Premier League selain menjadi liga terpanas di Eropa, juga menjadi liga paling menakutkan bagi para manajer. Gagal memenuhi ekspektasi atau bahkan sampai performa yang melorot, siap-siap saja seorang manajer bakal dipecat dari satu klub. Musim ini saja, klub-klub di Premier League sudah memecat para manajer mereka yang dianggap tak becus membawa klub tampil menawan.
Bahkan, belum juga musim 2021/22 tuntas, sudah ada 8 manajer yang dipecat oleh klubnya masing-masing. Jumlah tersebut bahkan lebih banyak sejak empat musim terakhir Premier League. Sebagai perbandingan, di tiga musim sebelumnya hanya ada 7 manajer yang dipecat.
Mereka yang dipecat di pertengahan musim ini di antaranya Xisco Munoz (Watford), Daniel Farke (Norwich City), dan Dean Smith (Aston Villa). Selain tiga nama itu, masih ada lima lagi sisanya yang juga dipecat sebelum musim ini tuntas. Siapa saja mereka?
Daftar Isi
Nuno Espirito Santo
Tottenham Hotspur yang menunjuk eks pelatih Wolverhampton, Nuno Espirito Santo usai ditinggal Pochettino dari awal sudah aneh. Bagaimana mungkin Spurs yang katanya mau berbenah, tapi malah menggaet eks pelatih tim yang jelas-jelas kualitasnya jauh di bawah Spurs itu sendiri?
Memang di awal, gelagat keanehan itu belum kelihatan. Nuno berhasil mendatangkan kemenangan bagi The Lilywhites, termasuk atas Aston Villa dan Newcastle United pada Oktober 2021. Namun, Nuno pada akhirnya menunjukkan betapa dia belum sanggup membenahi Tottenham Hotspur.
Nuno Espírito Santo has now beaten Pep Guardiola 3 times. The only current PL managers to have beaten him more are Ole Gunnar Solskjær [4], Thomas Tuchel [4] & Jurgen Klopp [9].
What a start for the new Spurs boss. 🙌 pic.twitter.com/tO81LX9R9B
— Statman Dave (@StatmanDave) August 15, 2021
Kekalahan atas Arsenal, Chelsea, Crystal Palace, West Ham, dan klub asal Belanda, Vitesse Arnheim di ajang UEFA Conference League adalah realitas pahit yang sulit Nuno cegah. Torehan-torehan negatif itu pun membuat penggemar yang awalnya merasa simpati dengan Nuno, justru berbalik menyebut kalau pelatih berpaspor Portugal itu tak cocok menangani Tottenham.
For your information saja nih, dilansir dari BBC, awalnya penggemar Tottenham menghargai kedatangan dan kinerja Nuno. Para fans memaklumi dan menunjukkan rasa simpatinya ke Nuno karena sang pelatih datang ketika kondisi The Lilywhites sedang sulit. Termasuk salah satunya rumor kepergian sang kapten sekaligus pemain andalan Spurs, Harry Kane.
Namun, catatan jelas menunjukkan bahwa Daniel Levy tidak tepat menunjuk Nuno sebagai suksesor Pochettino. Apalagi taktik Nuno yang terkesan biasa saja, dan buntu ketika diserang lawan. Seperti halnya ketika menghadapi Manchester United jelang Nuno dipecat.
Kala itu, Tottenham Hotspur dibantai MU 3-0 di kandang sendiri. Nuno seperti kehabisan strategi baru untuk Tottenham. Dia hanya menerapkan strategi counter-punching di Wolves ke Tottenham Hotspur, meskipun hal itu blas nggak cocok.
Maka, walaupun memiliki catatan 8 kali menang, 7 kali kalah, dan 2 hasil seri, Nuno tetap dipecat. Daniel Levy dan fans tidak betah dengan performa The Lilywhites yang tak kunjung membaik. Akhirnya, ditunjuklah Antonio Conte sebagai pengganti Nuno di Tottenham Hotspur.
Steve Bruce
Kedatangan investor Arab Saudi ke Newcastle United nyatanya nggak menyenangkan semua orang. Manajer Newcastle, Steve Bruce mungkin salah satunya. Bruce dipecat tak berapa lama setelah si pangeran Arab mengakuisi The Magpies.
Perombakan klub jelas bakal dilakukan Pangeran Arab untuk Newcastle United. Dan nahasnya, hal itu dimulai dari menggulingkan Steve Bruce dari kursi manajer. Manajer 60 tahun itu dipecat usai Newcastle dikalahkan Tottenham 3-2.
