Jika biasanya yang open recruitment adalah sebuah PT atau perusahaan BUMN, maka kali ini yang membuka lowongan adalah federasi sepakbola. Melalui laman resminya, Federasi Sepakbola Singapura baru saja mengumumkan sebuah lowongan. Namun, menariknya itu bukan lowongan kerja sebagai staff, melainkan slot untuk berkompetisi di Liga Singapura.
Ya, FAS mengundang klub-klub yang berminat untuk bergabung mensukseskan Liga Premier Singapura. Tujuannya, untuk penambahan kontestan dan peningkatan mutu kompetisi di musim 2025/26. Tawaran ini pun terbuka untuk umum, baik klub lokal Singapura atau luar negeri. Jika demikian, klub-klub macam Persikomet Kota Metro bisa saja ikut meramaikan.
Namun, yang jadi pertanyaan adalah, kenapa FAS sampai repot-repot buka lowongan? Ternyata, sepakbola Singapura memang tak semenarik itu. Banyak klub yang menolak untuk berlaga di Liga Premier Singapura. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi?
Daftar Isi
Kondisi Saat Ini
Sebelum berbicara mengapa Liga Premier Singapura sepi peminat, kita akan memberikan pemahaman terlebih dahulu tentang bagaimana kondisi Liga sepakbola Singapura saat ini. Sejak tahun 2016, kontestan Liga Premier Singapura tidak pernah lebih dari sepuluh tim. Kadang sembilan, kadang delapan.
Formatnya pun berubah-ubah. Tidak memiliki pakem yang jelas. Terkadang berbentuk kompetisi penuh, seperti Liga Inggris, tapi pernah juga memberlakukan format play off. Setelah musim reguler, akan dilanjut ke babak final untuk mencari yang terbaik. Kayak MLS gitu deh.
Nah, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2024/25, Liga Singapura juga hanya diikuti oleh sembilan klub saja. Dengan begini, kita bisa berkesimpulan bahwa sepinya Liga Singapura bukan masalah baru. Tapi, mengapa sesepi itu? Padahal, Singapura adalah negara maju secara ekonomi dan teknologi.
SPL di Mata Masyarakat Singapura
Masalah yang pertama adalah animo sepakbola di Singapura yang tergolong sangat rendah. Berbeda dengan negara tetangganya, yakni Malaysia dan Indonesia, masyarakat Singapura kurang senang menghabiskan waktu hanya untuk menonton sepakbola lokal. Bahkan, ada kredo menarik yang berkembang di sepakbola Singapura.
Melansir Baz Talks, di Singapura ada kepercayaan bahwa masyarakatnya tidak begitu peduli dengan adanya Liga Premier Singapura. Penduduk negara yang terkenal dengan Patung Merlionnya ini tidak memandang SPL sebagai sebuah hiburan yang worth it. Ketika ditanya mengapa? Jawabannya pun simpel.
Menurut salah satu penikmat sepakbola di Singapura, “Mengapa saya harus menonton SPL ketika ada Liga Premier Inggris atau liga Eropa lainnya?”. Artinya, orang-orang Singapura sebenarnya punya ketertarikan terhadap sepakbola. Tapi, kualitas Liga Singapuranya saja yang jelek. Mereka tidak mau membuang-buang waktu untuk liga lokal.
Selain itu, jadwal pertandingan Liga Singapura juga bersifat random. Pertandingan bisa berlangsung kapan saja antara, Selasa hingga Minggu. Sedangkan jadwal Liga Inggris atau Serie A cenderung tetap.
Di hari kerja, penduduk Singapura pun lebih memilih untuk bekerja ketimbang ke stadion. Jika ingin menonton sepakbola, maka mereka akan menonton pertandingan-pertandingan akbar melalui layanan streaming online yang tersedia di gadget mereka. Lebih efisien karena mereka bisa menonton kapan saja dan di mana saja.
Apresiasi Pemerintah
Setelah ditarik lebih dalam, ada beberapa turunan masalah lagi. Salah satunya datang dari pemerintah Singapura itu sendiri. Menurut beberapa sumber, sepakbola Singapura tidak memperoleh dukungan yang cukup dari pemerintah. Itu karena apresiasi pemerintah Singapura terhadap para atlet memang rendah.
Contoh kasusnya seperti yang dialami oleh legenda renang Singapura, Joseph Schooling. Perenang yang handal dalam gaya kupu-kupu ini kurang mendapatkan dana dari pemerintah, terutama saat melakoni persiapan. Mewakili Singapura di ajang sebesar Olimpiade saja, Joseph tidak menerima tunjangan apa pun dari pemerintah.
Proses persiapan sepenuhnya dibiayai oleh keluarga Joseph. Lantas, bagaimana dengan sepakbola? Gaji para pemain yang rutin bermain untuk Timnas Singapura sangat kecil. Mereka hanya mendapat 5 ribu dolar Singapura per bulan atau Rp60 juta per bulan. Padahal, rata-rata gaji pekerja kantoran di Singapura di angka 6 ribu dolar Singapura atau Rp72 juta.
