Jika kalian masih berpikir bahwa Liga Inggris adalah kompetisi paling kompetitif di dunia, itu berarti pandangan kalian masih kuno. Pola pikir demikian tidak sejalan dengan status Manchester City yang sudah menjuarai Liga Inggris sebanyak empat kali secara beruntun sehingga membuat Premier League terlihat seperti Liga Petani.
Soal bagaimana cara City melakukannya, Starting Eleven Story sudah pernah membahas. Tak perlu dijelaskan lagi. Karena yang akan kita bahas kali ini bukan Liga Inggris, melainkan kompetisi paling kompetitif yang sebenarnya. Ya, kompetisi tersebut adalah Serie A. Berbeda dengan Premier League, dalam tiga tahun terakhir Serie A melahirkan juara yang berbeda-beda.
Level kompetitifnya pun sudah mencapai tahap ekstrim di musim ini. Nggak percaya? Berikut adalah bukti uniknya persaingan Serie A musim 2024/25.
Daftar Isi
Juventus Tak Terkalahkan
Persaingan di papan atas sebuah kompetisi pasti akan menyajikan tontonan yang menarik. Namun, yang terjadi di Serie A musim 2024/25 cukup aneh. Selisih poin yang tak terlalu jauh, membuat para pemegang gelar dalam lima musim terakhir saling sikut untuk mengisi posisi empat besar.
Namun, mereka memiliki fakta dan latar belakang kondisi tim yang unik. Salah satunya adalah Juventus. Setelah bertengkar dengan sang pelatih lama, Massimiliano Allegri, La Vecchia Signora menunjuk mantan pelatih Bologna, Thiago Motta sebagai pelatih baru musim ini.
Hasilnya? Tidak mengecewakan. Karena Juventus tercatat jadi satu-satunya tim yang belum terkalahkan di Serie A musim 2024/25. Bahkan Motta berhasil membawa Juventus sejajar dengan PSG dan Bayern Munchen sebagai salah satu dari sedikitnya tim yang belum terkalahkan di kompetisi domestik.
Namun, ada satu hal yang membedakan Juventus dengan dua tim yang belum terkalahkan lainnya. Jika PSG dan Munchen mampu memuncaki klasemen di masing-masing kompetisi, Dusan Vlahovic cs justru nyangkut di urutan keenam klasemen sementara.
Meski statusnya belum terkalahkan, Juventus ternyata terlalu sering membuang-buang poin. Dari 12 laga, separuhnya berakhir imbang. Yang menyedihkan, Juve cukup sering dibuat kesulitan oleh tim-tim papan tengah dan papan bawah. Contohnya saja saat imbang 2-2 melawan Parma. Juve harus susah payah mengejar ketertinggalan karena tertinggal lebih dulu oleh gol Enrico Del Prato.
Sang Juara Bertahan
Nasib yang berbanding terbalik juga dialami oleh Inter Milan. Tapi bukan sebagai tim yang belum terkalahkan ya, melainkan sebagai tim yang menyandang status juara bertahan.
Musim lalu, Inter bahkan juara dengan meyakinkan karena berhasil menjaga jarak 19 poin dengan peringkat kedua, yakni AC Milan. Namun, awal musim ini mereka kurang greget.
Sebetulnya start mereka tidak terlalu buruk. Skuad asuhan Simone Inzaghi berhasil tak terkalahkan dalam empat pertandingan awal musim 2024/25. Satu-satunya kekalahan yang dialami Inter adalah saat menghadapi rival sekota, AC Milan. Mereka kalah 1-2 di San Siro.
Meski begitu, Nerazzurri hanya berada di urutan keempat klasemen sementara Serie A. Posisi klasemennya kalah dari Atalanta yang sudah menelan tiga kekalahan. Mengapa demikian? Kasusnya hampir sama dengan Juventus, Inter terlalu sering imbang. Dari 12 laga yang sudah dimainkan, Inter meraih hasil seri sebanyak empat kali.
Selain itu, Inter kalah dalam selisih gol. Dengan torehan 31 gol, Atalanta berstatus sebagai tim terproduktif sejauh ini. Berbeda dengan Inter yang cuma bisa ngegolin 26 kali. Di sisi lain, Inter juga buruk dalam bertahan. Dari 12 laga, mereka sudah kebobolan 14 kali. Itulah mengapa sang juara bertahan berada di peringkat keempat.
Napoli di Atas Lagi
Jika Inter Milan dan Atalanta memiliki performa yang bagus, mengapa tidak satupun dari mereka yang memuncaki klasemen? Yang memuncaki klasemen malah Napoli. Padahal, Napoli cuma bisa cetak 19 gol. Fenomena ini bisa terjadi karena skuad asuhan Antonio Conte memenangkan lebih banyak pertandingan dari Inter. Dan memiliki jumlah kekalahan yang lebih sedikit dari Atalanta.
