Kisah Sedih Korea Selatan, Langganan Piala Dunia tapi Gagal Mulu di Piala Asia

spot_img

Usai peluit panjang laga semifinal Piala Asia 2023 dibunyikan, tatapan kosong Son Heung-min seakan menjelaskan semuanya. Sang kapten seperti tak percaya kalau Timnas Korea Selatan disingkirkan oleh Yordania, tim yang secara ranking FIFA jauh di bawah mereka. 

Penyerang Tottenham itu bahkan tak kuasa menatap kamera saat diwawancarai oleh salah satu media yang bertugas. Atas nama tim nasional, ia menunduk dan meminta maaf karena telah mengecewakan masyarakat Korea Selatan. Ini jadi kegagalan keempat Son Heung-min mengantarkan Korea Selatan juara di Piala Asia.

Pencapaian paling apik terjadi di tahun 2015 kala Korsel mencapai final. Sayangnya, mereka gagal meredam perlawanan tim tuan rumah, Australia. Lantas, mengapa Korea Selatan begitu kesulitan untuk menjuarai Piala Asia? Padahal Ksatria Taeguk merupakan salah satu kiblat sepakbola Asia.

Korsel Jadi Kiblat Sepakbola Asia

Dalam satu dekade terakhir Korea Selatan menjadi kiblat sepakbola di Asia. Bukan karena mendatangkan pemain-pemain bintang seperti apa yang dilakukan Arab Saudi, melainkan karena mereka mengembangkan sepakbola dan mengelola pemain-pemain berbakat dengan sistem yang terintegrasi, sehingga layak tampil di berbagai kompetisi top Eropa. 

Sistem yang baik juga menciptakan rantai yang tak terputus dalam regenerasi pemain. Dari era Park Ji-sung hingga Hwang Hee-chan jadi bukti kecil bagaimana suksesnya Korea Selatan mendidik putra daerah. Secara tim, Korea Selatan juga banyak mendulang prestasi. Di Asian Games contohnya. Dengan enam medali, mereka jadi negara yang paling sering menjuarai ajang tersebut. 

Dengan banyaknya hal positif di sepakbola Korea Selatan sudah seharusnya mereka mampu berprestasi di berbagai kompetisi Asia lain. Namun, nyatanya Korsel masih kesulitan di ajang sekelas Piala Asia, kasta tertinggi kompetisi internasional di Benua Kuning.

Gonta Ganti Pelatih

Sistem yang baik dalam menciptakan generasi yang berkualitas setiap tahunnya ternyata tak diimbangi dengan investasi jangka panjang di sektor pelatih. Akan sulit jika program pengembangan sepakbola dipegang oleh pelatih yang tidak kompeten dan memiliki komitmen tinggi.

Di sisi lain, Korsel justru jadi negara yang cukup sering gonta-ganti pelatih. Dalam sepuluh tahun terakhir saja, Timnas Korea Selatan sudah berganti pelatih sebanyak enam kali termasuk Jurgen Klinsmann. Pembagiannya berimbang, tiga pelatih asing dan tiga pelatih lokal. 

Seringnya mengganti pelatih sebetulnya bukan keputusan yang baik untuk keberlangsungan sebuah tim nasional. Karena semakin seringnya berganti pelatih, maka Korsel semakin sulit menemukan sistem permainan terbaik. Sebab, tiap kali pelatih anyar datang, pola permainan yang ditampilkan otomatis akan terus berbeda ketimbang juru taktik sebelumnya. 

Hal itu membuat personel Timnas Korea Selatan mesti beradaptasi lagi dengan racikan sang pelatih anyar. Kita lihat saja di Piala Asia kemarin. Korea Selatan tampil tak bergairah dan hanya bermodalkan semangat saja. Mereka seharusnya bisa mencontoh Iran yang membangun sepakbolanya dengan sabar bersama Carlos Queiroz.

Riwayat di Piala Asia

Hal tersebut mempengaruhi kiprah Korea Selatan di Piala Asia. Buku sejarah sudah mencatat bagaimana riwayat buruk Ksatria Taeguk di kompetisi tersebut. Meski berstatus kiblat sepakbola Asia, Korsel ternyata baru dua kali menjuarai Piala Asia.

Lagi pula, dua gelar itu sejatinya tak bisa dibanggakan. Karena gelar terakhir diperoleh tahun 1960 alias 64 tahun yang lalu. Gelar itu didapat juga saat Korea Selatan menjadi tuan rumah. Kini, sepakbola Asia sudah banyak mengalami perkembangan. Namun, Korea Selatan seakan jalan di tempat dan ketinggalan dari peserta Piala Asia lainnya.

Mereka tak bisa meraih gelar lagi meski sudah diperkuat pemain-pemain bintang dan dilatih oleh pelatih top. Bahkan setelah tampil luar biasa dengan menembus semifinal Piala Dunia 2002, Korea Selatan tak mampu berbicara banyak di Piala Asia 2004. Mereka gagal melanjutkan sistem dan ideologi sepakbola yang dibangun Guus Hiddink.

Di edisi-edisi berikutnya pun sama saja. Korea Selatan tetap kesulitan untuk menjadi yang terbaik di Piala Asia. Padahal setelah menjadi juara tahun 1960, Korea Selatan bukan tidak pernah melenggang ke final. Sudah empat kali mereka tampil di partai puncak setelah juara pada tahun 1960. Tapi, yang terjadi mereka selalu gagal mengangkat trofinya. 

Kesulitan Melawan Tim Timur Tengah

Empat kali tampil di partai final sebetulnya membuktikan bahwa Korea Selatan tak selalu tampil buruk di Piala Asia. Tapi, setelah ditelusuri lebih lanjut ada faktor yang cukup kuat dibalik gagalnya Korea Selatan menjuarai Piala Asia.

Adalah tim dari Timur Tengah yang selalu jadi mimpi buruk Korea Selatan di setiap edisi Piala Asia. Ambil contoh di edisi 2004, di mana Korea Selatan disingkirkan oleh Iran di babak perempat final meski tak terkalahkan di fase grup. Ksatria Taeguk kalah 3-4 dari Iran.

Ketika Piala Asia 2007, Korea Selatan kembali babak belur di hadapan tim Timur Tengah. Kali ini giliran Irak yang menjadi aktor antagonisnya. Singa Mesopotamia mengalahkan Korea Selatan melalui adu penalti dengan skor 4-3 di semifinal. Kelak Irak yang menjadi juara di GBK. 

Tahun ini pun begitu. Korea Selatan lagi-lagi dibuat menangis oleh tim asal Timur Tengah. Skuad asuhan Jurgen Klinsmann bahkan dibuat frustrasi lantaran kesulitan menjebol pertahanan Yordania. Rasa frustrasi itu akhirnya dimanfaatkan Yordania. Korea Selatan pun justru menelan dengan skor 0-2. 

Oleh karena itu, tak akan berlebihan jika menyebut tim asal Timur Tengah sebagai kutukan bagi Timnas Korea Selatan. Karena tiga dari empat kekalahan di final pun didapat dari tim Timur Tengah. Kalah 2-1 dari Iran di Piala Asia 1972, kalah 3-0 dari Kuwait di Piala Asia 1980, dan kalah adu penalti dari Arab Saudi di Piala Asia 1988. Cuma Australia yang bukan negara Timur Tengah yang mampu mengalahkan Korea Selatan di final Piala Asia 2015.

Lolos Piala Dunia Lebih Mudah

Tapi kan Korea Selatan jadi langganan masuk Piala Dunia. Harusnya menjuarai Piala Asia bukan jadi persoalan bagi mereka dong? Sebetulnya jawabannya sederhana. Karena untuk lolos ke Piala Dunia, Korea Selatan tak perlu menjadi yang terbaik di Asia. Itu karena regulasi dari FIFA yang memperbolehkan Benua Asia mengirimkan empat wakilnya ke Piala Dunia.

Ambil contoh di Piala Dunia Qatar kemarin. Korea Selatan lolos ke putaran final sebagai runner-up Grup A putaran ketiga. Bergabung di Grup A, Korea Selatan nggak perlu susah payah menghadapi Jepang, Australia, dan Arab Saudi. Karena ketiga negara itu berada di Grup B. 

Lawan terberat Korea Selatan kala itu cuma Iran. Dan benar saja, Korsel tak mampu mengungguli Iran yang memuncaki klasmen Grup A. Beda dengan Piala Asia. Di kompetisi tersebut, yang terbaik yang menjadi juara. Ironis memang, tapi Korea Selatan harus mengakui bahwa mereka masih sulit untuk mencapai level konsistensi itu.

https://youtu.be/k5ubN9L8cSo

Sumber: The Guardian, Al Jazeera, ESPN, Transfermarkt

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru