Juninho Pernambucano, Karim Benzema, Gregory Coupet, Squillaci, dan segenap pemain Olympique Lyonnais naik ke atas podium untuk merayakan kemenangan di Liga Prancis musim 2007/08. Kemenangan yang ironisnya, adalah kemenangan terakhir Lyon di Liga Prancis.
Lebih ironisnya lagi, itu adalah kemenangan terakhir Lyon setelah menguasai Ligue 1 selama tujuh musim secara beruntun sejak 2001/02. Hari ini klub berjuluk Les Gones itu justru lenyap dari pembicaraan. Kiprahnya di Liga Prancis seperti lilin yang habis dimakan api.
Tahukah kamu di mana Lyon berada sekarang? Musim ini jangankan menjadi pesaing juara, duduk di zona Eropa saja tidak. Sama seperti Liverpool, per 25 Januari 2023, Lyon berada di peringkat 9. Les Gones sudah kesulitan bersaing di papan atas sejak setidaknya dua musim terakhir.
Pernah Kuasai Liga Prancis
Melempemnya Lyon di Liga Prancis sukar dipercaya. Apalagi sejak 2002 sampai 2008 mereka bisa mendominasi. Bahkan Lyon punya kekuatan Galacticos-nya sendiri sebagaimana Real Madrid.
Selain diperkuat Juninho, nama beken seperti Sylvain Wiltord, Hatem Ben Arfa, Sidney Govou, Florent Malouda pernah berada di dalamnya. Lebih meyakinkan lagi karena pada 13 September 2005, pasukan Galacticos Lyon berhasil menghajar pasukan Galacticos Real Madrid yang diperkuat Beckham, Robinho, sampai Raul 3-0.
Tujuh musim beruntun Lyon menguasai Liga Prancis. Saingan terberat mereka bukan PSG, tapi Olympique Marseille dan Girondins Bordeaux. Nama yang terakhir berhasil merebut gelar Ligue 1 dari Lyon pada musim 2008/09. Sejak itu, Lyon sudah tak lagi juara. Namun, Les Gones tak pernah kesulitan masuk tiga besar Ligue 1.
Mulai Menurun Setelah 2008/09
Setelah tak lagi bisa juara, Les Gones masih bisa menjaga asa masuk ke zona Eropa. Kendati itu tidak mudah. Tim-tim Liga Prancis yang mulai menemukan kekuatannya menjelma batu sandungan bagi Lyon. Apalagi dengan PSG yang diakuisisi Qatar Sports Investments.
Liga Prancis pun seketika berada dalam kendali Paris Saint-Germain. Lyon masih bisa masuk ke zona Eropa. Tapi musim 2019/20, Les Gones mulai meredup.
Lyon hanya mampu finis di peringkat 7 kala itu. Walaupun bisa kembali lagi ke zona Eropa semusim setelahnya. Tapi Lyon kembali menurun di musim 2021/22 dengan finis di posisi kedelapan.
Jean-Michel Aulas
Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa Olympique Lyon mulai melempem? Jean-Michel Aulas adalah sosok di balik itu semua. Menggerakkan bisnis keuangan adalah hal tersulit di dunia sepak bola. Namun, Aulas menerobos hal itu.
Jean-Michel Aulas sebetulnya adalah orang yang sukses membangun Lyon. Ide-ide briliannya soal mengorbitkan pemain muda membuahkan hasil positif. Tak sedikit pemain hebat lahir dari rahim Lyon. Namun, sikapnya yang sedikit naif dan kadang oportunis itulah yang malah menyeret Lyon ke liang lahat.
Pria 72 tahun tak kokoh pendiriannya. Aulas termasuk negosiator ulung. Ia bisa meraup tak sedikit uang dari pemain yang ia jual. Aulas juga punya kebiasaan berhemat. Tapi hal tersebut justru yang jadi cikal bakal terpuruknya Olympique Lyonnais.
Petaka pun menghampiri. Konon karena berbagai pertimbangan, Aulas menguras habis kekuatan Lyon. Pada tahun 2014, Aulas melepas tak sedikit para bintang, seperti Bafetimbi Gomis dan Jimmy Briand. Kedua pemain itu dijual untuk keseimbangan pembukuan klub.
