Real Madrid sedang berada di fase kelam. Setelah tiga tahun bergelimang trofi bersama Zinedine Zidane, mereka sedang menjalani masa kering hasil.
Pelatih yang membawa Madrid tiga kali juara Liga Champions mengundurkan diri. Penggantinya dipecat hanya empat bulan setelah menjabat. Penggantinya lagi menanggung beban terlalu berat bagi pelatih yang pertama kali menukangi tim senior.
Lima belas tahun lalu, Florentino Perez sedang menjalani periode pertamanya sebagai presiden Real Madrid. Mereka kalah lima kali beruntun di akhir musim. Meski dilabeli sebagai Los Galacticos, faktanya Perez pada musim itu, 2003/2004, ia tak membeli siapa pun. Galacticos terakhir yang ia beli adalah Ronaldo asli, yang didatangkan pada 2003.
Sekarang lihat pembelian Real Madrid dalam beberapa musim terakhir. Pemain yang benar-benar sudah jadi saat dibeli mungkin cuma Thibaut Courtois. Rekrutan lain lebih banyak berstatus pemain muda, seperti Lucas Vazquez, Dani Ceballos, hingga yang terbaru Brahim Diaz.
Lalu apa yang terjadi? Para pemain senior bekerja lebih keras daripada yang seharusnya, sementara para pemain muda terlalu cepat menerima estafet permainan. Para pemain senior barangkali sudah tidak merasa lapar kemenangan, dan para pemain muda belum terbiasa dengan tekanan harus menang tiap pertandingan.
Pada musim ini saja, per 8 Januari, mereka sudah kalah delapan kali di liga. Musim lalu, mereka cuma kalah enam kali. Musim sebelumnya, saat jadi juara liga, mereka cuma kalah tiga kali. Luka Modric sudah menyebutkan bahwa penyebab performa mereka menurun bukan karena cederanya pemain utama, bukan pula karena VAR.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di tubuh Madrid sehingga mereka menelan kekalahan lebih sering?
Paling tidak ada tiga hal yang bisa diajukan sebagai alasan.
Alasan pertama tentu saja kepergian Cristiano Ronaldo. Top scorer sepanjang masa klub tersebut merupakan robot yang menggerakkan mesin penyerangan Madrid. Mereka kehilangan seorang pemain yang rutin mencetak 50 gol per musim.
Apalagi, Gareth Bale dan Karim Benzema yang kini berperan sebagai ujung tombak utama gagal menyandang perannya dengan sempurna. Jadilah rata-rata gol per laga Madrid menurun drastis. Bek Sergio Ramos bahkan jadi top scorer kedua tim musim ini.
Alasan kedua bisa dilihat dari renggangnya hubungan Santiago Solari dan Isco. Di luar Raphael Varane, Isco adalah pemain termuda dalam tubuh skuad utama asuhan Zidane. Ia juga jadi pemain terbaik dalam tubuh skuad Spanyol yang busuk di Piala Dunia 2018.
Bersama Solari, Isco belum pernah menjalani laga sejak sepak mula. Isco bahkan menolak menyalami Solari saat Madrid ditekuk Eibar 3-0 pada November. Masa depan Isco rasanya berada dalam persimpangan. Solari kah yang dipecat, atau Isco yang mencari klub baru.
Alasan ketiga bisa ditelisik dari usia para pemain utama. Para andalan semasa era Zidane sudah menua. Luca Modric sudah berusia 33 tahun. Karim Benzema 31 tahun. Sergio Ramos 32 tahun. Marcelo 30 tahun. Ada pun Toni Kroos dan Gareth Bale tinggal menghitung bulan menuju 30 tahun.
Madrid sudah tercatat sebagai pemilik rataan starter tertua di Liga Spanyol dalam usia 28 tahun 10 hari. Usaha untuk meremajakan skuad sudah dilakukan dengan mendatangkan Courtois, 26 tahun, menggantikan Keylor Navas, 32 tahun. Solari juga sudah mengorbitkan sejumlah pemain muda, baik dari akademi seperti Javi Sanchez, atau hasil pembelian seperti Vinicius Junior.
Apakah posisi Solari aman? Hasil bisa saja terus memburuk, tapi memecat Solari akan terlihat sangat buruk bagi Madrid. Paling tidak, ia akan bertahan hingga akhir musim. Apalagi ia baru saja membawa pulang trofi Piala Dunia Klub.
Yang jelas, bila Florentino Perez ingin membangun Los Galacticos, ia harus sudi menggelontorkan uang banyak lagi. Pemain kelas dunia datang, dilengkapi dengan pelatih mumpuni pula …