Enzo Maresca menjadi pelatih asal Italia kesekian yang meraih prestasi bergengsi bersama Chelsea. London Biru diketahui memang akrab dengan trofi ketika dibesut oleh signore dari Negeri Pizza. Sebelumnya sudah ada Carlo Ancelotti, Roberto Di Matteo, hingga Antonio Conte yang meninggalkan kegemilangan di Chelsea. Dan Maresca kini sah mengikuti jejak pendahulunya dari Italia yang mempersembahkan juara bagi Chelsea.
Pertanyaannya, bagaimana bisa Chelsea selalu memanen kejayaan bersama tangan dingin pelatih berbendera Italia? Apa sebenarnya faktor yang membuat Chelsea punya ikatan yang spesial dengan orang Italia di balik kemudi skuadnya?
Daftar Isi
Pandai Berurusan dengan Pemain Bintang
Sebelum Enzo Maresca, sepanjang sejarahnya sudah ada enam pelatih asal Italia yang datang ke London Barat untuk menukangi Chelsea. Mulai dari Gianluca Vialli pada 1998-2000 hingga Maurizio Sarri yang terkenal dengan cerutunya pada 2018/19. Dari keenamnya, hampir semuanya memiliki faktor yang pertamanya ini, yaitu pandai berurusan dengan pemain bintang dan cepat beradaptasi dengan mereka.
Namun, mimin menjadikan Carlo Ancelotti sebagai percontohan pelatih Italia di Chelsea yang paling menonjol dalam faktor ini. Datang ke Liga Inggris pada musim 2009/10 dengan catatan gemilang bersama AC Milan, termasuk dua trofi Liga Champions, Don Carlo sudah tak perlu diragukan lagi untuk urusan membina pemain kelas atas.
Selama delapan musim di San Siro, Ancelotti selalu berhasil membina pemain berlabel bintang lapangan. Dari Andriy Shevchenko, Andrea Pirlo, Clarence Seedorf, hingga Ronaldo Nazario pernah dipoles dengan cemerlang oleh tangan pria 65 tahun. Tak ayal, prestasi terus berdatangan.
Keahlian macam itu juga yang diperlihatkan Ancelotti saat duduk di kursi kepelatihan Chelsea. Sejak tiba di Cobham, Ancelotti diamanahkan oleh Roman Abramovich untuk merapikan Chelsea yang amat berantakan di musim 2008/09 sampai-sampai tiga kali ganti pelatih.
Real Madrid manager Carlo Ancelotti on Chelsea’s slump in form: “I am sad, yes. I have a fantastic memory of this club, of the people that are still working there. I’m a supporter of Chelsea, of course, because I spent 2 really nice years there.” (AFP) pic.twitter.com/gOm4cUN1Pw
— ChelsTransfer (@ChelsTransfer) April 11, 2023
Ancelotti diserahkan skuad yang secara nama adalah bintang Chelsea dan pujaan para fans, seperti Petr Cech, Ashley Cole, John Terry, Frank Lampard, sampai Didier Drogba. Mungkin di dalam hatinya, Ancelotti berkata, “Kalau Shevchenko saja bisa kubuat mengerikan, apalagi cuma Drogba sepele itu mah.”
Benar saja, kendati baru mencoba peruntungan membesut tim Inggris, Ancelotti sudah menunjukkan tanda-tanda kesuksesan di awal musim. Gelar Community Shield berhasil didapatkan usai menang adu penalti atas Manchester United.
Piala itu seolah menjadi pemantik bagi Don Carlo untuk mendulang lebih banyak juara. Buktinya, Chelsea sanggup menutup musim dengan menggenggam Premier League dan FA Cup. Menjadikan Ancelotti pelatih Italia pertama yang menjuarai Liga Inggris bagi Chelsea.
Terbiasa Atas Tekanan Bos dan Ketidakstabilan Tim
Faktor kedua adalah pelatih Italia terbiasa dengan ketidakstabilan tim yang ditinggal pelatih sebelumnya, plus tahan banting terhadap tekanan dari pemilik yang menginginkan hasil sesegera mungkin. Tampak terlihat sebagai masalah yang rumit dan tumpang tindih, tapi siapa sangka kalau itu bisa diatasi oleh pelatih Italia di Chelsea.
Contohnya terjadi pada Roberto Di Matteo yang sekonyong-konyong dipilih menggantikan Andre Villas-Boas yang didepak di tengah musim 2011/12. Awalnya, bertebaran anggapan skeptis pada pria botak kinclong ini saat diplot sebagai caretaker.
Sudah dihadapkan dengan kondisi tim yang tidak stabil secara mental meski dihuni pemain ternama, eks manajer West Brom juga ditekan oleh Abramovich yang memintanya agar menyelamatkan muka The Pensioners.
In 2012, Roberto Di Matteo was the manager of Chelsea when they won their first ever UEFA Champions League trophy.
That same season, he also won the FA Cup.
Happy birthday to him. 🇮🇹👏 pic.twitter.com/JmUflwOP3z
— EuroFoot (@eurofootcom) May 29, 2025
Namun, siapa yang mengira kalau Di Matteo sanggup menghidupkan kembali semangat di dalam tim dan memimpin mereka dalam perjalanan yang tak terlupakan sepanjang sejarah. Di Matteo dengan mahir mengemudikan Chelsea melewati rintangan yang tersisa di musim 2011/12.
Final FA Cup 2012 melawan Liverpool jadi pembuktian pertama Di Matteo untuk menjawab tantangan bos dari Rusia. Wembley pun bersahabat dengan tim ibukota setelah menang 2-1 atas tim kota pelabuhan. Satu tantangan berhasil, tersisa satu lagi yang levelnya lebih sulit, yakni final Liga Champions menghadapi Bayern Munchen.
Sekalipun menghadapi Munchen di kandang mereka sendiri, Chelsea muncul sebagai pemenang dan merebut gelar Liga Champions pertama mereka dalam pertandingan yang dramatis. Kecerdasan taktis Di Matteo dan kemampuan untuk memompa semangat para pemainnya memainkan peran penting dalam kemenangan bersejarah ini.
Inovasi Taktik Yang Bernas
Faktor ketiga adalah pelatih Italia di Chelsea punya inovasi taktik yang bernas. Sosok Italiano yang identik dengan faktor ini adalah Antonio Conte. Kedatangan Conte musim 2016/17 menandai dimulainya era baru dominasi Chelsea di Inggris. Dengan menggunakan formasi khasnya yaitu 3-4-3, Conte membimbing Chelsea meraih gelar Premier League di musim debutnya.
Pada awal musim, Conte sejatinya sempat mengalami masa sulit dengan formasi 4-2-3-1 dan 4-3-3 yang membuatnya sempat dikabarkan akan memutuskan kontrak lebih awal. Namun setelah beralih menggunakan formasi 3-4-3, Chelsea bermain sangat solid sehingga mendominasi sampai akhir musim, termasuk capaian kemenangan sepanjang 13 laga beruntun yang mengagumkan.
🚨 Antonio Conte, offered himself to Chelsea a few days ago, using an intermediary who has an excellent relationship with Chelsea.
{Calciomercato via Sport Witness} pic.twitter.com/jrTjJLmplf
— Vince™ (@Blue_Footy) May 1, 2024
Hal yang mampu membuat Conte dikenang sebagai visioner yang mahir bagi Chelsea adalah keberaniannya untuk break the limit di musim perdananya di Inggris. Conte melakukan perubahan cukup drastis dalam timnya dengan memilih strategi tiga bek. Skema yang saat itu tidak lazim digunakan pelatih tim-tim di Premier League.
Eksperimen eks manajer Juventus itu sukses membingungkan lawan-lawan Chelsea. Pola 3-4-3 yang diterapkan Conte memang terbukti ampuh membuat Chelsea tampil kuat di segala lini. Formasi tersebut juga cukup fleksibel di mana saat menyerang, pola Chelsea bisa berubah jadi 3-2-5, sedangkan saat bertahan menjadi 5-2-3.
Pemberi Pondasi Untuk Pemain Muda
Faktor keempat adalah pelatih Italia gemar memberikan kesempatan yang reguler kepada pemain muda Chelsea untuk bermain bersama tim utama. Ini menjadi cara untuk menancapkan pondasi yang kuat bagi karir dan masa depan pemain muda. Figur Italia yang dikenal sebagai pembuka pintu kesempatan main yang lebar bagi pemain muda adalah Claudio Ranieri.
Sekalipun tak seperti manajer Italia lainnya yang mempersembahkan trofi, Ranieri yang memimpin dari musim 2000/01 sampai 2003/04 berjasa meletakkan dasar untuk kesuksesan karir di masa depan dengan membina bakat-bakat muda yang ada dalam skuad The Blues.
Claudio Ranieri – Chelsea (2000) pic.twitter.com/cAIlwSkdJb
— actual managers (@actualmanagers) April 30, 2025
Sejumlah pemain yang diorbitkan Ranieri saat masih belia hingga tumbuh menjadi ikon legendaris Chelsea adalah John Terry, Frank Lampard, dan William Gallas. Ranieri menemukan bakat ketiganya saat masih di rentang usia 20-25 tahun. Boleh jadi tanpa campur tangan Ranieri, mungkin ketiga tak bisa dikenal fans sebagai kebanggaan Chelsea.
Bagaimana Dengan Enzo Maresca?
Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan Enzo Maresca yang melanjutkan trah pelatih Italia di Chelsea? Apakah doi memenuhi keempat faktor tersebut? Sejauh ini, mantan asisten Pep Guardiola itu sudah terlihat memiliki dua dari empat faktor tersebut, yaitu tanggap dalam mengabulkan permintaan bos Chelsea yang menginginkan hasil secepatnya dan memberikan pondasi untuk pemain muda.
Ditunjuk dari Leicester City awal musim ini, Maresca dibebani ekspektasi tinggi dari Toed Boehly yang menginginkan agar Chelsea tak lagi berjalan sempoyongan seperti di era sebelumnya. Sudah pasti karena Boehly tak mau rugi lagi setelah membelanjakan jutaan pounds uangnya di bursa transfer, tapi hasilnya zonk.
El #Chelsea ha tenido 7 entrenadores italianos en toda su historia: SEIS ganaron algún titulo con el club ‘blue’:
Gianluca Vialli ✔️
Claudio Ranieri ❌
Carlo Ancelotti ✔️
Roberto Di Matteo ✔️
Antonio Conte ✔️
Maurizio Sarri ✔️
ENZO MARESCA ✔️#ConferenceLeague pic.twitter.com/4I84tNTYF3— Andy Calcio 🇮🇹 (@Andy_Calcio) May 28, 2025
Maresca pun seolah dirasuki oleh jiwa Roberto Di Matteo yang bisa sat-set memimpin Chelsea ke titik yang lebih baik dari sebelumnya. Sama halnya dengan Di Matteo yang saat menukangi Chelsea belum teruji mengemudikan tim besar, Maresca mampu menjawab keinginan bos untuk mempersembahkan hasil yang cepat. Trofi Conference League jadi bukti nyata.
Selain itu, Maresca juga tak gentar menggunakan skuad yang dihuni oleh pemain-pemain muda yang berbakat. Seperti Ranieri, Maresca mempercayakan sejumlah pemuda seperti Kiernan Dewsbury-Hall, Marc Guiu, Levi Colwill, hingga Cole Palmer sebagai tulang punggung tim. Nama-nama yang di masa depan berpeluang menjadi legenda Chelsea.
Kalau menurut football lovers, akankah Enzo Maresca bisa melebihi para pendahulunya sebagai pelatih Italia tersukses di Chelsea?
nss-sports.com, bleacherreport.com, readchelsea.com, pulsesports.co.ke