Aulas juga aktor di balik penjualan Karim Benzema dan Hugo Lloris. Kebijakannya menjual pemain hasil polesan Lyon dan menggantikannya dengan pemain murah berakibat fatal. Lyon terjungkal dari kompetisi Eropa dan sulit bersaing dengan PSG.
Kebanyakan Menjual Pemain
Dalam beberapa tahun sebelum 2009, Lyon adalah salah satu klub petelur talenta di Eropa. Karim Benzema, Hatem Ben Arfa, sampai Michael Essien adalah contohnya. Itu kembali lagi berkat Jean-Michel Aulas yang cerdik dalam menemukan bakat di wilayah metropolitan terbesar kedua di Prancis.
Namun, sikap Aulas yang oportunis lebih sering menjual para talenta berbakat. Tentu saja untuk mendulang keuntungan. Begitulah konsep yang dipakai Aulas. Menelurkan pemain muda, untuk kemudian dijual dengan nilai transfer yang sangat tinggi.
Misalnya, Lyon mendapatkan 35 juta euro (Rp570,4 miliar) dari penjualan Benzema ke Real Madrid. Les Gones juga mendapatkan 38 juta euro (Rp620 miliar) hasil penjualan Michael Essien ke Chelsea. Masalahnya, pada periode itu Lyon hanya menjadi tim penjual. Penjualan pemain berbakat tidak diimbangi dengan pembelian yang cermat.
Keringnya Bakat yang Muncul
Permasalahan Lyon tidak hanya karena pembelian yang kurang cermat. Tapi sumur bakat Lyon mulai mengering. Padahal sebelumnya, Les Gones pandai menemukan dan mengolah pemain. Lyon sukses menemukan bakat-bakat murah yang mereka impor dari Amerika Selatan dan Afrika, serta liga yang kala itu kecil, seperti Liga Portugal.
Metode semacam itu berhasil. Lyon menemukan pemain seperti Eric Abidal, Malouda, Miralem Pjanic, Mahamadou Diarra, sampai Hugo Lloris. Sistem yang dipakai oleh Lyon itu lantas dijiplak oleh tim-tim Eropa. Dua raksasa Portugal, Porto dan Benfica adalah tim yang paling berhasil menjiplak model bisnis Lyon.
Namun, ketika tim-tim Eropa memakai sistem Lyon, Lyon sendiri yang justru mengkhianati model bisnisnya. Sumur Lyon pun tak lagi menelurkan pemain berbakat. Hanya ada segelintir yang muncul, pun tidak terlalu bersinar. Sebut saja Houssem Aouar, Lacazette, sampai Rayan Cherki.
Kehilangan Juninho Pernambucano
Lyon sebenarnya bisa melakukan proyek jangka panjang. Namun, Les Gones tak konsisten melakukannya. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir Lyon kerap bergonta-ganti pelatih. Keragu-raguan selalu menyelimuti Lyon.
Mulai 2019 sampai hari ini saja, Lyon sudah ditangani lima pelatih yang berbeda. Bruno Genesio, Sylvinho, Rudi Garcia, Peter Bosz, sampai kini ditukangi Laurent Blanc. Alih-alih proyek jangka panjang, Les Gones hanya menjalankan rencana jangka pendek.
Meskipun dari tahun 2019 Lyon sudah menunjuk direktur olahraga. Mantan pemain, Juninho Pernambucano menduduki jabatan itu. Juninho ditunjuk untuk mengembalikan harapan fans. Alternatif yang ia gunakan adalah membawa para pemain Brasil, seperti Lucas Paquetá dan Bruno Guimarães.
Dua pemain itu bersinar. Tapi kini tidak lagi membela Lyon. Kendati demikian, terobosan yang dilakukan Juninho tak berefek signifikan. Alih-alih bersaing di papan atas, Lyon justru kian terpuruk di papan tengah. Tahun 2021, Juninho merasa harus melepaskan jabatannya.
Saat itu ia menderita kelelahan mental. Harapan tinggi dari para fans. Penunjukkan Sylvinho sebagai pelatih yang salah. Hubungan yang retak dengan Rudi Garcia. Semua itu memaksa Juninho menanggalkan jabatan.
Malang betul. Sampai hari ini belum ada kabar siapa menggantikan Juninho. Hal itu membuktikan bahwa Lyon sejatinya masih membutuhkan tenaga Juninho.
Sumber: BR, Indian Express, Sportskeeda, The Guardian, Foottheball