Il Partenopei telah mengumpulkan delapan kemenangan dan dua hasil imbang. Itu membuat tim yang identik dengan Diego Maradona itu berhasil meraup 26 poin. Dengan jumlah poin itu, Napoli berhak menguasai puncak klasemen Serie A. Lucunya, semua pencapaian yang diraih oleh Napoli didapat setelah masa-masa sulit di musim lalu.
Musim 2023/24, Napoli layak mendapat status sebagai juara bertahan terburuk. Bagaimana tidak? Berstatus juara bertahan, performa Napoli justru jeblok usai ditinggal oleh Luciano Spalletti. Gonta-ganti pelatih sampai tiga kali, semuanya tidak membuahkan hasil. Mulai dari Rudi Garcia, Walter Mazzarri, hingga Francesco Calzona semuanya gagal mendongkrak performa Napoli.
Alhasil, klub yang berwarna biru langit itu cuma finis di urutan ke sepuluh. Lebih buruk dari Torino dan Bologna. Menariknya, pencapaian Napoli musim ini tanpa penyerang terbaiknya ketika menjuarai Serie A, Victor Osimhen. Conte tak masalah, karena dia sudah membeli pemain kesayangannya, Romelu Lukaku.
Lazio yang Ngirit
Lazio lebih parah lagi. Setelah ditinggal Maurizio Sarri pada Maret 2024, Lazio kesulitan mencari pengganti yang sepadan. Akhirnya, mereka menunjuk Igor Tudor di pertengahan Maret 2024. Namun, ketika sudah susah payah membujuknya, Tudor justru mundur saat musim baru akan dimulai. Alasannya, karena Tudor tidak sependapat soal jatah anggaran belanja pemain.
Apalagi, Lazio baru saja melepas sang mesin gol, Ciro Immobile ke Besiktas. Daripada mumet di akhir, Tudor memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak kerjasamanya dengan Lazio. Di saat bingung mau menunjuk siapa, Marco Baroni akhirnya jadi harapan terakhir klub. Pelatih medioker itu tak masalah dengan dana cekak di bursa transfer.
Itu karena Baroni sudah biasa mengalami hal serupa kala menangani tim-tim kecil macam Reggina atau Cremonese. Dana sekitar 30 juta euro pun dimanfaatkan dengan baik oleh sang pelatih. Ia banyak mencari pemain-pemain gratisan dan pemain yang cukup oke untuk dipinjam. Itu karena separuh anggaran sudah dipakai untuk mempermanenkan Matteo Guendouzi dari Marseille.
Baroni bahkan hanya menggantikan Ciro Immobile dengan Boulaye Dia yang dipinjam dari Salernitana. Meski bermodalkan pemain seadanya, Baroni terbukti berhasil mengoptimalkan performa tim. Kini, tim yang lagi ngirit itu justru berada di urutan kelima. Unggul satu poin dari Juventus.
Pecundang UECL
Fiorentina juga tak kalah mengejutkan. Dua kali menjadi pecundang di Conference League, tak membuat mental La Viola goyah. Bersama pelatih baru, yakni Raffaele Palladino yang masih berusia 40 tahun, Fiorentina tampil cukup mengesankan. Kini mereka menduduki peringkat ketiga dengan torehan 25 poin.
Di bursa transfer, La Viola tak begitu menonjol. Mereka hanya menampung pemain-pemain buangan seperti Moise Kean dan David De Gea. Namun, meski berstatus buangan, pemain itu didaur ulang agar lebih berguna di skema permainan Palladino. Jika Palladino berhasil mempertahankan performa Fiorentina, bukan tidak mungkin mereka bisa menyudahi kesialan di Liga Melon dan tampil di Liga Champions musim depan.
Top Skor Pemain Lokal
Tak cuma persaingan di papan atas saja yang memiliki kisah menarik. Persaingan di daftar pencetak gol terbanyak Serie A pun demikian. Jika musim lalu didominasi oleh pemain asing seperti Dusan Vlahovic, Lautaro Martinez, dan Victor Osimhen, musim ini daftar pencetak gol terbanyak di Serie A dipimpin oleh pemain-pemain lokal.
Dua nama teratas di daftar top skor dipegang oleh pemain-pemain Italia. Mereka adalah Moise Kean dengan delapan gol dan Mateo Retegui dengan 11 gol. Terakhir kali top skor Serie A dipimpin oleh pemain Italia adalah musim 2021/22. Saat itu, Ciro Immobile berhasil menggondol sepatu emas usai mengemas 27 gol. Fenomena ini seakan menandakan bahwa Retegui bisa jadi harapan baru untuk lini serang Gli Azzurri.
Sumber: Planet Football, Serie A, Sport Star, Media Indonesia