Berbeda dengan Peter Crouch yang punya postur menjulang serta baru dikenal saat usianya sudah cukup matang, penyerang Inggris lain yang jauh lebih pendek darinya justru meredup bahkan sebelum usianya menginjak kepala tiga.
Benar, Michael Owen jadi idola publik dalam usia yang terlalu muda, serta mengalami penurunan performa dalam usia yang terlalu muda pula. Ia menjadi andalan di Liverpool sejak usia 18 tahun, bermain di Piala Dunia 1998 di musim penuh pertamanya, dan nahasnya, pensiun di Stoke City saat usianya masih 34 tahun. Baru-baru ini, ia mengungkapkan tak sabar mengakhiri karier sejak cedera parah tujuh musim sebelumnya.
Adalah pada laga melawan Argentina di Piala Dunia 1998 yang membuatnya jadi pahlawan nasional. Dalam laga 16 besar tersebut, Owen bermain sebagai starter, dua laga setelah menjadi pencetak gol termuda Inggris di Piala Dunia. Saat itu, ia menghadapi Roberto Ayala, salah satu bek terbaik dunia saat itu. Nyatanya, jiwa muda Owen membuatnya tak takut melakukan solo run, meliak-liuk melewati dua lapis pertahanan Argentina, lantas menghajar bola melewati Carlos Roa.
Masa itu, pada 1998, Owen adalah dewa bagi Liverpool dan timnas Inggris. Cukup beri dia bola dalam situasi satu lawan satu, dia akan mencari cara bagaimana menaklukan kiper lawan. Di antara banyak bocah yang kesulitan beradaptasi dengan sepak bola level elite, Owen malah sangat mudah berakselerasi ke level tertinggi.
Ia sudah mencetak gol dalam debutnya sebagai pemain pro di laga terakhir musim 1996/97. Diturunkan pelatih Roy Evans saat melawan Wimbledon, ia langsung mencetak gol setelah menerima umpan dari Stig Inger Bjornebeye.
Musim penuh pertama Owen di Liverpool adalah pada 1997/98. Ia mengambil alih posisi striker utama dari Robbie Fowler yang rentan cedera. Bahkan dalam usia 17 tahun, ia sudah mampu mencetak 23 gol dalam 44 penampilan di sepanjang musim. Di liga, ia bertengger sebagai top scorer dengan 18 gol bersama Dion Dublin dan Chris Sutton.
Di musim berikutnya, Owen semakin menjadi-jadi. Ia mencetak gol dan menyumbang assist di laga pertama melawan Southampton, lantas mencetak hattrick di kandang Newcastle di laga ketiga. Berkat kecepatannya, penjagaan seketat apa pun tak akan membuatnya berhenti berlari. Meski mempertahankan gelar sepatu emas Premier League, ia mengalami cedera hamstring pada bulan April.
Cedera tersebut menjalar hingga musim berikutnya, menyebabkannya absen selama lima bulan. Yang lebih parah, hamstringnya cedera lagi pada Januari. Ia jadi terancam absen di Euro 2000. Berkat tangan dingin dokter Jerman, Hans-Wilhelm Muller-Wohlfahrt, ia sembuh tepat waktu. Sayangnya, akibat musim penuh cedera Owen, Liverpool gagal mengamankan tempat di Liga Champions.
Mesin Owen kembali panas pada musimm 2000/01. Ia total mencetak 28 gol dalam musim treble bersama Gerard Houllier. Selain mencaplok Piala Liga, Piala FA, dan Piala UEFA (kini Liga Europa), ia juga menyabet penghargaan pemain terbaik Eropa. Sejak saat itu, harapan bahwa ia akan pindah ke klub besar Eropa semakin menguat.
Pada awalnya, Owen yang nyaman di Liverpool menolak pindah ke mana pun demi memburu titel Premier League bersama The Reds. Namun, pemecatan Gerard Houlier, pelatih yang selama ini mengasuhnya, ia akhirnya hijrah. Ia ditebus Real Madrid-nya Florentino Perez dengan harga 8 juta pounds pada Agustus 2004.
Kariernya di ibukota Spanyol tak bisa dibilang berhasil. Meski mencetak 18 gol, ia tetap tak sanggup melampaui sinar megabintang Madrid lainnya, seperti Zidane, Figo, Ronaldo, atau bahkan rekan senegara David Beckham. Di masa senggangnya, ia tak sanggup berbaur dengan kehidupan Madrid. Ia bahkan sering kedapatan membeli koran berbahasa Inggris di bandara Madrid.
Pada akhirnya, ia langsung pulang ke Inggris setahun kemudian. Kali ini ke Newcastle. Di film Goal, kepindahan ini digambarkan sebagai pertukaran dengan winger Meksiko Santiago Munez.
Mulai sejak titik ini, karier Owen menurun. Ia cedera di Piala Dunia 2006 dan harus absen setahun. Ia mengakui, cedera tersebut merupakan penyebab dari semua cedera yang ia derita di sisa karier, yang membuatnya merasa “tak sabar pensiun”.
Di akhir kariernya, ia lebih diingat sebagai striker pelapis yang sering cedera, baik saat memperkuat Manchester United maupun Stoke City.
Pasca pensiun pada 2013, Owen tak melatih klub mana pun, dan belakangan terkenal berkat pernyataan konyolnya sebagai pandit, “Siapa pun tim yang mencetak gol lebih banyak, tim itu yang akan menang.”