Selain dongeng “Si Kancil Mencuri Timun”, kisah Cinderella juga sering dibacakan oleh para ibu sebagai penghantar tidur anak-anaknya. Cinderella terkenal dengan kisah seorang wanita miskin yang disulap oleh ibu peri menjadi seorang putri cantik untuk menghadiri sebuah pesta di istana. Namun, keindahan itu hanya bertahan sekejap. Cinderella menjadi ratu hanya dalam waktu semalam.
Menariknya, kisah semacam ini pun kerap kali terjadi di dunia sepakbola. Olahraga nomor satu ini telah menjadi industri yang sangat menjanjikan saat ini. Tak heran jika para miliarder mencoba peruntungan dengan berinvestasi di klub-klub Eropa.
Namun, tak semua klub yang kedatangan investor kaya mampu bertahan lama dan mendulang prestasi. Beberapa dari mereka bahkan merasakan jadi klub kaya hanya dalam hitungan bulan dan langsung bangkrut begitu saja.
Daftar Isi
Anzhi Makhachkala
Yang pertama Anzhi Makhachkala. Apakah football lovers masih ingat dengan klub asal Rusia yang punya sejarah yang rumit ini? Setelah didirikan pada tahun 1991, Anzhi dikenal sebagai klub medioker yang doyan naik turun kasta di divisi bawah Liga Rusia.
Namun, semuanya berubah ketika klub berhasil promosi ke kasta tertinggi Liga Rusia pada tahun 2010. Itu merupakan kebangkitan dari klub yang berasal dari kota kecil minim sejarah sepakbola untuk dibanggakan.
Kegembiraan masyarakat lokal kian memuncak kala miliarder Rusia, yakni Suleyman Kerimov mengakuisisi 100% saham klub pada tahun 2011. Kabarnya Makhachkala merupakan kampung halaman dari Suleyman. Dalam sekejap Anzhi langsung jadi pembicaraan di seluruh dunia. Selain membangun infrastruktur, Suleyman juga memberikan dana besar untuk mendatangkan beberapa pemain bintang.
Pada tahun pertamanya, Anzhi berhasil mendatangkan pelatih, Guus Hiddink dan beberapa pemain macam Samuel Eto’o dari Inter Milan, Yuri Zhirkov dari Chelsea, Chris Samba dari Blackburn, Willian dari Shakhtar Donetsk hingga legenda Brazil, Roberto Carlos. Berisikan skuad mewah, Anzhi berhasil menembus empat besar Liga Rusia dan tampil di kompetisi Eropa pada musim 2012/13.
Namun, setelah musim yang luar biasa itu malapetaka pun datang. Guus Hiddink mengundurkan diri. Suleyman melihat laporan keuangan tengah merugi. Maka ia pun memutuskan menjual tak sedikit pemain bintangnya demi memperoleh uangnya kembali.
Musim 2013/14 pun berakhir tragis bagi Anzhi. Setelah skuad mewahnya dibubarkan, mereka finis di urutan terakhir dan harus rela kembali ke divisi kedua Liga Rusia. Kerimov pun akhirnya menjual klub pada Desember 2016 kepada Osman Kadiev.
Lebih buruknya lagi, mereka gagal mendapatkan lisensi dari Persatuan Sepak Bola Rusia menjelang musim 2019/20. Itu lantaran hutang yang menggunung dan buruknya manajemen. Anzhi bahkan ditendang dari liga utama Rusia dan harus memulai dari divisi ketiga.
Guangzhou Evergrande
Selanjutnya ada Guangzhou Evergrande. Klub yang pernah jadi Real Madrid-nya China ini sekarang keadaannya sangat memprihatinkan. Kabarnya, kini Guangzhou telah terdegradasi dari kompetisi kasta tertinggi Liga China.
Pada tahun 2010 Guangzhou masih berlaga di kasta kedua menarik pebisnis kaya Xu Jiayin untuk membelinya. Jiayin sendiri adalah bos Evergrande Real Estate Group. Akhirnya Guangzhou FC pun berganti nama menjadi Guangzhou Evergrande.
Setelah itu Guangzhou membangun sendiri sejarahnya. Di sepakbola China, Guangzhou dikenal sebagai klub paling sukses. Mereka punya belasan gelar bergengsi dan pernah dilatih Marcello Lippi, Luiz Felipe Scolari, hingga legenda tim nasional Italia, Fabio Cannavaro.
Era kejayaan Guangzhou Evergrande juga diperkuat pemain-pemain berlabel Eropa seperti Alberto Gilardino, Alessandro Diamanti, Paulinho, Jackson Martinez, Robinho, hingga Lucas Barrios. Selain itu, klub ini juga sempat menduduki peringkat keempat sebagai kesebelasan dengan pundi-pundi uang terbesar di dunia.
Namun, usia kejayaan klub hanya bertahan sekitar 10 tahun saja. Pada akhir tahun 2021, perusahaan Evergrande Real Estate Group terlilit hutang dan terancam bangkrut. Dilansir CNBC, total utang Evergrande mencapai 300 miliar dollar Amerika (Rp4,3 kuadriliun). Itu belum termasuk hutang lain yang tak tercatat.
Hal tersebut mengganggu finansial klub dan Guangzhou pun akhirnya melepas beberapa pemain bintangnya demi mengurangi beban gaji. Saking sulitnya membayar hutang, Evergrande sampai meminta pertolongan kepada pemerintah China agar perusahaan-perusahaan milik negara membeli beberapa aset mereka.
Puncak kehancuran Guangzhou adalah di Liga Super China 2022. Klub finis di urutan ke-17 dengan hanya mengantongi 3 kemenangan. Akhirnya, mereka pun harus rela kembali ke habitat asal, yakni Divisi Dua Liga China.
Malaga
Klub selanjutnya berasal dari Spanyol, yakni Malaga. Klub yang bermarkas di Estadio La Rosaleda ini dinyatakan hampir bangkrut pada tahun 2009 silam. Namun, nasib mereka masih mujur ketika investor asal Qatar, Sheikh Abdullah bin Nasser Al Thani membeli klub Spanyol tersebut.
Di era Sheikh Abdullah, klub langsung berbenah dengan menjadikan Manuel Pellegrini sebagai pelatih. Dalam persiapan menghadapi musim 2011/12, Malaga bahkan berhasil menggandeng sponsor besar yakni Nike sebagai pemasok perlengkapan dan mencapai kesepakatan kolaborasi dengan UNESCO.
Tak lupa Sheikh Abdullah juga menyuntikan dana guna mendatangkan beberapa pemain bintang seperti Ruud van Nistelrooy, Santi Cazorla, Julio Baptista, hingga Isco. Walaupun Malaga tidak meraih trofi, tapi Los Boquerones berhasil menembus papan atas Klasemen dan lolos ke Liga Champions musim 2012/13.
Sayangnya, kekayaan Malaga tak bertahan lama. Malaga kembali terancam bangkrut karena terlilit hutang. Untuk mengatasi masalah finansial yang membelit, pada musim panas 2013, Isco dijual ke Real Madrid. Lalu, Joaquin ke Fiorentina dan Jeremy Toulalan ke AS Monaco. Posisi pelatih juga berubah dengan Bernd Schuster mengambil alih kursi Pellegrini.
Obral pemain dan pergantian kursi pelatih mempengaruhi performa Malaga di Liga Spanyol. Puncaknya pada April tahun 2018, Los Boquerones kalah 0-1 dari Levante dan harus terdegradasi ke Segunda Division untuk pertama kali setelah 10 musim bertahan di kasta tertinggi.
Portsmouth
Terakhir dan mungkin jadi yang paling kontroversial adalah Portsmouth. Klub asal Inggris ini juga pernah menjadi klub kaya raya selama dua bulan. Kok bisa? Semua berawal saat investor asal UAE, Sulaiman Al-Fahim mengambil alih klub tahun 2009. Al-Fahim sendiri merupakan pengusaha asal Uni Emirat Arab. Spesialisasi utamanya adalah real estate.
Pada Mei 2009, Al-Fahim yang pada saat itu gagal membeli Manchester City, beralih ke klub yang lebih murah, yakni Portsmouth. Namun, yang aneh adalah proses negosiasi maupun nominal yang dibayarkan Al-Fahim semuanya dirahasiakan. Tahu-tahu diresmikan saja pada Agustus 2009.
Al-Fahim pun menjanjikan 50 juta pounds (Rp921 miliar) untuk klub belanja pemain. Tapi itu hanya omong kosong. Belum ada enam bulan kekayaan tersebut sirna. Keadaan klub justru makin aneh ketika mereka menjual beberapa pemain bergaji tinggi macam Peter Crouch dan Niko Kranjcar. Baru dua bulan, media Inggris bahkan sudah memberitakan kalau Al-Fahim ingin menjual Portsmouth kepada Ali Al-Faraj, pengusaha asal Arab Saudi.
Setelah kesepakatan itu tercapai, terungkap proses negosiasi Sulaiman saat membeli Portsmouth. Dilansir BBC, sebagian uang yang digunakan untuk membeli klub adalah hasil curian. Al-Fahim menggunakan 5 juta pounds (Rp92 miliar) yang ia curi dari istrinya untuk membayar komitmen fee dalam proses pembelian saham The Pompey. Pasca dilepas oleh Al-Fahim, keadaan klub makin nggak jelas. Sering gonta-ganti pemilik dan akhirnya terdampar di divisi ketiga Liga Inggris.
Sumber: BBC, These Football Times, 90min, GMS, Arabnews, Nytimes