Masih ingat dengan skuad Ajax yang spektakuler menuju semifinal Liga Champions musim 2018/19? Dengan bermodalkan permainan kolektif yang sebagian besar dihuni talenta muda berhasil mencengangkan publik. Anak buah Erik Ten Hag itu mampu menjadi magnet para klub besar untuk memboyongnya.
Ternyata benar, para talenta muda yang sangat dielu-elukan publik macam De Ligt, De Jong, Ziyech, Van De Beek akhirnya meninggalkan Amsterdam demi tuntutan bisnis transfer. Karir mereka sebenarnya berpotensi cerah karena dibeli oleh klub-klub besar. Namun apa yang terjadi? Hingga kini tak satupun dari mereka yang tampil sesuai harga dan ekspektasi. Tentu banyak faktor yang mempengaruhinya.
Manchester United outcast Donny van de Beek one of Ajax’s cursed Champions League stars who blossomed, with Hakim Ziyech at Chelsea, Frenkie De Jong and Matthijs de Ligt struggling https://t.co/xAHIxmhtHi pic.twitter.com/vDFW0GIlTU
— SPORTS CIRCUS INT. (@SPORTSCIRCUSINT) October 1, 2021
Generasi Emas Ten Hag Yang Dielu-Elukan
Ten Hag yang mengambil alih Ajax di pertengahan musim 2017/18 terbukti berhasil membangun tim dengan talenta-talenta muda berbakat. Buahnya terjadi di musim 2018/19 ketika gelar juara Eredivisie dan KNVB Cup mampu ia segel.
This team gave us a CRAZY Champions League pic.twitter.com/qjIzUZWMDF
— SPORTbible (@sportbible) July 20, 2022
Namun tak sampai di situ, kalau gelar domestik saja belum bisa dijadikan parameter. Di Liga Champions pun mereka buktikan. Mereka berhasil mengejutkan Eropa dengan mengalahkan Madrid dan Juventus di babak 16 dan perempat final dengan cara meyakinkan.
Sontak julukan era emas pun disematkan kepada anak asuh Ten Hag. Meskipun diunggulkan dan hampir mencapai final, namun nyatanya mereka harus takluk secara dramatis di menit akhir oleh Spurs di semifinal.
Kekalahan atas Spurs di semifinal tak membuat era emas Ajax itu berhenti dielu-elukan. Sampai generasi emas itu pun mengikuti jejak para seniornya dengan pergi dari Ajax. Dan memang itu menjadi model bisnis Ajax sejak dulu. Memoles pemain untuk kemudian menjualnya. Akan tetapi, generasi emas itu justru melempem ketika pindah ke klub lain.
Budaya, DNA Ajax, Dan Kualitas Eredivisie
Salah satu yang membuat pemain Ajax bernasib kurang perform ketika hijrah adalah budaya maupun DNA permainan Ajax. “De Godenzonen” adalah sebuah julukan klub yang penuh daya magis yang secara harfiah berarti “anak dewa”.
De Ajax-spelers worden ‘Godenzonen’ genoemd. Post een goddelijke foto van jezelf en RT je favoriet! #samenstraffer pic.twitter.com/8x8bjlXl82
— Play Sports (@playsports) September 29, 2015
Magis julukan “De Godenzonen” sangat mengilhami karakter anak-anak muda akademi Ajax sejak dini. Mereka sangat bangga dengan mengenakan baju warna legendaris klub putih merah dan menikmati fasilitas yang sangat berkelas. Hal ini tak sedikit memberikan rasa kepercayaan lebih bagi para talenta muda Ajax yang terkadang mengarah pada arogansi.
Itulah sebabnya kultur tersebut sering menjadi boomerang bagi talenta-talenta muda alumni Ajax. Mereka sudah kadung nyaman dengan predikatnya di Ajax. Tanpa persaingan dan terus menjadi kebanggaan di negeri sendiri. Nah, setelah keluar merantau mereka sering kali kesusahan beradaptasi dengan kultur persaingan. Persaingan yang ketat, budaya di negara baru membuat para pemuda ini sering kaget dan lambat beradaptasi.
Ditambah lagi dari segi permainan, sistem permainan Ajax sudah punya DNA yang paten. Berakar dari Total Football dengan format 4-3-3 yang terus dijalankan turun temurun. Sistem itu takkan berubah walaupun pelatih dan pemainnya berganti terus. Maka dari itu, tak jarang para pemain yang sudah menimba ilmu di Ajax kaget dengan gaya permainan di klub lain.
Hal lainnya yang berpengaruh juga adalah intensitas liga. Bagaimanapun Eredivisie tak seketat liga-liga lainnya. Di mana klub itu-itu saja yang berkutat dalam persaingan.
Kesempatan, Cedera Dan Waktu
Selain itu, kesempatan, cedera, dan waktu, juga menjadi faktor penghalang generasi emas 2019 Ajax belum memetik kesuksesan ketika di klub barunya. Frankie De Jong misalnya, yang direkrut 75 juta euro oleh Barcelona.
Momen De Jong pergi ke Barca ini ibarat “datang di klub yang tepat, tapi di waktu yang kurang tepat”. Datang saat Barca sedang masa transisi di bawah pelatih Ernesto Valverde, dan Enrique Setien. Yah, meskipun secara permainan, sesuai dengan fungsinya sebenarnya ia tak jelek-jelek amat secara peran.
Di zaman pelatih Ronald Koeman pun sebenarnya secercah harapan muncul ketika ia ditangani langsung oleh sesama Belanda. Namun, meski De Jong bermain sesuai kapasitasnya, ia tak mampu menghindar dari bayang-bayang peran Busquets. Apalagi di zaman Xavi Hernandez.
Peran De Jong makin tenggelam dalam permainan seiring juga berkembangnya wonderkid Gavi dan Pedri. Dia sering ditempatkan di posisi yang tak semestinya, bahkan di pramusim sekarang ini, ia ditempatkan di centre back. Masalah bertambah lagi ketika ternyata gajinya ditunggak Barca dan gaji De Jong terancam terpotong.
❗️ Barça have asked Frenkie de Jong to cut his salary by €4m net, more than a third of what his contract stipulates, to fit into the wage bill. [as] #fcblive 🇳🇱 pic.twitter.com/rJCVhiFZNh
— barcacentre (@barcacentre) July 25, 2022
Faktor cedera juga sempat menghinggapi kiprah Ziyech dan De Ligt di klub barunya. Transfer Ziyech ke Chelsea juga dianggap datang pada waktu yang tak tepat. Ia datang pada masa Chelsea transisi bersama Lampard yang ketika itu terkena embargo transfer. Dengan mahar 40 juta euro, Ziyech digadang-gadang akan cocok di skema Lampard. Dan ternyata tak terbukti.
Apalagi sekarang di bawah Tuchel. Ia sering tidak masuk starter karena penampilannya yang kurang stabil. Ziyech sering kebingungan dengan taktik Tuchel. Artinya Tuchel kurang bisa mengeluarkan kapasitas skill individu terbaik dari Ziyech. Bahkan kabarnya sekarang ia sempat ingin dilego ke klub lain karena kehadiran sosok Sterling di Chelsea.
Chelsea’s £180m transfer solutions as Thomas Tuchel seeks Hakim Ziyech’s replacement 🤑#CFC https://t.co/egFppMMkuZ
— football.london (@Football_LDN) July 18, 2022
Matthijs De Ligt juga sama nasibnya. De Ligt yang dibayar 75 juta euro itu juga datang di masa Juventus sedang mengalami transisi di bawah Sarri. Ia pun di musim pertamanya tak langsung dipercaya.
Karena bagaimanapun kehadirannya masih berada dalam bayang-bayang kesenioran Bonucci dan Chiellini. Kini di klub barunya Munchen, ia pun mengais asa untuk meraih kesuksesan yang belum terwujud.
Lain cerita dengan Van De Beek yang kini katanya penuh harapan setelah ia kembali ke MU bersama pelatihnya dulu, Erik Ten Hag. Namun tak dipungkiri ketika pertama kali datang ke Old Trafford dengan mahar 40 juta euro, Van De Beek sering dicap gagal total. Setelah dicoba di berbagai posisi ia pun sulit berkembang. Membuat akhirnya ia sempat dipinjamkan ke Everton.
❌ De Jong FLOP
❌ De Ligt FLOP
❌ Ziyech FLOP
❌ Van de Beek FLOP😬😬😬
By @carlogarganese https://t.co/Kp3BoxZEkk
— Football Transfers (@Transfersdotcom) June 21, 2022
Selain beberapa faktor tadi, ada persepsi juga jika para pemain generasi emas Ajax 2019 itu kurang lama bermain bersama di Ajax. Bagaimanapun sejak debut di tim senior, pemain macam De Ligt, De Jong, Ziyech, dan Van De Beek hanya bermain bersama selama 3 musim sejak musim 2016/17.
Intinya ketika mereka baru meroket di satu musim, tak cukup dijadikan parameter. Mereka masih butuh 1 sampai 2 tahun lagi minimal untuk lebih matang dengan menimba ilmu lebih banyak lagi di Ajax. Namun harus bagaimana lagi, karena tuntutan bisnis mereka tak bisa menghindar.
https://youtu.be/ocaVhGA6JI8
Sumber Referensi : dailymail, eurosport, mirror, footballtransfer