Karena Erik Ten Hag Menolak Kemewahan Demi Sepak Bola

spot_img

Siapa bisa menolak kekayaan dan kekuasaan? Pertanyaan yang hampir pasti jawabannya tidak ada itu, punya jawaban lain. Ya, jawabannya adalah Erik Ten Hag. Pelatih yang hari ini menangani Manchester United itu salah satu dari sedikit orang yang menolak kemewahan dan privilege.

Ten Hag punya garis keturunan konglomerat. Secara, tanpa bekerja keras pun, ia sudah bermandikan kekayaan. Ten Hag bisa saja mewarisi perusahaan orang tuanya. Tapi ketimbang melanjutkan bisnis, pelatih berkepala licin itu memilih sepak bola. Apa yang mendasarinya melepas bisnis untuk sepak bola?

Ayah Ten Hag Pengembang Real Estate

Erik Ten Hag lahir 2 Februari 1970 dari pasangan Joke Ten Hag dan Hennie Ten Hag di Haaksbergen, Belanda. Orang tuanya bukan hanya saling mengasihi dan mencintai satu sama lain. Namun, juga pebisnis yang hebat, terutama sang ayah, Hennie Ten Hag.

Hennie adalah pebisnis di bidang real estate. Ia mendirikan perusahaan real estate tiga tahun sebelum kelahiran Erik Ten Hag. Namun, Hennie sudah memulai berbisnis saat masih berusia 23 tahun. Ia tidak mengawali bisnisnya di bidang real estate, melainkan perusahaan broker dan asuransi. 

Ketika sudah sustain, barulah Hennie mengembangkan bisnisnya tidak hanya di bidang asuransi dan broker, tapi juga merambah ke real estate. Perusahaan bernama Ten Hag pun didirikan pada tahun 1967.

Perusahaan tersebut tidak hanya mengurusi properti tapi juga asuransi keuangan. Perusahaan ini juga dikenal dengan nama Ten Hag Assurantieadviseurs BV, yang lokasinya ada di Enschede, provinsi Overijssel, Belanda.

Meski sudah bergerak di bisnis real estate, tapi ayah Ten Hag tidak meninggalkan bidang bisnis lamanya, yakni keuangan. Jadi, Ten Hag Assurantieadviseurs BV tidak hanya bergerak di bidang real estate, tapi juga keuangan dan pialang.

Bisnis Makin Besar, Ten Hag Menolak

Perusahaan yang dibangun ayah Ten Hag makin berkembang. Bahkan setelah 50 tahun beroperasi, perusahaan ini sudah memiliki 100 karyawan. Tidak cukup sampai di situ. Ten Hag Assurantieadviseurs BV juga memiliki sembilan cabang yang tersebar di seluruh Belanda.

Hal ini membuat Ten Hag menjadi salah satu perusahaan terbesar di Belanda. Namun, Hennie tidak bisa selamanya memimpin perusahaan, terutama saat beranjak tua. Ia pun ingin mewariskan perusahaan itu pada anak-anaknya. Hennie menginginkan Erik bersama dua saudaranya, Michel dan Rico meneruskan bisnis itu. 

Sejak kecil Erik berbeda dengan dua saudaranya. Ia memang yang paling kecil, tapi yang paling sering berbicara. Modal itu cocok untuk meneruskan bisnis sang ayah yang notabene membutuhkan kepiawaian dalam berbicara. Namun, Erik tak mempunyai minat sama sekali di bidang bisnis. Ia pun menolaknya.

Memilih Sepak Bola

Saat masih belia, Erik lebih menyukai pergi ke lapangan. Bermain bola dengan teman-temannya, menurutnya jauh lebih menyenangkan. Minatnya pada sepak bola tumbuh bersamaan dengan seringnya ia melihat aksi Johan Cruyff, yang pada saat itu menjadi maskot sepak bola Belanda.

Di era 1970-an, Cruyff adalah seorang pesepakbola yang orang menyebutnya GOAT. Cruyff meraih banyak sekali gelar, baik di kompetisi domestik maupun Eropa. Cruyff juga pernah memenangkan tiga kali Ballon d’Or tahun 1971, 1973, dan 1974.

Wajarlah kalau Erik mengidolakannya. Bahkan dulu saat tempat tinggal Erik dekat dengan supermarket Leusink, ia sering memungut kartu yang bergambar Johan Cruyff. Kebetulan supermarket itu menjualnya. Erik hobi mengoleksi kartu bergambar Cruyff sejak kecil.

Menurutnya, dengan begitu ia bisa menjalin ikatan dengan pahlawan sepak bola Belanda tersebut. Lama-lama Erik makin candu pada sepak bola. Sampai-sampai ketika usianya baru delapan tahun, ketika Piala Dunia 1978 digelar, Erik mendirikan klub bola sendiri bernama Veldmaatse Voetbal Vereniging hanya untuk bersenang-senang. Kamu tahu? Di klub ini ia menjadi bendahara.

Ten Hag Terus Bermain Bola dan Kegusaran Sang Ayah

Erik makin keranjingan pada sepak bola. Persis ketika masuk ke Sekolah Ludgerus, ia tidak hanya membaca buku tapi juga masih suka bermain bola. Karena terus bermain bola, Hennie gusar dan khawatir pada anaknya. Ia merasa bahwa sepak bola bukanlah jalan yang tepat bagi Erik menuju kesuksesan.

“Erik bisa menendang bola, tapi bukan bintang. Bagaimana jika dia tidak berhasil di sepak bola? Dia tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan sandaran. Itu membuat saya dan ibunya khawatir,” kata Hennie pada Nrc-nl dikutip Fantasista.

Namun, Erik merasa harus tetap menempuh jalan yang ia sukai. Sang ayah juga toh mengajarkan kalau menginginkan sesuatu harus bekerja keras untuk mendapatkannya. Meski sang ayah mengatakan itu agar Erik mengikuti jejak wirausahanya, namun Erik meyakininya dalam hal lain.

Bahwa ia harus bekerja keras untuk menjadi pesepakbola. Akhirnya, Erik pun mulai mendalami sepak bola dengan bergabung ke akademi SV Bon Boys Haaksbergen. Ia bergabung ke akademi tersebut di usia sekitar 13 tahun hingga dinyatakan lulus pada usia 19 tahun.

Dari Akademi Twente Menjadi Pesepakbola yang Biasa Saja

Setelah dari sana, Erik bergabung ke akademi salah satu klub ternama di Belanda, Twente. Erik menghabiskan masa mudanya di sana sebelum akhirnya pindah ke De Graafschap pada tahun 1990. Ia menjalani masa yang cemerlang di klub itu dengan mencetak setidaknya enam gol.

Kariernya di De Graafschap boleh dibilang menjadi pijakan awal sebagai pesepakbola. Sayangnya, Erik hanyalah pesepakbola medioker. Pemain yang berposisi sebagai bek itu hanya bermain di Belanda. Selain Twente dan De Graafschap, Erik pernah berseragam RKC Waalwijk dan FC Utrecht.

Erik mengemas 339 penampilan sebagai pemain, sebelum akhirnya pensiun. Mirisnya, bahkan Erik belum pernah mencicipi atmosfer Liga Champions selama menjadi pemain. Satu-satunya gelar prestisius, jika kita bisa menyebutnya begitu, yang ia dapat cuma Piala Belanda atau sekarang menyebutnya KNVB Beker.

Karier Awal Jadi Pelatih

Usai pensiun sebagai pemain tahun 2002, Erik mengambil pekerjaan sebagai pelatih. Ia bekerja di mantan timnya, FC Twente. Awalnya ia menangani tim U-17, tapi selanjutnya diberi tugas melatih tim U-19 tahun 2006.

Segera ia dipromosikan untuk menjadi asisten manajer tim utama tahun 2009. Ten Hag bekerja di bawah Fred Rutten dan Steve McClaren. Kelak McClaren ini justru menjadi asistennya di Manchester United. Setelah dari Twente, Ten Hag pindah ke PSV. Di sana ia juga bekerja di bawah Rutten.

Nah, kesempatan untuk menjadi pelatih kepala baru ia dapatkan ketika pada 2012, Go Ahead Eagles, tim dari divisi dua menunjuknya sebagai pelatih. Marc Overmars, pemilik saham klub yang langsung menunjuknya saat itu.

Bersama Go Ahead Eagles, Ten Hag melahirkan sejarah baru. Ia membawa tim yang sudah 17 tahun tidak bermain di divisi teratas promosi. Fenomena Go Ahead Eagles yang promosi ke Eredivisie langsung jadi perbincangan hangat.

Bahkan kabar itu tidak hanya tersebar di Belanda, tapi juga seantero Eropa. Hal itu yang akhirnya mengantarkan Ten Hag ke Jerman, melatih Bayern Munchen II tahun 2013. Tahun yang sama ketika Josep Guardiola datang untuk melatih tim utama Bayern Munchen.

Kesuksesan Melatih

Bukan di Belanda, trofi pertama Ten Hag sebagai pelatih justru diraih di Jerman. Ia mengantarkan Bayern Munchen II juara di ajang Regionalliga Bavaria Champions musim 2013/14. Ya, musim pertamanya melatih! Pencapaian itu cukup membuat Utrecht memulangkannya ke Belanda tahun 2015.

Ia menukangi Utrecht dan di musim pertamanya hampir membawa tim ini juara KNVB Beker tahun 2016. Sayang di final kalah atas Feyenoord asuhan Giovanni van Bronckhorst. Barulah kesuksesan ia rengkuh ketika melatih Ajax tahun 2017.

Saat melatih Ajax itulah, karier Erik sehebat Hennie di dunia bisnis. Jika Hennie berhasil menguasai bisnis di Belanda, Erik sukses mempertahankan Ajax sebagai tim paling digdaya di Belanda. Gelar Eredivisie, KNVB Beker, hingga Piala Super Belanda ia raih bersama de Godenzonen.

Selain itu, prestasi yang tak terlupakan bagi Ajax adalah mengantarkan tim itu ke semifinal Liga Champions musim 2018/19. Yang mana pada perjalanannya berhasil mengalahkan Real Madrid dan Juventus. Dengan kesuksesan dan visinya, Ten Hag bahkan bisa meyakinkan manajemen Manchester United untuk merekrutnya.

Dengan melatih United, namanya terangkat. Apalagi sejak dilatih Ten Hag, MU berubah drastis ke arah yang lebih baik. Tidak hanya itu, kiprah sukses Ten Hag sebagai pelatih menaikkan martabat keluarganya.

Berkat Ten Hag, bisnis sang ayah makin terkenal. Kini, ia hanya fokus pada kariernya sebagai pelatih. Sementara bisnis sang ayah diteruskan oleh dua saudaranya, Michel dan Rico.

Sumber: LifeBogger, Libero, Mirror, talkSPORT, Tenhag, Fantasista

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru