“Ada beberapa saat dalam hidup ketika kita harus tahu kapan saatnya berhenti. Aku mengundurkan diri demi kebaikan tim. Demi klub. Jika aku tinggal, aku pikir akan sangat sulit menciptakan tim untuk memburu kemenangan.”
Kalimat tersebut dilontarkan Zinedine Zidane saat mengundurkan diri dari posisinya sebagai pelatih Real Madrid musim panas lalu. Di hadapan Florentino Perez yang pura-pura tegar, Zidane memilih meninggalkan kapal yang telah ia bawa berlayar ke tanah yang dijanjikan: Liga Champions tiga kali beruntun.
Pengganti langsung Zidane, Julen Lopetegui, dipecat hanya empat bulan sejak menukangi Madrid. Ada yang menyebut nasib Lopetegui merupakan karma karena sebelumnya ia mencampakkan timnas Spanyol. Tapi yang jelas, ia memang gagal mengangkat performa Los Blancos. Ia bahkan dipecat tepat setelah dipermalukan Barcelona di Camp Nou.
Pengganti Lopetegui, Santiago Solari, diperkirakan bertahan hingga akhir musim. Tapi di tangannya, Madrid telah tersingkir dari Copa del Rey, lagi-lagi dari Barcelona, serta telah terhempas dari Liga Champions dari Ajax. Di tangan Solari pula Madrid tak pernah mendekati puncak klasemen La Liga.
Banyak yang menyebut pelatih pengganti Zidane tak mampu menangani tim sekelas Madrid. Tapi jika ditelaah, bahkan Zidane pun mungkin akan kehilangan sentuhan jika menangani skuad Madrid musim ini. Pernyataan ini bukan tanpa dukungan.
Fabio Capello, eks pelatih Madrid, berujar bahwa Zidane melakukan langkah yang tepat dengan mengundurkan diri. Berdasarkan pengalamannya sendiri saat melatih di Santiago Bernabeu, Capello yakin Zidane akan dipecat kapan pun tim tampil buruk. “Zidane akan dipecat Florentino Perez jika ia tidak juara Liga Champions lagi. Aku sendiri dipecat setelah memenangi La Liga,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan eks pemain timnas Belanda Ruud Gullit. Ia menyebut Zidane sangat cerdik dengan meninggalkan Madrid beberapa hari setelah pihak klub melepas Cristiano Ronaldo. Menurutnya, siapa pun pelatihnya, Madrid akan kesulitan karena baru saja ditinggal Ronaldo. “Anda tidak punya Ronaldo. Anda tidak punya striker penjamin 50 gol lagi,” tuturnya.
Roda kehidupan memang terasa sudah terlalu lama menaruh Madrid di posisi atas. Setelah meraih empat gelar Liga Champions dalam lima musim, putaran nasib amat mungkin membuat Madrid berada di posisi bawah pada musim ini, siapa pun pelatihnya.
Zidane menyadari betul potensi degradasi performa karena ia sendiri yang menangani para pemain dalam skuad. Para pilihan utama Zidane kebanyakan sudah berkepala tiga. Sebut saja Keylor Navas Sergio Ramos, Luka Modric, Marcelo, maupun Cristiano Ronaldo. Di La Liga musim lalu, Zidane sudah merasakan kemerosotan tersebut saat kalah dari Real Betis, Villareal, dan Levante di menit-menit terakhir.
Selain itu, rasa lapar dalam diri pemain juga amat mungkin telah berkurang. Bagi pemain senior yang telah bergelimang trofi, pasti akan ada fase dalam akhir karierny di mana ia ingin bersantai. Itu lah yang mungkin menghinggapi beberapa penggawa senior Madrid, yang coba ditanggulangi Solari dengan menyisipkan sejumlah pemain muda.
Zidane barangkali juga mempelajari nasib Pep Guardiola. Ia sempat minta izin mengamati metode kepelatihan Pep saat di Bayern Munich. Di sana, ia tidak cuma mencatat, melainkan juga intens berdikusi. Ia menonton dan menyerap ilmu.
Melalui Guardiola, Zidane tahu bahwa meskipun seorang pelatih amat dipercaya pemainnya, akan tiba suatu saat ketika para pemain berhenti berusaha. Meski pelatih telah menekankan agar tetap menjaga determinasi, akan tiba saat para pemain mulai tak berkonsentrasi dan mengurangi intensitas berlatih mereka. Guardiola mengalami hal ini pada musim 2011/12. Ia tinggal setahun lebih lama daripada yang seharusnya.
Jadi, meskipun Zidane tetap menjadi pelatih Madrid, akan ada banyak situasi ketika para pemain berlari dalam kehampaan. Terlihat mengejar bola, tapi sebenarnya tak punya ambisi. Terlihat bugar, tapi sebenarnya tak punya gairah yang sama.
Zidane meninggalkan Madrid tepat pada waktunya.