Terlepas dari bakat, gaji yang rendah membuat pemain mengalami demotivasi. Banyak pemain muda yang tidak lagi termotivasi untuk menjadi pemain sepakbola yang hebat di negaranya sendiri. Itu membuat klub kontestan kesulitan mencari pemain lokal yang berkualitas.
Aturan Ketat
Selain itu ada aturan-aturan ketat yang menyulitkan calon peserta. Meskipun hanya diikuti oleh sedikit kontestan, Liga Singapura tetap dijalankan secara profesional. Tapi, saking profesionalnya, Liga Singapura memiliki aturan yang sangat ketat, bahkan terkesan ribet bagi sebagian klub.
Khusus klub luar negeri yang ingin terlibat, harus memiliki izin dari AFC, FIFA, dan federasi asal klub tersebut. Lebih dari itu klub asing akan terdaftar dan diverifikasi oleh The Registrar of Societies sehingga pemerintah dapat memantau finansial dan pajak klub tersebut. Dengan persyaratan tersebut, banyak klub yang mengurungkan niat untuk berkompetisi di Singapura.
Dalam perekrutan pemain pun cukup dipersulit. Banyak berbenturan dengan sistem dan peraturan yang ketat. Misalnya, dalam upaya pemain untuk mendapatkan surat izin kerja, paspor, dan membayar pajak.
Hal tersebut pernah disampaikan oleh eks bek Singapura, Daniel Bennett. Dilansir Superball, Liga Singapura sudah lebih ketat dalam mengatur pemain-pemainnya. Pemain kelahiran inggris itu merasa bahwa pemain asing semakin sulit untuk mendapat visa, apalagi paspor Singapura. Beda dengan zaman dia dulu.
Pendapatan
Belum lagi, dengan sepinya antusiasme penonton terhadap sepakbola lokal membuat klub ragu untuk terlibat dalam kompetisi. Imbalan finansial untuk berpartisipasi dalam Liga Singapura tidak begitu menguntungkan bagi klub. Klub-klub asing merasa biaya yang dikeluarkan untuk mengisi slot tidak sebanding dengan apa yang didapat.
Seperti yang disampaikan di awal. Masyarakat Singapura lebih banyak yang suka nonton Liga Inggris, ketimbang Liga Singapura. Alhasil, pendapatan hak siar dan tiket nonton tiap klub pun kecil. Data terakhir, rata-rata penonton yang hadir ke stadion hanya 3000 orang dan terus berkurang setiap tahunnya.
Faktor geografis yang berdekatan juga membuat suporter tidak memiliki kedekatan emosional dengan klub di daerahnya masing-masing. Dengan masalah yang sama pula, klub kontestan Liga Singapura jadi kesulitan mencari sponsor. Sekalinya ada, nilainya kecil jika dibandingkan klub di liga-liga lain.
Tingkat Kompetitif
Nah, permasalahan-permasalahan tadi menimbulkan masalah baru, yakni tingkat kompetitifnya. Dengan sedikitnya kontestan, dan minimnya pemain-pemain bintang, Liga Singapura dinilai memiliki level persaingan yang sangat rendah. Bagi sebagian tim yang ingin gabung ke SPL, poin ini cukup penting.
Di Singapura, bahkan cuma ada satu kompetisi. Tidak ada piramida sepakbola layaknya Liga Indonesia yang punya empat kasta. Dilansir Kompas, pertimbangan geografis menjadi alasan kenapa liga sepakbola di Singapura tidak menganut sistem piramida yang di dalamnya ada promosi dan degradasi.
Albirex Niigata dan DPMM Brunei
Namun, apakah dengan segala kekurangan yang ada, Liga Singapura tidak bisa menarik kontestan dari luar negeri? Tidak juga. Buktinya, di musim ini ada dua klub asing yang berkompetisi di Liga Premier League Singapura. Yang pertama adalah Albirex Niigata dari Jepang.
Didirikan pada 2004, klub ini merupakan tim satelit dari klub asal Jepang dengan nama yang sama. Sejak berdiri di Singapura, Albirex Niigata telah banyak berkontribusi memajukan sepak bola Singapura. Bahkan mereka membuat sekolah dance, Cheer Dance School, dan akademi sepakbola.
Sementara yang kedua ada DPMM FC yang berasal dari Brunei Darussalam. DPMM FC yang merupakan kepanjangan dari Duli Pengiran Muda Mahkota Football Club dan merupakan klub milik putra mahkota Brunei, Prince Al-Muhtadee Billah. Klub ini pernah dua kali juara di Liga Singapura.
Sumber: FAS, Channel News Asia, Straits Times, Baz Talks