🚨 Steve Bruce is expected to be sacked as Newcastle manager ahead of the club’s first match under its new ownership next weekend. (Source: Daily Telegraph) pic.twitter.com/crIKqQRPDU
— Transfer News Live (@DeadlineDayLive) October 11, 2021
Namun, pemecatan itu bukan karena kediktatoran sang pemilik baru Newcastle. Penyebabnya, alih-alih memperbaiki posisi The Magpies, Bruce justru mengantarkan Newcastle ke jurang degradasi, dengan berada di posisi 19.
Belum lagi, sejak menukangi The Magpies dari tahun 2019, catatan win rate Bruce hanya 29%. Persentase itu terbilang buruk jika dibandingkan mantan manajer Newcastle lainnya, seperti Sam Allardyce (33%), Rafa Benitez (31%), Alan Pardew (37%), dan Kenny Dalglish (34%).
Dilansir TheSun, Bruce juga mengisyaratkan ingin pensiun. Ditambah hubungannya dengan fans juga memanas setelah dirinya mengecam perlakuan penggemar Newcastle kepadanya. Dia dicap sebagai “kepala kubis yang tidak kompeten” oleh para penggemar The Magpies.
Barangkali sebab itulah Newcastle akhirnya memutuskan hubungan dengan Steve Bruce. Beruntungnya, pria itu tidak hanya diberhentikan, tapi juga diberi pesangon 8 juta poundsterling atau Rp 154,9 miliar.
Ole Gunnar Solskjaer
Kalau soal pemecatan Ole memang sudah berdengung kencang. Ketika masih melatih Manchester United, setiap Minggu #oleout selalu bergema di ruang-ruang media sosial kita. Apalagi kalau ndilalah Setan Merah mengalami kekalahan, sudah gitu telak pula.
Misalnya, saat Si Setan dilumat Burung Hati di kandangnya sendiri 5-0. Seketika gelombang permintaan dari fans untuk memecat Ole pun makin bergemuruh. Terlebih dari awal Ole melatih Manchester United, ia membiarkan lemari trofi MU hanya dipenuhi jaring laba-laba dan jadi sarang kecoak.
Martial FC for 2 years:
“Sack Ole, get him out of our club”
Ole gets sacked:
New manager gets rid of Martial pic.twitter.com/cppaKwzzYN
— Colin MUFC🇮🇪🇵🇸 (@colinmufc2) January 25, 2022
Maka, pemecatan Ole Gunnar Solskjaer dari kursi manajer Setan Merah adalah sebuah keniscayaan. Ole pun pada akhirnya sungguh-sungguh angkat koper dari Old Trafford, pada 21 November 2021 lalu. Dan Manchester United kini sudah memiliki arsitek baru asal Jerman, Ralf Rangnick.
Pertanyaannya adalah apakah memecat Ole adalah keputusan tepat? Tepat atau tidaknya relatif. Hanya saja mari kita melihat data Ole selama di MU.
Pada Premier League musim 2020/21, Ole yang dianggap nisbi taktik itu nyatanya mampu membawa MU finis di peringkat kedua. Hasil itu juga diiringi dengan penampilannya melatih The Red Devil yang sebetulnya nggak buruk-buruk amat. Data dari FootyStats, rata-rata poin per game Ole di Manchester United adalah 1,54.
Sementara, di musim lalu, Ole mencatatkan rata-rata poin per game 1,95. Catatan itu pun jadi yang tertinggi kedua dalam sejarah Manchester United. Ole hanya kalah dari mantan pelatihnya, Sir Alex Ferguson yang memiliki poin per game 2,16. Meskipun persentase kemenangan Ole masih di bawah 50%.
Sedangkan, manajer MU sekarang, Ralf Rangnick justru masih “malu-malu” menunjukkan kualitasnya. Rangnick seperti masih meraba apa taktik yang cocok bagi Manchester United. Mengingat para pemain MU masih banyak yang males pressing, jadi strategi gegenpressing itu masih tak kelihatan.
Nyatanya, MU di tangan Rangnick hanya menang tipis-tipis saja. Seperti saat mengalahkan Crystal Palace, Norwich, dan West Ham. Bahkan Manchester United di tangan Rangnick kalah dari Wolves dan gagal menang atas Newcastle United.
Rafa Benitez
Everton yang dulunya cukup garang dan berbahaya, sekarang seperti memble, berbelok ke jalan yang sesat, dan seolah mengarah ke jurang kenestapaan. Entah ini karena pengaruh pemilik baru atau sering gonta-ganti manajer. Tapi yang pasti, salah satu pelaku kemunduran Everton adalah manajer yang punya andil besar, dalam konteks ini adalah Rafael Benitez.
So Rafa Benitez got rid of Everton’s director of Medical, Head of recruitment, Scouting Director, Sporting Director, Lucas Digne and then got sacked in 6 months taking a 2 and a half year payout.
Mission Completed by Agent Rafa ❤️ pic.twitter.com/qFCX7Qk2uU
— Shameless Salah (@ShamelessSalah) January 18, 2022
Dari 13 pertandingan terakhir Everton yang diayomi Benitez, hanya dua saja yang berbuah kemenangan, yaitu saat mengalahkan Arsenal dan Hull City. Rekor buruk semacam itu, cukup untuk membuat Everton memecat Benitez.
Belum lagi, Rafa Benitez juga gagal memenuhi ekspektasi dan gagal memulihkan situasi Everton yang sedang buruk. Ya maklum saja, sejak pergantian tiga manajer berturut-turut, dari Ronald Koeman, Sam Allardyce, dan Marco Silva kinerja para pemain Everton konsisten buruk.
Taktik Rafa Benitez untuk Everton juga terkesan tak berkembang. Benitez yang terkenal punya taktik pertahanan yang bagus, justru gampang kebobolan dari bola-bola mati. Dia juga beberapa kali memasang pemain yang tidak tepat.
Misalnya, saat Everton bertandang ke Carrow Road. Kala itu, Benitez memakai skema 4-4-2 dan menduetkan Salomon Rondon dan Dominic Calvert-Lewin di lini depan. Hasilnya? Dua pemain itu tak berdaya dan Everton justru kalah dari Norwich 2-1. Satu-satunya gol The Toffees malah dari Richarlison yang masuk sebagai pemain pengganti.
Dari hal-hal tersebut, plus diejek penggemar Liverpool di Goodison Park karena dibantai, wajarlah kalau Benitez akhirnya dipecat. Pemilik jelas ogah kalau The Toffees pada akhirnya harus terdegradasi.
Claudio Ranieri
Sungguh malang manajer gaek yang satu ini. Ranieri dulu dibuang begitu saja oleh Leicester City, dan kini dia resmi ditendang dari Watford. Padahal dia baru melatih Watford selama tiga bulan setengah, dari Bulan Oktober 2021.
Pemecatan itu menyusul catatan buruk Ranieri selama melatih Watford. Dari 14 pertandingan yang dilakoni, Ranieri hanya mampu memberikan dua kemenangan untuk Watford. Saat menghadapi Everton dan Manchester United.
BREAKING: Watford Manager, Claudio Ranieri has been sacked.
He was their 9th manager in 5 years. pic.twitter.com/QgQbc2qYbB
— SwiftScores (@TheSwiftScores) January 24, 2022
Dari rentetan hasil buruk itu, jelas yang paling menyakitkan adalah kekalahan 0-3 dari Norwich City, rivalnya di zona degradasi. Keluarga Pozzo tentu tidak betah dengan hasil itu. Dan ingin agar Watford menjauh dari zona degradasi. Ranieri pun dipecat.
Tapi, apakah hal itu baik buat Watford? Belum tentu. Apalagi Ranieri masuk ketika liga sudah berjalan, dan kontraknya masih dua tahun lagi. Kalaupun Ranieri gagal di musim ini sebagai penerus, toh sebenarnya dia bisa mencoba sebagai manajer dari awal musim depan.
Pemilik Watford sepertinya lupa menilik catatan Ranieri selama melatih Sampdoria. Di klub Italia itu, Ranieri diberi kesempatan melatih full satu musim. Hasilnya? Sampdoria berhasil finis di peringkat 9 Serie A musim 2020/21.
Seandainya Ranieri masih diberi kesempatan, mungkin saja kisah di Sampdoria itu bisa diejawantahkan ke Watford. Ya walaupun harus dimulai dari Liga Championship.
https://youtu.be/YqUwRXv_joQ
Sumber referensi: fourfourtwo.com, footballtransfers.com, bbc.com, thesun.co.uk, liverpoolecho.co.uk, talksport.com, startingeleven.id