Fiorentina yang Tak Membiarkan David De Gea Mati Membusuk

spot_img

Dalam sebuah hubungan, apapun itu, kita mengenal peribahasa “Habis manis, sepah dibuang”. Peribahasa ini menggambarkan seseorang yang dilupakan oleh orang lain ketika sudah tidak dibutuhkan lagi. Dalam terminologi sepakbola, habis manis, sepah dibuang bisa disamakan dengan nasib David De Gea di Manchester United.

Setelah kurang lebih 12 tahun lamanya, David De Gea diperas habis sari-sarinya oleh Setan Merah, lalu dibuang begitu saja ketika dirasa sudah tidak dibutuhkan. Itu jadi momen yang sulit bagi seorang pesepakbola. Apalagi, kala itu De Gea sudah kepala tiga. Tak mudah baginya untuk menemukan klub baru yang cocok dengan segala kebutuhannya.

Namun, terbuang dan disia-siakan tak membuat De Gea menyerah dengan keadaan. Penjaga gawang penyuka musik metal itu move on dan mengubur dalam-dalam luka yang digoreskan oleh Setan Merah. Namun, De Gea tidak sendiri dalam melaluinya. Ketika hampir mati membusuk, Fiorentina datang memberi kesempatan kedua. Bersama La Viola, De Gea membuktikan kepada khalayak. Bahwa dirinya belum habis.

Lantas, bagaimana cara De Gea melalui masa-masa sulit itu? 

Akhir yang Menggantung di MU

Sudah menjadi rahasia umum jika David De Gea adalah salah satu warisan terbaik dari Sir Alex Ferguson. Selama bertahun-tahun, posisi De Gea sebagai penjaga gawang utama Manchester United tak tergantikan. Dirinya selalu dihormati oleh pemain dan pelatih yang silih berganti.

Namun, di masa-masa terakhir David De Gea bersama Manchester United, suasananya mulai berubah. Terutama setelah kedatangan pelatih baru Erik Ten Hag. Di mata pelatih berkepala botak itu, David De Gea mulai tidak diperhitungkan sebagai pemain penting di skuad Setan Merah. 

Sebetulnya ini hanya perihal selera. Sang manajer merupakan penggemar berat penjaga gawang yang mampu memainkan bola dengan kakinya. Ten Hag ingin memiliki kiper yang piawai mengatur ritme permainan, mau terlibat dalam membangun serangan dari bawah, dan tidak mudah panik saat mendapat tekanan dari lawan.

Sementara De Gea dikenal sebagai shot stopper. Ia bermain sebagaimana harusnya penjaga gawang. Menggunakan seluruh bagian tubuhnya untuk mencegah bola masuk ke gawangnya. De Gea salah satu yang terbaik di kelasnya. Tapi mau sebaik apa pun, kalau yang dicari Ten Hag tidak ada di dirinya, maka De Gea tetap dirasa kurang.

Tak heran ketika De Gea mendapatkan penghargaan Golden Gloves di Liga Inggris musim 2022/23 dengan catatan 17 clean sheet, itu tidak berarti apa-apa bagi Ten Hag. Padahal, seluruh pemain United bertepuk tangan dan mengapresiasi pencapaian tersebut. 

Menganggur

Meraih gelar individu tidak membuat Ten Hag terpukau akan performa David De Gea. Tujuan sang pelatih jelas. Ingin mencari penjaga gawang yang jago build up permainan dari bawah. Alhasil, perpanjangan kontrak sang penjaga gawang pun terus ditunda. Ten Hag ingin De Gea menjadi penjaga gawang kedua dan menurunkan gajinya.

Namun, De Gea tak mau menyanggupi tawaran tersebut. Penurunan gaji sih oke, tapi jadi yang kedua bukan sebuah pilihan yang ideal baginya. Setelah diskusi panjang, Ten Hag dan manajemen United pun sepakat untuk tidak memperpanjang kontrak sang pemain. 

De Gea akhirnya hanya bisa narimo ing pandum. De Gea dilepas tanpa penghormatan. Dirinya tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato di hadapan fans seperti legenda yang lain.

Kepergian De Gea dari United jadi kabar yang cukup menggemparkan. Selain karena mendadak, sang penjaga gawang sudah terlalu identik dengan klub yang berasal dari Kota Manchester itu. Meski terbuang, De Gea tak sepi peminat. Beberapa klub langsung menghubungi agennya.

Dari mulai Bayern Munchen, Valencia, Real Betis, Villarreal, hingga klub-klub Arab Saudi pun mulai berdatangan. Namun, dari banyaknya tawaran tak ada yang membuat hati De Gea tergerak. Alhasil, sang penjaga gawang pun memutuskan untuk break terlebih dahulu. Ia mengambil waktu istirahat sambil melangsungkan pernikahannya dengan sang kekasih, Edurne Garcia.

Hampir Pensiun

Selama menganggur, De Gea tak hanya berlibur dan bulan madu dengan sang istri. Dirinya juga disibukkan dengan pengembangan diri. Kita semua tahu bahwa De Gea sesekali menjadwalkan latihan mandiri di negara asalnya, Spanyol. Itu dibuktikan dengan unggahannya bersama pelatih pribadinya, Luis Maria Garcia.

Dalam video-video yang diunggahnya di media sosial, De Gea terus berusaha mempertajam insting dan refleksnya sambil menunggu tawaran yang masuk. Selain itu, De Gea juga menambah porsi latihan dengan kakinya. Umpan jarak menengah dan umpan jarak jauh jadi menu favoritnya bersama sang pelatih.

Namun, konsentrasi latihannya kadang terganggu. Tak kunjung menemukan klub baru, membuat De Gea kehilangan hasrat bermain bola. The Athletic bahkan sempat melaporkan bahwa De Gea mempertimbangkan untuk mengakhiri karirnya. Ia merasa sulit untuk kembali bermain. Dirinya masih dihantui kekesalan pada Ten Hag dan John Murtough. Keduanya ia anggap sebagai biang kerok kepergiannya dari Old Trafford. 

Fiorentina Datang

Di saat mulai putus asa, Fiorentina pun datang dengan menawarkan kesempatan kedua. Mereka menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi De Gea di Italia. Proyek yang ditawarkan Fiorentina membuatnya bersemangat. Ia dijanjikan menit bermain yang cukup dan sepakbola Eropa.

Namun, dengan catatan gajinya harus jauh lebih kecil dari sebelumnya. Alhasil, De Gea pun menyanggupi syarat itu. Penjaga gawang berusia 33 tahun itu menandatangani kontrak berdurasi satu tahun dengan gaji senilai 1 juta euro per musim belum termasuk bonus. Itu gaji yang jauh jika dibandingkan dengan United yang kala itu mampu membayarnya 444 ribu euro per pekan.

Sempat Diragukan

Merekrut pemain yang sudah setahun penuh nganggur, Fiorentina tak lepas dari kritik dan pertanyaan-pertanyaan sinis. Seperti “Mengapa harus De Gea?” atau “Seperti tidak ada pilihan lain saja.” Keraguan yang hadir di benak sebagian fans dan pundit sepakbola Italia diperkuat dengan debut buruk sang penjaga gawang.

Seperti yang diwartakan The Sun, De Gea alami mimpi buruk di laga debut melawan klub Hungaria, Puskas Academy di ajang play-off Liga Konferensi Eropa. Melawan tim antah berantah tersebut, De Gea malah kebobolan dua gol dalam waktu 12 menit saja. Para penggemar pun tak tahan untuk tidak mengolok-olok sang pemain.

Beberapa fans menganggap De Gea sama saja. Tidak berubah sejak meninggalkan United. Metode latihan pribadi yang dilakukan selama satu tahun terakhir dinilai omong kosong oleh fans yang geram dengan performanya. Untungnya, La Viola terhindar dari kekalahan. Laga berakhir dengan skor 3-3.

Pembuktian

Dirasa kurang puas dengan performanya sendiri, De Gea pun bangkit di pertandingan-pertandingan berikutnya. Seperti misalnya di leg kedua melawan Puskas Academy. De Gea mampu membawa La Viola lolos ke babak berikutnya usai menang melalui adu penalti. 

Berdasarkan laporan Fotmob, penjaga gawang berusia 33 tahun tersebut jadi pemain terbaik dan sukses melakukan delapan penyelamatan dalam 120 menit. Selain itu, ia juga berhasil menepis satu tembakan lawan di babak adu penalti. Tak berhenti di situ, penampilan paling heroik ditunjukan De Gea kala menghadapi AC Milan.

Menghadapi tim kuat, De Gea menjadi pilihan utama Raffaele Palladino. Sang penjaga gawang pun membayar kontan kepercayaan Palladino. Berdasarkan statistik Fotmob, De Gea diganjar rating 9,3 karena melakukan tujuh penyelamatan krusial plus menggagalkan dua penalti Milan yang dieksekusi oleh Tammy Abraham dan Theo Hernandez. 

Berkat performa menawannya, La Viola pun menang 2-1 atas Milan. Ini sebuah kebangkitan sekaligus rekor yang fantastis. Dari biang keladi kegagalan final Europa League, kiper yang diasingkan, terbuang, hingga akhirnya terlahir kembali bersama Fiorentina. Kisah zero to hero yang terdengar biasa. Tapi nggak semua orang bisa.

Sumber: Sky Sport, ESPN, Goal, Football Italia, The Sun

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru