Ironi Inggris yang Jadi Pencetus Sekaligus Pelanggar Aturan Rasisme

spot_img

Pada 26 Oktober 1863, sebuah aturan resmi perihal anti rasisme dalam sepakbola muncul di Inggris. Tepatnya di sebuah pub bernama Freemason Tavern, Great Queen Street, London. Sayangnya, menurut buku berjudul ‘Por Que Juegan Once Contra Once’ karya Luciano Wernicke, aturan anti rasisme itu hanya mencakup tentang teknis dalam pertandingan saja. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai urusan lain, termasuk sanksi yang nantinya bakal didapat oleh sang pelanggar.

Akibatnya, meski negara Inggris disebut sebagai pencetus aturan anti rasisme dalam sepakbola, disana juga terdapat kasus pertama tentang rasisme dalam sepakbola. Adalah Walter Tull, seorang pemain yang merupakan anak dari tukang kayu keturunan Afrika, dan ibu yang merupakan perempuan berkulit putih yang tinggal di Kent, Inggris.

Tull sendiri merupakan pemain yang memulai karir di Clapton, sebuah klub kecil yang berada di luar London. Berkat kegemilangannya dalam mengolah si kulit bundar, Tull lalu diminati oleh Tottenham Hotspurs yang ketika itu tengah naik daun usai menjuarai turnamen Piala FA.

Namun, baru memulai karir bersama Spurs dalam beberapa laga saja, Tull sudah temui kejadian yang tak mengenakkan. Dia menjadi sasaran empuk pemain lawan yang sengaja bermain kasar. Lebih parahnya lagi, dia juga mendapat hinaan dari suporter lawan tentang warna kulitnya.

Keadaan diperburuk dengan fakta bahwa tekanan membuat Tull tak mampu tampil lepas. Dari sepuluh laga yang dijalani, dia tercatat hanya berhasil ciptakan sebanyak dua gol saja.

Nyaris dalam setiap laga, warna kulit tampak menjadi masalah terbesar yang dialami Tull. Keadaan tersebut lantas membuatnya hijrah ke Northampton Town, dimana klub tersebut akhirnya menjadi yang tidak terlalu memberi tekanan lebih padanya. Terutama dalam hal rasisme.

Meski permainannya mulai membaik, Tull tiba-tiba memilih untuk bergabung dengan militer Inggris yang menjadi bagian dari Perang Dunia I. Sebuah hal luar biasa ketika mengetahui bahwa negara yang dibelanya merupakan negara yang banyak melempar cacian padanya.

Hingga tepat pada tahun 1918, dirinya gugur dalam First Battle of Bapaume di Prancis. Untuk mengenang jasa luar biasanya, pada tahun 1999, Northampton Town memberikan penghargaan tertinggi bagi sosok Tull dengan mendirikan sebuah monumen di area pinggir Stadion Sixfields.

Rasisme Masih Tumbuh Subur di Inggris Meski Sempat Mereda

Sejak kejadian rasisme pertama dalam sepakbola yang tercatat dalam sejarah, Inggris rupanya masih belum puas ciptakan momen kelam bagi sebagian pesepakbola. Tepat pada tahun 1988, mantan pemain Liverpool, John Barnes, menceritakan kejadian rasisme yang pernah ia alami ketika tampil di Inggris.

Menurutnya, seruan rasisme dalam sepakbola Inggris di era 80 an, pisang selalu menjadi bahan untuk melempar hinaan. Orang-orang tak bertanggung jawab selalu menggunakan benda tersebut sebagai alat untuk melempar kebencian kepada pemain berkulit hitam.

Menurutnya perilaku diskriminasi di masyarakat harus lebih dulu dihilangkan, baru kemudian memberantas aksi rasisme dalam sepakbola.

“Lupakan tentang sepak bola, kita harus berhenti mengotak-kotakannya dan melihatnya sebagai masalah di sepak bola sementara masyarakat lainnya baik-baik saja,”

“Kita harus memandangnya secara holistik dan secara utuh,,dan mengatakan mari kita lawan rasisme dan diskriminasi dalam hidup. Baru kemudian kita bisa menghapusnya dari sepak bola.” ujarnya. (via bbc)

Menurut Profesor Ellis Cashmore, sosiologis dan pakar dalam rasisme sepak bola, di Universitas Aston, rasisme dalam sepakbola, di Inggris khususnya, sejatinya sempat mengalami penurunan.

Menurutnya seperti dilansir dari BBC, rasisme sempat turun bila dibandingkan sejak tahun 1980 an silam. Namun, dalam dunia sepakbola yang memiliki banyak sekali penggemar, permasalahan ini memang sulit diberantas. Dia tidak menyangkal bila tradisi ini terbilang awet meski sempat mereda.

Pada 2014 silam, Profesor Cashmore pernah melakukan studi yang kian membuat bahwa rasisme memang tampak sulit diberantas dalam sepakbola. Penelitian itu melibatkan sekitar 2.500 penggemar sepak bola anonim, dalam upaya mengungkap sikap terhadap rasisme. Hasilnya, dia menemukan bahwa setengah dari jumlah penggemar itu pernah menyaksikan atau bahkan mengalami setidaknya satu bentuk rasisme dalam sepakbola Inggris.

Salah satu seorang penggemar yang ikut terlibat dalam penelitian Profesor Cashmore bahkan berani mengatakan,

“Siapapun yang rutin menghadiri pertandingan sepak bola akan mengatakan bila nuansa rasisme masih ada dan akan tetap hidup.” (via bbc)

Salah satu pemain Internasional Inggris, Marcus Rashford, juga ikut bersuara dalam persoalan memalukan dalam sepakbola ini. Menurutnya, di era digital seperti sekarang ini, tindakan rasisme jadi kian marak. Hal itu dibuktikan bahwa setidaknya ada 70 hinaan rasial yang diterimanya usai gagal membawa Manchester United menang melawan Villarreal, di ajang Europa League.

Tingkat Rasisme di Media Sosial

Masih dari laman BBC, tepat pada gelaran Piala Eropa 2020 kemarin, juga terdapat banyak tindak kejahatan rasisme di media sosial.

Asosiasi Pesepakbola Profesional Inggris, atau PFA, mengatakan bahwa data yang dirilis setelah laga final Euro 2020 menyoroti ada lebih dari 850.000 cuitan yang dianalisis selama turnamen berlangsung. Hasilnya, terdapat sebanyak 1.913 cuitan bernada rasisme. Cuitan tersebut kebanyakan mengarah pada pemain seperti Jadon Sancho, Bukayo Saka, Marcus Rashford, dan Raheem Sterling.

Bahkan 167 cuitan diantaranya dianggap sebagai pelecehan yang sudah sangat melewati batas.

Menanggapi hal tersebut, Twitter selaku salah satu media terbesar yang digunakan para jari tak bertanggung jawab itu, telah menghapus lebih dari 1000 cuitan dalam waktu 24 jam. Bahkan, mereka juga melenyapkan akun yang dianggap telah menebar kebencian serta ancaman berbahaya.

Mengikuti langkah Twitter, Facebook juga telah mengumumkan bila melalui platform Instagram, mereka telah menghapus banyak sekali akun secara permanen, yang terbukti melempar kebencian, baik itu melalui komentar maupun DM secara terus menerus.

Rasisme di Euro 2020

Data yang dirilis PFA untuk kemudian ditindaklanjuti oleh sejumlah media sosial terbesar itu bersumber dari ulah para suporter tidak bertanggung jawab, yang melempar hinaan kepada Marcus Rashford, Bukayo Saka dan Jadon Sancho, yang kita ketahui gagal mengeksekusi tendangan penalti di laga final melawan Italia.

Pejabat kepolisian Inggris, Mark Roberts, bahkan mengatakan bila pelecehan itu sangatlah keji. Dia bahkan langsung bergerak dengan melacak langsung keberadaan oknum-oknum suporter tersebut.

Hasilnya, sebanyak empat orang ditahan atas tuduhan kasus pelecehan dan ancaman kepada sejumlah pemain Inggris.

Menanggapi tindakan yang sekali lagi sangat memalukan itu, pelatih timnas Inggris Gareth Southgate dan sang penyerang, Harry Kane, mengatakan bila pelecehan rasis yang terjadi selama ini, utamanya di ajang Euro tersebut, sangatlah tidak bisa dimaafkan.

Bahkan, Kane berani berujar bila para penggemar itu bukanlah bagian dari Inggris dan layak untuk tidak diakui.

Sumber referensi: Fandom, BBC

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru