Memang geram melihat penampilan Romelu Lukaku musim lalu di Chelsea. Lukaku tak ubahnya sebagai guci yang dibeli mahal tapi hanya untuk pajangan saja. Torehan 8 gol di Premier League musim 2021-22 tidak sepadan dengan biaya pemulangannya yang mencapai 97,5 juta poundsterling (sekitar Rp1,7 triliun).
Harusnya Lukaku memiliki gol lebih banyak dari itu. Semestinya Lukaku tidak hanya menjadi seperti batang kayu yang cuma bisa berlari di lini depan Chelsea. Atau bahkan seharusnya Chelsea tidak perlu gegabah mendatangkan Lukaku dengan ongkos yang kelewat mahal.
Sekarang The Blues harus merasakan akibatnya. Tidak ada jaminan pemain yang datang bisa menjadi bagus, tak terkecuali Lukaku. Pria kelahiran Antwerpen itu memang tampil dahsyat di Inter dengan torehan 64 gol dalam dua musim. Ia juga membantu Inter meraih scudetto untuk pertama kalinya sejak sedekade terakhir.
Namun, mantranya itu sirna ketika kembali ke Chelsea. Bisa dikatakan Lukaku telah gagal lagi di Chelsea. Dulu ia dibuang, sekarang ia kembali dibuang ke Inter. Sungguh nasib yang malang. Tapi di sisi lain, Lukaku masih beruntung sebab Inter masih sudi menampungnya.
Penampilan buruk Lukaku di Chelsea tentu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana mungkin striker yang begitu sangar saat berseragam Inter, malah menjadi striker mental piyik ketika berseragam The Blues?
Daftar Isi
Perbedaan Peran
Ketika kembali ke Chelsea, Lukaku memegang peran yang berbeda dari apa yang sudah ia lakukan ketika di Inter Milan. Alasan inilah yang boleh jadi membuat Lukaku tidak bisa tampil maksimal. Di Inter, Conte yang terbiasa dengan formasi 3-5-2 menempatkan Lukaku di sektor depan, menjalin hubungan dengan Lautaro Martinez.
Selama di Inter, Lukaku mendapat dukungan dari Lautaro Martinez. Gaya mainnya pun tidak hanya mencari ruang, tapi oleh Conte, Lukaku diubah sebagai sosok striker yang bergerak secara mobile. Hal itu berbeda ketika ia kembali di Chelsea.
Thomas Tuchel memang memiliki skema permainan yang tak jauh berbeda dari Antonio Conte, dalam artian sama-sama menggunakan pakem tiga bek. Namun, perbedaan yang mendasar adalah dalam skema menyerang.
Tuchel memaksa Lukaku untuk menjadi seorang target man. Peran yang sejatinya sudah ditinggalkan oleh Lukaku. Dengan peran itu, tugas Lukaku adalah menguasai bola dengan membelakangi gawang. Memastikan bahwa ia bisa mengirimkan umpan ke dua orang pelari di sisinya.
Chelsea and Belgium star Romelu Lukaku insists he has never been a conventional ‘target man’ or ‘goal poacher’ and ‘hates’ misconceptions over his playing style. Lukaku hit the ground running after rejoining the Blues in a club-record £97.5million move from Inter Milan. pic.twitter.com/adMorr7yuI
— Frank Khalid (@FrankKhalidUK) October 5, 2021
Lantas ia bergerak di ruang kosong untuk menerima lebih banyak umpan dari pemain sayap. Itu terkesan sangat cocok dengan postur tubuh seorang Lukaku. Hanya saja, Lukaku sendiri mengakui kalau peran itu tidak ia sukai.
“Saya tidak pernah bermain seperti itu, dan saya membencinya. Kekuatan terbesar saya ketika menghadapi gawang, saat itulah saya tidak pernah salah membuat pilihan,” kata Lukaku dikutip Sky Sports.
Catatan Buruk
Perubahan peran Lukaku di tangan pelatih berpaspor Jerman itu membuatnya mendapatkan rapor merah. Segala statistiknya bersama Chelsea musim 2021-22 tak ada yang baik sama sekali. Apalagi jika dibandingkan dengan rapornya ketika membela Inter di musim sebelumnya.
Rata-rata tembakan yang dihasilkan Lukaku ketika di Chelsea, misalnya, hanya 2,3 tembakan. Sementara ketika di Inter, rata-rata shoot Lukaku mencapai 3,0. Selama di Chelsea sentuhan Lukaku juga menurun.
Data yang dihimpun oleh Sky Sports, menunjukkan rata-rata sentuhan Lukaku per pertandingan di Chelsea hanya 31,6 sentuhan, padahal ketika di Inter rata-rata sentuhan Lukaku bisa mencapai 39,8. Karena sentuhannya juga menurun, kualitas umpannya pun ikutan melorot.
Romelu Lukaku had just seven touches for Chelsea today despite playing the entire game 😔 pic.twitter.com/5sZihGJ8mx
— GOAL News (@GoalNews) February 19, 2022
Masih dalam data Sky Sports, rata-rata umpan Lukaku per pertandingan di Chelsea hanya 18, sedangkan ketika di Inter bisa mencapai 22,9. Catatan-catatan tadi juga pada akhirnya berpengaruh pada nilai expected goal Lukaku.
Menurut FBRef, nilai expected goal (xG) Lukaku di Chelsea hanya 6,8, sedangkan ketika berada di Inter nilainya mencapai 22,7. Dengan begitu, maka wajar kalau Lukaku hanya bisa mencetak 8 gol di Premier League musim 2021-22.
Serba Salah
Nyatanya, keberadaan Lukaku di Chelsea sendiri serba salah. Perannya yang berubah di tangan Tuchel itulah yang bikin Lukaku seperti sebatang kayu. Pergerakannya di lini depan acap kali tidak tepat. Misalnya, ketika Chelsea menghadapi Crystal Palace.
Lukaku yang bermaksud bergerak ke belakang mendekati bek untuk menjemput bola, malah tidak mendapatkan bola. Sebab ketika Rudiger mulai bergerak, Lukaku justru berlari menjauh, membuat Rudiger kehilangan opsi umpan progresif. Alih-alih mengisi ruang yang memungkinkan untuk diberi umpan, Lukaku justru bergerak sebaliknya.
Itu bukan sekali saja terjadi. Karena Lukaku sering kali bergerak di posisi yang tidak tepat. Lukaku juga jarang bergerak atau berlari untuk mendapat umpan. Yang konyol, ia juga sering berada di antara para bek lawan, yang tentu saja menyulitkan rekan-rekannya memberi umpan.
Maka dari itu, tidak heran jika rekan-rekannya di Chelsea justru memilih tidak memberi umpan kepada Lukaku. Pergerakannya pun mandek dan ia tidak bisa mencetak gol. Karena itu bahkan Lukaku kalah bersaing dengan pemain lainnya, seperti Kai Havertz.
Havertz di skuad Thomas Tuchel berkembang sangat cepat. Ia menjelma seorang metronom yang bisa mengobrak-abrik pertahanan lawan. Havertz kadang juga bukan hanya menjadi pelayan, tapi ia juga menjadi sosok yang dilayani rekan-rekannya. Sementara, Lukaku kehilangan servis dan chemistry dengan rekan-rekannya di Chelsea.
Faktor Cedera
Tatkala pertama kali kembali ke London, sebetulnya Lukaku tampil luar biasa. Tiga gol ia cetak di empat pertandingan pertama The Blues. Hanya saja, apes tak bisa ia hindari. Lukaku mengalami cedera cukup parah ketika Chelsea menghadapi Malmo di Liga Champions musim 2021-22.
Romelu Lukaku and Timo Werner both went off injured in the first half of Chelsea’s #UCL game with Malmo 🤕 pic.twitter.com/U08AjHx1OB
— GOAL News (@GoalNews) October 20, 2021
Lukaku absen empat pekan. Ketika kembali, striker itu turun dari bangku cadangan untuk memulihkan kebugarannya. Namun apesnya, baru empat pertandingan Lukaku justru terkena Covid-19. Lukaku harus menepi lagi untuk beberapa pekan.
Striker Belgia itu kembali ketika Chelsea menghadapi Brighton dan Aston Villa. Akan tetapi, semua sudah terlambat. Lukaku gagal menemukan sentuhannya, dan tampil sebagaimana kita saksikan. Kehadiran kembali Lukaku tidak mempengaruhi apa pun.
Tidak Bahagia di London dan Tidak Pede
Penampilan buruk Lukaku di Chelsea barangkali terpengaruh lantaran dirinya tidak bahagia di London. Melalui wawancara tidak resmi bersama Sky Sports Italia, Lukaku berterus terang masih ingin bermain di Inter. Ia tidak menemukan kebahagiaan ketika di Chelsea.
Lukaku juga menemukan dirinya tidak dalam kepercayaan diri yang penuh. Ada banyak momen ketika bermain di Chelsea, Lukaku teringat dulu saat ia bermain di Old Trafford. Kadang-kadang di Chelsea pemain seperti Mason Mount, Pulisic, dan Hakim Ziyech bekerja keras untuk memburu bola.
Sementara Lukaku di Chelsea seperti kehilangan nalurinya sebagai seorang striker. Ia jarang berlari ke arah bola. Lukaku juga sepertinya sulit sekali untuk mencari ruang yang diperlukan untuk merusak pertahanan lawan.
Sepakbola adalah perihal momentum, dan striker memegang kunci untuk memanfaatkan momentum itu dengan kepercayaan dirinya. Akan tetapi, Lukaku, si striker berharga mahal tidak memiliki kepercayaan diri semacam itu ketika berseragam The Blues.
https://youtu.be/5iRKr3S8X4o
Sumber: FourFourTwo, TheTopFlight, SkySports, SbNation, ThePrideOfLondon