Sebagai klub yang telah berdiri sejak 18 Maret 1900, Ajax Amsterdam sangat layak disebut sebagai tim yang bersejarah. Tak hanya soal usianya saja, tetapi semenjak bediri hingga hari ini, Ajax telah banyak menorehkan prestasi.
36 trofi Eredivisie, 20 trofi KNVB Cup, dan 4 trofi UEFA Champions League adalah beberapa dari banyak trofi kelas dunia yang pernah Ajax menangkan. Selain itu, ratusan bintang sepak bola dunia juga telah Ajax lahirkan lewat akademi pemainnya yang begitu hebat.
Sejarah dan prestasi itulah yang kemudian membentuk jadi diri alias identitas Ajax Amsterdam sebagai sebuah klub sepak bola yang sukses. Sejarah dan prestasi itu pula yang membuat Ajax punya lebih dari 1 julukan.
Karena lambang dan namanya yang bergambar “Ajax” alias “Aias”, seorang pahlawan mitologi Yunani dalam perang troya, mereka dijuluki “de Godenzonen” yang artinya “Anak-anak dewa”. Julukan tersebut jadi julukan utama Ajax Amsterdam.
Selain itu, Ajax juga pernah mendapat julukan “Lucky Ajax”. Dahulu, julukan ini dipakai untuk menyebut Ajax yang memenangkan pertandingan secara kebetulan akibat keputusan wasit, atau secara kebetulan seperti saat mereka memenangi “pertandingan kabut” di Piala Eropa 1967.
Koneksi Yahudi di Balik Julukan “de Joden”
Akan tetapi, julukan lain yang lebih sering disematkan kepada Ajax Amsterdam adalah “de Joden” yang dalam bahasa Belanda berarti “Yahudi”. Meski tak punya banyak pemain atau pelatih dari kalangan Yahudi, tetapi Ajax memang dianggap sebagai “Klub Yahudi” karena identitas dan koneksi mereka dengan kaum Yahudi.
Amsterdam and North London.
Both areas with deep Jewish connections.
Ajax – Celebrate the history, standing side by side with the people.
Tottenham – “STOP IT, SPONSORS WONT LIKE IT!” pic.twitter.com/PfNRHv6fVe
— FootballFlagsUK (@FootballFlagsUK) November 19, 2021
Usut punya usut, asal-usul julukan “de Joden” erat kaitannya dengan sejarah kota Amsterdam yang telah dianggap sebagai “Kota Yahudi” dan pusat komunitas Yahudi di Belanda sejak abad ke-16. Bahkan, sebelum perang dunia kedua pecah, kota Amsterdam dijuluki sebagai “Jerusalem of the West”.
Diperkirakan ada sekitar 80 ribu dari 140 ribu orang Yahudi di Belanda yang tinggal di kota Amsterdam. Kebetulan, mayoritas dari kaum Yahudi tersebut merupakan penggemar Ajax. Pada tahun 1930-an, De Meer Stadion, kandang lawas milik Ajax juga terletak tak jauh dari “Jodenbuurt” yang kebetulan menjadi lingkungan dan pusat orang-orang Yahudi di kota Amsterdam.
Karena sebagian pendukungnya merupakan orang Yahudi, kelompok suporter Ajax kemudian merangkul identitas Yahudi dengan cara menyebut diri mereka “Super Jews” atau meneriakkan kata “Joden” yang berarti Yahudi saat pertandingan berlangsung.
Meski populasi orang Yahudi langsung turun lebih dari 75% usai perang dunia kedua, tetapi para penggemar Ajax Amsterdam tetap mempertahankan identitas Yahudinya. Kehadiran para pemain dan manajer Yahudi yang menghiasi skuad Ajax pasca perang dunia kedua jadi salah satu penyebabnya.
Lagipula, era keemasan Ajax Amsterdam terjadi saat mereka dipimpin oleh orang Yahudi. Adalah Jaap van Praag yang menjadi presiden Ajax selama periode 1964 hingga 1978. Jaap van Pragg adalah salah satu orang Yahudi yang dikabarkan selamat dari tragedi holocaust setelah dirinya bersembunyi di rumah salah satu pemain Ajax.
Rinus Michels en Jaap van Praag op Wembley. Europa Cup 1. #Ajax – Panathinaikos 2-0. Londen, 1971. pic.twitter.com/pYcqwjFwcC
— Studio de Meer (@StudiodeMeer) February 25, 2018
Selama dipimpin Jaap van Praag, Ajax sukses memenangi Liga Champions 3 kali beruntun pada 1971-1973. Pada masa tersebut, Ajax juga dihuni oleh beberapa pemain berdarah Yahudi, seperti Bennie Muller dan Sjaak Swart yang kemudian kini dikenal dengan julukan Mr. Ajax. Hal-hal itulah yang membuat citra Yahudi pada tubuh Ajax makin menguat.
Era keemasan Ajax bersama Jaap van Pragg kemudian diteruskan oleh sang anak, Michael van Praag yang menjabat sebagai presiden “de Joden” dari tahun 1989 hingga 2003. Kebetulan, selama dipimpin Michael van Praag, Ajax kembali menjuarai Liga Champions musim 1995 dan meraih trofi UEFA Cup pertamanya di musim 1992.
Di masa-masa tersebut, citra Ajax sebagai “Klub Yahudi” memang sangat kuat. Bahkan ada masa di mana lagu “Hava Nagila” dapat diunduh gratis di situs resmi klub. Hava Nagila sendiri merupakan lagu Yahudi yang secara tradisional dinyanyikan pada saat perayaan-perayaan kaum Yahudi.
Namun, karena kesuksesan dan citra Yahudi yang mereka miliki pada masa tersebut, Ajax berulang kali menjadi sasaran antisemitisme. Suporter lawan yang membenci Ajax kerap meneriakkan chants “Hamas! Hamas!” yang tentu saja untuk mengejek suporter Ajax. Mereka yang berseberangan dengan Ajax juga kerap memberikan salam NAZI atau mendesis untuk menirukan bunyi gas dari kamar gas beracun yang dulu menjadi alat pembunuh kaum Yahudi di kamp-kamp konsentrasi milik NAZI.
Namun, meski begitu, para penggemar Ajax, khususnya mereka dari kelompok suporter F-Side tetap mempertahankan identitas Yahudinya bahkan menganggapanya sebagai sebuah kultur, warisan, dan kebanggaan. Bukti lainnya, nyanyian-nyanyian Yahudi masih kerap terdengar di tribun Johan Cruyff Arena.
Selain itu, simbol-simbol Yahudi seperti Bintang Daud dan bendera Israel juga masih dijual bebas di sekitar stadion dan kerap dikibarkan oleh para penggemar Ajax hingga hari ini. Lucunya, dilansir dari Der Spiegel, sekitar 90% penggemar Ajax bahkan tidak tahu di mana Israel berada.
“Ketika mereka berteriak ‘Yahudi, Yahudi!’ atau ‘Super Yahudi’, ini tentang menyemangati tim dan tidak ada yang lain.” kata Hans Knoop, seorang jurnalis Yahudi dikutip dari Spiegel.de.
Aroma Yahudi dalam Tubuh Tottenham Hotspur
Situasi yang hampir serupa juga terjadi di Tottenham Hotspur. Torehan prestasi klub berjuluk The Lilywhites itu jelas sangat tidak sebanding bila disandingkan dengan Ajax. Namun, Tottenham punya satu kesamaan dengan Ajax. Klub asal London Utara itu juga dianggap sebagai “Klub Yahudi”.
Secara historis, situasi kota London di masa lalu cukup mirip dengan kota Amsterdam. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Tottenham Hotspur adalah klub yang paling populer di kalangan imigran Yahudi yang menetap di East End. Spurs kala itu juga dianggap lebih glamor ketimbang West Ham United dan Arsenal.
Kebetulan, beberapa distrik di London Utara, seperti Barnet, Hackney, dan Harrow menjadi rumah bagi banyak orang Yahudi. Oleh karena itulah, pada tahun 1930-an, sepertiga dari basis penggemar The Lilywhites diperkirakan berasal dari komunitas Yahudi.
Seiring berjalannya waktu, basis penggemar Spurs dari kalangan Yahudi makin menurun. Meski begitu, aroma Yahudi tetap melekat pada tubuh Tottenham Hotspur. Citra Yahudi pada tubuh Spurs memang tak bisa dihilangkan begitu saja. Bahkan meski Arsenal kemudian memiliki lebih banyak penggemar Yahudi, tetap Spurs yang dianggap sebagai “Klub Yahudi”.
Salah satu penyebabnya adalah koneksi Yahudi dalam tubuh Tottenham Hotspur. Serupa dengan Ajax, Spurs pernah dipimpin oleh orang Yahudi. Tiga ketua Spurs sejak 1982 adalah seorang pengusaha yang berdarah Yahudi. Ketua alias chairman Spurs saat ini, Daniel Levy juga merupakan orang Yahudi.
(☀️) Tottenham Hotspur have lodged a formal complaint with talkSPORT after footage emerged of a caller to the station claiming Daniel Levy wanted big money for Harry Kane 🏴 because he was Jewish. [@TeleFootball] #THFC #COYS pic.twitter.com/TFr8zquSNt
— RouteOneFootball (@Route1futbol) August 4, 2021
Karena koneksi dan identitas Yahudi yang mereka miliki, Tottenham Hotspur kemudian mendapat perlakuan antisemitisme dari para penggemar klub saingan mereka. Ejekan dan nyanyian antisemitisme mulai terdengar di era 1960-an dan 1970-an.
Salah satu ejekan tersebut berbunyi “Yids”. Kata tersebut diambil dari kata “Yiddish” yang merupakan salah satu bahasa yang dituturkan orang-orang Yahudi di luar Israel, khususnya di Eropa Timur.
Bukannya marah, fans Tottenham Hotspur justru mengadopsi ejekan tersebut. Sejak saat itu, mereka menjuluki dirinya “Yid Army” dan acap meneriakkan chants tersebut saat Tottenham bertanding. Meski menuai kontroversi karena dianggap menghina kaum Yahudi itu sendiri, tetapi para penggemar Spurs mengaku bahwa mereka menyanyikan chants tersebut dengan bangga dan telah menganggap julukan tersebut sebagai sebuah identitas yang dibanggakan.
Tottenham Yids Army🇬🇧 pic.twitter.com/ybIrSr7fVE
— Casual Ultra (@thecasualultra) October 21, 2020
Menghapus Identitas Yahudi pada Ajax dan Tottenham Hotspur Bukanlah Perkara Mudah
Karena sama-sama punya koneski dan identitas Yahudi, duel antara Ajax dan Tottenham Hotspur acap kali disebut sebagai “Jewish Derby”. Pendukung kedua kesebelasan juga punya hubungan yang harmonis.
Namun, meski para penggemarnya telah menjadikan Yahudi sebagi identitas mereka, tetapi Ajax dan Tottenham Hotspur sebenarnya kompak enggan disebut sebagai “Klub Yahudi”. Pada awal 2000-an, Ajax bahkan pernah membujuk para penggemarnya untuk menghilangkan citra Yahudi pada tubuh mereka.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kubu Tottenham Hotspur. Pasalnya, banyak masyarakat Inggris yang menentang aksi suporter Spurs yang kerap mengibarkan bendera Israel atau menyanyikan yel-yel Yahudi.
Pendukung Spurs sendiri pernah terlibat insiden berdarah akibat identitas Yahudi yang mereka banggakan. Pada 2012 silam, beberapa penggemar Spurs dilaporkan terluka parah setelah diserang Ultras Lazio yang terkenal menganut paham fasis.
Selain itu, identitas Yahudi yang melekat pada Ajax maupun Spurs disebut telah mempersulit mereka dalam menggaet sponsor. Entah benar atau tidak, namun, bagaimanapun langkahnya, menghapus identitas Yahudi yang sudah sangat mengakar pada tubuh Ajax dan Tottenham Hotspur bukanlah perkara mudah.
Meski menolak dengan dalih apapun, Ajax dan Spurs terlanjur identik dengan Yahudi. Selama bendera Israel dan bintang Daud masih berkibar di kandang Ajax Amsterdam maupun Tottenham Hotspur, jangan harap label “Klub Yahudi” yang disematkan kepada mereka akan mudah terlupakan begitu saja.
https://youtu.be/iC8DgT6dcSg
***
Referensi: Squawka, PanditFootball, CNN, Spiegel, Ligalaga, Nssmag, TheJC.