Di antara banyak striker legendaris di Premier League, nama Peter Crouch bukan diingat karena ketajamannya. Yah, meskipun ia termasuk segelintir penyerang yang mampu mencetak lebih dari 100 gol di Premier League, ia nyaris tak pernah jadi pembunuh alami. Yang diingat orang tentang dirinya hanyalah seorang striker kurus bertinggi lebih dari dua meter yang sering berlari-lari pelan menunggu kiriman bola lambung. Ia juga sempat populer karena selebrasi robotnya.
Jadi, dari mana Inggris menemukan striker dengan tipikal sangat unik ini?
Semasa junior, ia berpindah akademi tiga kali. Dari Brentford, QPR, hingga menerima kontrak profesional di Tottenham. Di klub ini, ia terlihat tak akan mampu menembus tim utama. Jadilah ia dipinjamkan jauh hingga divisi tujuh ke Dulwich Hamlet, serta ke seberang lautan di Divisi Tiga Swedia bersama IFK Hassleholm. Di klub-klub antah berantah ini, Crouch selalu disindir. “Apa yang dilakukan ayam-30-kaki itu di sini?”
Meski begitu, di klub-klub tersebutlah ia mulai mencicipi sepak bola senior. Meski kepala dan kakinya berjarak lebih dari 180cm, ia mulai belajar cara menggunakan kaki. Ia sendiri meyakini masa peminjamannya jauh lebih berpengaruh ketimbang hanya berdiam di tim akademi.
Namun, Crouch juga tak tajam-tajam amat di sana. Tottenham pun memilih menjualnya ke QPR. Dalam usia 19 tahun, ia akhirnya jadi pemain utama di Divisi Dua. Setelah koleksi golnya mencapai dua digit di akhir musim, klub rival Portsmouth pun merekrutnya. Ia juga tampil bagus di klub ini. Jumlah golnya hampir berlipat ganda, yang akhirnya membuat klub Premier League memanggilnya, yaitu Aston Villa.
Masanya di Villa memang yang paling pahit di antara klub-klubnya, jadi ia pindah ke Southampton setelah musim berakhir. Meski ia menderita degradasi di Soton, ia justru mulai dianggap sebagai striker papan atas Inggris. Setelah Harry Redknapp datang, ia mencetak 12 gol di paruh akhir 2004/05. Di akhir musim, ia dipinang Liverpool (Mirip perekrutan Xherdan Shaqiri: diboyong dari klub degradasi).
Mulai titik ini, kariernya cukup berwarna. Ia sempat puasa gol dalam 18 pertandingan, hingga disebut pembelian flop oleh sejumlah pendukung. Di lain waktu, ia mencetak gol melawan Galatasaray serta mencetak hattrick sempurna ke gawang Everton. Ia juga berkontribusi mengantarkan Liverpool ke final Liga Champions 2007. Tak ada yang menyebut kariernya gagal di Anfield. Setelah Fernando Torres datang, ia menyadari masanya habis.
Ia pun “pulang” ke Portsmouth. Meski ia mampu mencetak 16 gol sepanjang musim, krisis finansial yang mendera klub membuatnya harus pergi. Kali ini, ia ke Tottenham Hotspur, untuk kali ketiga bermain di bawah Harry Redknapp.
Redknapp dan Crouch berhasil mencetak sejarah. Gol Crouch di musim 2009/10 memastikan Tottenham tampil untuk pertama kali di Liga Champions. Ia lalu mencetak hattrick di play-off melawan Young Boys, lalu melanjutkan perjalanan hingga perempat final.
Adalah di Stoke City, tempat Crouch menemukan rumahnya. Ia diboyong Tony Pulis pada 2011, saat mereka sedang getol memainkan umpan lambung. Stoke-lah satu-satunya klub yang pernah ia perkuat lebih dari seratus kali, bahkan bisa jadi akan menembus 250 pertandingan di akhir musim ini.
Ia jadi figur populer di klub. Ia ramah, bisa bercanda, dan jadi orang paling mudah dikenali di klub. Di akhir 2014/15, musim yang bisa dibilang adalah musim terakhir ia jadi pilihan utama, koleksi golnya di Premier League mencapai 96. Sejak saat itu hingga terdegradasi pada musim 2017/18, ia “mencicil” gol sedikit demi sedikit, hingga masuk “Club 100”: orang yang mencetak 100 gol atau lebih di Premier League. Catatan akhirnya di Premier League adalah 108 gol dari 462 penampilan.
Setelah sejumlah prestasi di level klub, dan telah tampil di dua Piala Dunia dengan koleksi total 22 gol bersama timnas, ia kini sedang menjalani masa senja kariernya.
Bersama Stoke City, ia menjadi cadangan yang kadang berguna di Divisi Championship. Ia juga sudah punya kolom sendiri di Daily Mail.
Untuk ukuran pemain yang dijuluki ayam setinggi dua meter, kariernya tidak terlalu buruk…