupakan klub yang berasal dari London Barat dan sudah berdiri sejak 10 Oktober 1889. Klub yang berjuluk ‘The Bees’ alias ‘Si Lebah’ ini bermarkas di Brentford Community Stadium, berbagi tempat dengan klub Rugbi setempat, London Irish. Stadion yang baru dibuka di musim panas 2020 itu hanya punya kapasitas 17.250 kursi yang bakal menjadikan Brentford klub dengan stadion terkecil di Premier League musim depan.

Sejak berpindah ke Brentford Community Stadium di musim 2020/2021, peruntungan ‘The Bees’ di babak play-offs promosi seketika berubah drastis. Setelah gagal 4 kali di partai final dalam 9 kesempatan play-offs, Brentford akhirnya berhasil di percobaan kesepuluh, tepat setelah mereka pindah dari Griffin Park.

Promosinya Brentford bukanlah sebuah keberuntungan, melainkan buah dari hasil inovasi pengelolaan klub yang disebut “moneyball”.

Matthew Benham, Pejudi Profesional dan Pemilik Brentford FC

Kisah dimulai di tahun 2006. Brentford menghadapi masalah keuangan. Matthew Benham kemudian memberi pinjaman 700 ribu dolar kepada kelompok suporter Brentford agar dapat membeli klub.

Pada 2012, Benham menjadi pemilik Brentford setelah 96% saham jatuh kepadanya. Kepemilikannya kemudian jadi 100% di tahun 2014 dan Benham sah jadi pemilik klub yang sudah digemarinya sejak kecil.

Benham merupakan lululusan Universitas Oxford pada tahun 1989 dengan gelar di bidang Fisika. Benham kemudian bekerja di bidang keuangan selama 12 tahun dan sempat menjabat sebagai Vice President di Bank of America. Namun pada tahun 2001, ia memutuskan berganti karir.

Matthew Benham bergabung dengan perusahaan judi olahraga, Premier Bet. Di sana, ia belajar langsung dari salah satu pejudi tersukses dunia, Tony Bloom. Benham bekerja di sana hingga 2003 sebelum mendirikan sendiri perusahaan judinya, Smartodds pada tahun 2004.

Dalam waktu singkat, keahliannya di bidang algoritma, data, dan statistik membuatnya jadi pejudi sukses. Dari inilah ia punya dana melimpah untuk mengakuisisi Brentford.

Setelah resmi menjadi pemilik The Bees, Benham juga menghabiskan 10 juta dolar untuk membeli saham FC Midtjylland, klub Liga Super Denmark pada Juli 2014.

Tujuannya sederhana. Selain meraup untung, klub berjuluk The Wolves itu ia gunakan untuk menguji konsep moneyball-nya. Semua ide yang berhasil kemudian ia terapkan di Brentford.

Lalu, bagaimana konsep dan penerapan “moneyball”?

Istilah “moneyball” pertama kali booming lewat buku berjudul “Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game” karya Michael Lewis yang terbit pada 2003 silam. Kisah dalam buku tersebut kemudian difilmkan pada tahun 2011 dan dibintangi oleh Bradd Pitt.

Aktor utama dalam buku dan film tersebut adalah Billy Beane, general manager Oakland Athletics, salah satu klub bisbol MLB dengan budget paling kecil. Dalam kisahnya, Beane yang dibantu Paul DePodesta menjadikan timnya sebagai pesaing bagi klub-klub kaya dengan budget melimpah. Cara Beane itu kemudian banyak menginspirasi tokoh olahraga lain, termasuk Matthew Benham.

Secara sederhana, tujuan ‘moneyball’ adalah untuk membangun skuad kompetitif berlandaskan teori ekonomi dengan modal kecil demi keuntungan besar. Sementara konsep dasar ‘moneyball’ adalah untuk mengevaluasi nilai seorang pemain dengan memakai data, statistik, dan hitung-hitungan matematis.

Berpikir logis, ekonomis, dan punya intuisi kuat sangat penting dalam menjalankan ‘moneyball’. Benham yang punya latar belakang sains dan ekonomi tentu tak sulit untuk menjalankannya. Seperti Billy Beane, Benham tak sendirian. Ia dibantu Rasmus Ankersen untuk mengelola klubnya.

Saat mengakusisi FC Midtjylland, Benham menunjuk Ankersen sebagai chairman. Ankersen juga bukan orang biasa. Ia adalah mantan pesepakbola, pelatih berlisensi UEFA A, konsultan bisnis, dan seorang penulis.

Tahukah kamu, Brentford tiba di Divisi Championship pada musim 2014/2015 dengan anggaran dan nilai skuad terkecil dan diperkirakan akan segera terdegradasi. Disitulah kisah dongeng ‘moneyball’ ala Benham dan Ankersen dimulai.

Nilai skuad Brentford saat itu hanya 13,60 juta euro. Hebatnya, di bawah asuhan Mark Warburton, The Bees finish di peringkat 5 dan lolos ke play-offs. Namun, meski performanya bagus, kontrak Warburton tidak diperpanjang.

Itu terjadi setelah Benham melakukan perubahan radikal di dalam struktur klub. Ia menjadikan Ankersen sebagai co-director of football bersama Paul Giles, kepala penelitian kuantitatif di Smartodds, perusahaan konsultan judi yang dimiliki Benham.

Kedatangan mereka itulah yang membuat Warburton tersingkir. Warburton tak setuju dengan langkah perekrutan pemain yang akan dilakukan Ankersen dan Giles yang berdasarkan permodelan statistik.

Meski butuh waktu hingga 6 musim, eksperimen mereka dengan pendekatan “moneyball” akhirnya terbukti ampuh. Kini, skuad mereka sudah bernilai lebih dari 150 juta euro.

Lalu, bagaimana cara kerja moneyball di Brentford?

Di bawah kendali Benham dan Ankersen, Brentford punya 3 kebijakan transfer. Pertama, mereka lebih banyak merekrut pemain dari luar Inggris. Kedua, mereka mengevaluasi calon rekrutannya dengan data dan statistik. Dan ketiga, Brentford punya batasan usia dalam merekrut pemain.

Brentford lebih suka berinvestasi pada pemain asing. Mereka percaya bahwa talenta lokal umumnya menggelembung di pasar transfer. Seperti yang kita lihat, talenta lokal Britania kerap dilabeli super mahal oleh klubnya dan Brentford enggan bertaruh di sana.

Dalam merekrut pemain, Si Lebah kerap mencari di liga antah berantah, seperti divisi 2 Liga Prancis, Denmark atau divisi bawah Liga Inggris. Sebagai contoh ada Neal Maupay yang dulu dibeli dari klub divisi 2 Prancis atau Ollie Watkins yang dibeli dari klub divisi 4 di Inggris.

Data acuan yang mereka pakai untuk menganalisis pemain bukan sekadar jumlah gol dan asis. Data yang dipakai adalah data statistik lanjutan, seperti Expected Goals (xG), Expected Assists (xA), Smart Passes, hingga Post-Shot Expected Goals (PSxG)

Mereka memakai data tersebut untuk menilai seorang pemain berdasarkan posisinya. Lewat analisis data tersebut, Brentford mendapat pemain underrated dengan kemampuan bagus dan harga murah.

Sebagai contoh ada Said Benrahma. Ia didatangkan dari Nice setelah menghabiskan musim 2017/2018 sebagai pemain pinjaman di klub Ligue 2 Prancis. Selama 33 laga, Benrahma hanya mencetak 9 gol dan 5 asis. Catatan tersebut jauh dari Umut Bozok, top skor liga yang mencetak 24 gol.

Inilah peran penting Expected Goals. xG menghitung total gol yang diharapkan akan dicetak oleh seorang pemain dalam satu musim sesuai dengan peluang, karakteristik, dan arah tembakannya. Jika seorang penyerang mencetak gol lebih banyak dari nilai xG-nya, maka dia berada di level yang bagus.

Kala itu, Benrahma punya nilai xG 7,32 saat mencetak 9 gol. Artinya, ia sukses melebihi xG-nya sebesar 1,68. Benrahma juga jadi pemain kedua yang paling banyak melepas tembakan, yakni 95 tembakan. Padahal, ia hanya menempati posisi 26 dalam daftar top skor.

Itulah potensi Benrahma yang membuatnya direkrut Brentford. Di usianya yang baru 22 tahun, ia sudah memproduksi banyak tembakan bagi timnya. Meski efektivitasnya baru 25%, tetapi bila dapat ditingkatkan, ia bakal jadi pemain hebat.

sumber: eflanalysis.com

Si Lebah yang hanya menebus Benrahma sebesar 2,7 juta poundsterling kemudian memetik keuntungan besar. Selama 94 laga, ia menyumbang 30 gol dan 27 asis sebelum dijual ke West Ham United dengan biaya total 26 juta poundsterling.

Inilah aspek penting lainnya dari ‘moneyball’, beli rendah jual tinggi. Selain itu, di bawah kendali Ankersen dan Giles, rekrutan Brentford rata-rata berusia di bawah 23 tahun.

Kecuali di musim 2014/2015, aktivitas transfer Brentford selalu menghasilkan keuntungan. Keuntungan terbesar terjadi di musim lalu, dimana mereka mendapat pemasukan hingga 62 juta euro dari hasil penjualan Ollie Watkins dan Said Benrahma.

Pengeluaran Si Lebah juga tak pernah melebihi pemasukannya. Namun, sepertinya langkah serupa tak akan terjadi di musim panas ini. Hingga 31 Juli, Brentford sudah menghabiskan 27,20 juta euro untuk mendatangkan 3 pemain baru. Kristoffer Ajer yang dibeli dari Celtic dengan mahar 15,70 juta euro jadi rekrutan termahal.

Langkah tersebut tak lepas dari jaminan keuntungan yang didapat Brentford setelah memastikan diri promosi ke Premier League. Menurut hasil audit Deloitte, Brentford bisa menghasilkan pendapatan hingga 280 juta poundsterling selama lima tahun jika mampu bertahan pada musim pertama.

Dalam 3 tahun saja, pendapatan mereka bisa naik hingga 160 juta euro. Hasil dari kenaikan uang tiket, nilai sponsor yang bertambah, distribusi uang hak siar TV, dan parachute payments bila mereka terdegradasi di musim-musim berikutnya.

Itulah keuntungan yang Brentford dapat dari metode “moneyball” yang diterapkan Matthew Benham dan Rasmus Ankersen. Tahukah kamu, data seperti xG tak hanya dipakai Benham dkk untuk menguasai pasar pemain, tetapi juga memenangkan uang lewat taruhan.

Namun jangan salah. Brentford bukan satu-satunya klub di dunia yg menerapkan ‘moneyball’. Di divisi Championship saja, rival mereka Barnsley juga melakukan hal yang sama. Hal itu tak lepas dari pengaruh salah satu pemilik saham mereka, yakni Billy Beane.

Di Premier League juga terdapat beberapa klub yang mengadopsi konsep ‘moneyball’. Mereka memadukan ‘moneyball’ dengan suplai dana yang melimpah. Namun, apa yang dilakukan Brentford sangat berbeda.

Yang dilakukan Matthew Benham di Brentford adalah memadukan moneyball dengan analitis dan intuisinya sebagai seorang pejudi. Oleh karena itu, promosinya Brentford bukan hanya jadi prestasi terbesar klub tersebut atau jadi kebahagian fans Si Lebah. Namun juga jadi kemenangan judi bagi Matthew Benham.

Jika dirunut dari awal investasinya, Benham dulu hanya menyuntikkan dana pinjaman sebesar 700 ribu poundsterling. Kini, hasil investasinya sudah berlipat ganda. Valuasi Brentford diperkiran sudah lebih dari 300 juta poundsterling.

Itulah kisah dongeng perjalanan Brentford yang mengalahkan tim-tim kaya dan promosi ke Premier League dengan metode “moneyball”. Meski manajemen Si Lebah terkesan berorientasi pada keuntungan finansial, tetapi jangan pandang sebelah mata skuad mereka.

Di bawah asuhan Thomas Frank, mereka bermain sangat atraktif. Gaya main mereka juga menyerang. Buktinya, Brentford jadi tim tersubur di divisi Championship musim lalu. Striker mereka, Ivan Toney juga jadi top skor liga.

Kini pertanyaannya, bisakah mereka melajutkan kisah sukses itu di musim-musim berikutnya?

***
Sumber Referensi: Brentford FC, Transfermarkt, EFLanalysis, Sportspromedia, Bloomberg, SkySports.

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru