Jauh sebelum Claudio Bravo menjadi penjaga gawang terbaik Chile, negara asal Amerika Latin ini pernah punya kiper hebat bernama Roberto Rojas. Rojas merupakan kiper terbaik Chile pada era 80-an. Namun sayang, karir kiper kelahiran 8 Agustus 1957 ini ternodai karena ulahnya sendiri. Pemain yang mendapat julukan El-Condor ini mendapat skorsing seumur hidup dari Federasi Sepakbola Dunia (FIFA). Hukuman ini sebagai akibat dari tindakan diving yang pernah dilakukannya dalam pertandingan internasional.
Roberto Rojas sebenarnya adalah salah satu talenta terbesar yang dimiliki Chile. Ia mengawali karir sepakbolanya bersama kesebelasan lokal Chili, Aviacion pada tahun 1976. Enam tahun kemudian Rojas hijrah ke klub raksasa Chile Colo-Colo. Konon, berkat penampilannya di kesebelasan asal Santiago inilah ia dihadiahi julukan El Condor. Di klub tersebut, Rojas memenangkan Liga Chile 1983 dan 1986.
Rojas adalah pemain panutan bagi kebanyakan pesepakbola Chile pada waktu itu. Ia dianugerahi ketangkasan yang luar biasa sebagai seorang kiper. Selain itu, dia juga punya kharisma dan seorang yang taat beragama. Pada 1987, Rojas memutuskan untuk bergabung dengan klub asal Brasil, Sao Paulo. Di klub tersebut, Rojas bermain sebanyak 17 kali.
Dekade 80-an merupakan masa terbaik Rojas berkarir sebagai pesepakbola. Selain bersinar terang bersama Colo-Colo, Rojas juga menjadi andalan bagi tim nasional Chile. Ia tampil di tiga Copa America berbeda pada kurun waktu tersebut. Namun sayang, karir gemilangnya itu harus berakhir dengan cara yang sangat memalukan.
Peristiwa itu terjadi pada perhelatan babak kualifikasi piala dunia 1990 zona CONMEBOL. Pada babak kualifikasi itu, Timnas Chile satu grup dengan Brasil dan Venezuela di grup 3. Saat itu, CONMEBOL mendapatkan jatah 4+1 untuk tampil di Piala Dunia 1990. Argentina sebagai juara bertahan lolos otomatis. Lalu, 3 tempat kosong diberikan kepada juara Grup 1, 2, dan 3. Sementara runner-up terbaik akan play-off melawan utusan Oceania.
Brasil dan Chile bersaing ketat di grup 3. Mereka menjadikan Venezuela sebagai bulan-bulanan. Hingga akhirnya laga penentuan pun tiba. Tepat pada 3 September 1989, Brasil menjamu Chile di stadion Maracana. Laga ini menjadi laga hidup mati bagi kedua kesebelasan. Siapapun yang menang, dialah yang berhak melenggang ke putaran final piala dunia di Italia. Brasil tentu lebih diuntungkan mengingat status mereka sebagai tuan rumah dan dihuni banyak pemain berkelas. Sedangkan Chile, kans untuk menang cukup sulit.
Di pertandingan inilah, skandal memalukan itu terjadi. Aktor utamanya tentu saja Roberto Rojas. Demi memenuhi ambisinya tampil di ajang bergengsi sekelas piala dunia, Rojas menghalalkan segala cara untuk bisa menyingkirkan Brasil.
Ketika itu, pertandingan berjalan seperti biasa, normal tidak ada tanda-tanda keributan atau kerusuhan yang bakal terjadi. Skor kacamata masih bertahan hingga turun minum. Namun di awal babak kedua tim samba berhasil membobol gawang Chile lewat Antonio “Careca” de Oliveira Filho.
Bersamaan dengan Chile yang sedang berusaha menyamakan skor, tiba-tiba pertandingan memanas hingga pendukung tuan rumah melemparkan segala macam benda ke lapangan, termasuk ke belakang gawang Rojas. Kemudian pada menit ke 70, sebuah flare terlempar ke arah gawang Rojas dari tempat para suporter Brasil. Tiba-tiba Rojas tampak terkapar di depan gawangnya. Diketahui pelaku pelemparan flare itu bernama Rosenery Mello.
Melihat insiden tersebut, sebagai bentuk protes atas pelemparan flare yang dilakukan fans Brasil, para pemain dan ofisial Chile, yang dipimpin sang kapten, Fernando Astengo, memutuskan meninggalkan lapangan dengan menggotong Rojas yang berlumuran darah. Kubu Chile pun beramai-ramai mengklaim kalau pertandingan tidak aman dan harus dihentikan. Klaim ini dikabulkan dan pertandingan pun tidak dilanjutkan.
Pasca kejadian tersebut, berbagai opini negatif anti Brasil mulai bermunculan. Brasil, yang meski berhasil meraih kemenangan WO 2-0 di Maracana, tak bisa tenang. Langkah mereka untuk terbang ke Italia masih belum pasti. Federasi sepakbola Chili bahkan menuntut supaya pertandingan digelar kembali di tempat netral.
Awalnya, semua orang percaya jika Rojas mengalami cedera karena lemparan flare yang mengarah tepat ke wajahnya. Tapi, keesokan harinya, berita di televisi dan beberapa foto surat kabar menunjukkan fakta sebaliknya. Flare tidak mengenai tubuh Rojas, apalagi mengenai wajahnya. Flare itu malah mendarat lebih dari 1 meter dari sisi Rojas. Hal ini dibuktikan lewat hasil jepretan fotografer asal Argentina, Ricardo Alfieri. Selain itu, pemeriksaan medis juga tidak menemukan satupun jejak luka bakar.
Tapi apa yang menyebabkan wajah Rojas bersimbah darah?
Ternyata, Rojas menyembunyikan silet di balik sarung tangannya. Tepat ketika kembang api terlempar, pisau cukur tersebut langsung disayatkan ke wajahnya sendiri. Harapannya tentu agar bisa lolos ke piala dunia di Italia dengan kemenangan WO atas Brasil. Tapi setelah fakta ini terbongkar, semua harapannya pupus.
Di saat yang sama Polisi Brasil berhasil menangkap pelaku pelemparan flare, yakni seorang pemuda berusia 24 tahun dari Rio de Janeiro bernama Rosenery Mello do Nascimento, yang kemudian dikenal sebagai Fogueteira do Maracana (Petasan Maracana).
Berbekal keterangan dari pelaku dan penyelidikan di lapangan, CONMEBOL akhirnya memanggil Rojas untuk bersaksi. Hasil interogasi memunculkan pengakuan mengejutkan dan menggemparkan dari Rojas, yaitu ia mengaku melukai wajahnya sendiri dengan pisau cukur.
Sepuluh hari setelah pertandingan, FIFA memutuskan Rojas dilarang bermain selamanya dari pertandingan sepakbola profesional. Chile, selain dicoret dari kualifikasi dan dinyatakan kalah WO atas Brasil, juga mendapatkan hukuman tambahan, dilarang ambil bagian di Kualifikasi Piala Dunia 1994.
Selain Rojas yang dihukum seumur hidup, Sergio Stoppel (presiden Asosiasi Sepakbola Chile), Orlando Aravena (pelatih), Fernando Astengo (pemain), dan Daniel Rodriguez (dokter tim) juga mendapat skorsing. Keputusan ini diambil FIFA, karena mereka dianggap turut berkontribusi, meski secara tidak langsung dalam insiden tersebut.
Keputusan itu membuat media dan fans Chile marah. Akibatnya, Kedutaan Besar Brasil di Kota Santiago diserbu warga Chile yang melakukan aksi demo.
Bahkan, media olahraga ternama Chile ketika itu, Minuto 90, menulis konspirasi bahwa Presiden FIFA asal Brasil, Joao Havelange, sengaja menjatuhkan hukuman demi mengamankan tim Samba di piala dunia Italia 1990.
Di masa-masa hukumannya, Rojas tetap giat menggeluti dunia sepakbola. Ia dikenal sebagai komentator pertandingan dan pendiri sekolah sepakbola untuk anak-anak di Chile.
Rojas juga dipekerjakan sebagai pelatih kiper Sao Paulo untuk mengasuh kiper muda, Rogerio Ceni. Dia melatih Ceni selama hampir satu dekade. Berkat tangan dinginnya, Rojas berhasil melahirkan sosok ikonik dan legenda Sao Paulo dalam diri Ceni.
Hukuman Rojas berakhir pada tahun 2001 di usia 43 tahun, setelah ia mengajukan permohonan pengampunan pada FIFA.
Sumber Referensi: Panditfootball, Libero, Goal, historia, Bola.net