Penggemar Borussia Dortmund awalnya tak begitu antusias menyambut Bundesliga musim ini. Maklum, kubu kuning hitam baru menyelesaikan musim buruk yang ditandai bergantinya pelatih di tengah musim, hasil-hasil mengecewakan, serta yang paling membuat kehilangan: kepergian Pierre Emerick-Aubameyang pada bulan Januari.
Namun saat ini, penggemar bisa bersuka cita lantaran saat paruh utama usai, pada momen libur natal dan tahun baru, Die Borussen sedang anteng di puncak klasemen. Dalam tujuh belas laga, Marco Reus dan kawan-kawan meraih 13 kemenangan dan 3 imbang dengan koleksi 42 poin. Mereka saat ini unggul enam poin dari peringkat dua Bayern Munich. Mereka juga lolos ke 16 besar Liga Champions dengan status juara grup.
Lebih dari itu, mereka kembali disegani sebagai tim dengan lini serang paling berbahaya di dunia.
Dortmund sudah cukup lama dinaungi awan gelap. Dua musim terakhir Jurgen Klopp tak sefenomenal ketika mereka menjuarai Bundesliga dan menembus final Liga Champions. Dua musim bersama Thomas Tuchel awalnya menjanjikan, tetapi pada akhirnya ia lebih sering berkonfilk dengan manajemen. Mudim lalu, baik Peter Bosz maupun Peter Stoger tak cukup mumpuni untuk menangani klub terbesar kedua di Bundesliga.
Musim ini, untuk pertama kali dalam lima musim, Dortmund terlihat kembali bergairah. Figur di balik perubahan ini, Luvien Favre, pantas mendapatkan pujian. Kepemimpinan dan kemampuannya memanajemen tim tanpa gejolak berarti tampak membuat skuad Dortmund kembali menyala.
Karier Favre sebenarnya tak terlalu mentereng. Dalam usia 61 tahun, Borussia Dortmund bisa dibilang adalah klub terbesar yang pernah dilatih olehnya. Prestasi terbaiknya barangkali menjadikan Borussia Monchengladbach dan Nice sebagai penantang Liga Champions di Bundesliga dan Ligue 1.
Meski tak punya CV mentereng, nyatanya Favre mampu mencetak mesin pembunuh yang mungkin setara dengan apa yang diciptakan Jurgen Klopp pada kurun 2010 hingga 2013.
Tentu saja, dengan permainan semodel Favre-Klopp, para pemain muda mutlak harus jadi pilihan utama. Favre menyadarinya dengan merekrut bek-bek muda seperti Abdou Diallo, Achraf Hakimi, dan Manuel Akanji. Bek asal Maroko yang dipinjam selama dua musim dari Real Madrid, Hakimi, tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan sepak bola Jerman. Ia mampu beroperasi sebagai bek kanan dan bek kiri. Beberapa assist yang dibuatnya di awal musim telah membuatnya didapuk sebagai Rookie of The Month pada bulan September.
Jika di era Klopp terdapat Shinji Kagawa yang jadi maestro di lini tengah dan Mario Gotze yang menjadi mutiara muda, kini di era Favre juga terdapat kombinasi maut semacam itu.
Axel Witsel bahkan direkrut dari Asia, benua yang sama dengan asal Kagawa. Pengalaman matan Witsel di sepak bola level atas bersama Belgia terbukti mampu menanamkan pengaruh di lini tengah. Jadon Sancho kini menjadi prospek cerah yang menghiasi skuad Dortmund. Baru berusia 18 tahun, permata Inggris tersebut telah mencetak enam gol dan mencatatkan tujuh assist, cukup mentereng untuk mendapatkan pemanggilan timnas Inggris.
Di depan mereka, terdapat penyerang tajam yang menjadi top skorer tim meski hanya tampil dari bangku cadangan. Ya, paling tidak sepuluh gol dari 12 gol Paco Alcacer sejak datang ke Dortmund tercipta saat dirinya masuk di tengah laga. Ia telah menjelma menjadi Robert Lewandowski baru.
Di samping itu, ada satu hal yang membuat Dortmund menjadi salah satu tim terbaik dunia saat ini, yaitu intensitas yang begitu cepat. Tempo permainan tidak menurun baik saat tertinggal maupun sedang unggul. Peluang demi peluang akan terus berdatangan baik saat melawan klub kecil maupun klub besar. Laga panas melawan Bayern Munich yang diakhiri kemenangan 3-2 bagi kubu Favre bisa dijadikan contoh.
Praktis, dengan banyak hal indah yang terjadi di Dortmund pada musim ini, penonton netral jadi berharap Favre mampu membawa trofi Bundesliga ke Signal Iduna Park, mengakhiri dominasi Bayern Munich. Bisa jadi, pada Mei nanti, titel liga akan dicaplok oleh anak-anak Favre.