Jika kalian pernah mengenal istilah 7 dosa besar manusia, maka salah satunya telah dilakukan oleh Timnas Prancis. Mereka terlalu berlebihan dalam merayakan sesuatu. Kesombongan telah menguasai mereka dengan merasa paling benar dan berkuasa di muka bumi ini. Sifat berlebihan membuat Prancis terjebak dan menghancurkan dirinya dengan cara yang tak terduga di perhelatan EURO 2016.
Bermain di hadapan publik sendiri, Les Bleus dan masyarakat Prancis lebih memilih jumawa ketimbang rendah hati saat berhasil mencapai partai puncak. Di saat gelar juara sudah di depan mata, mereka justru menelan pil paling pahit berlabel “kekalahan”. Untuk memantik memori lama kalian, berikut kita sajikan kisah kegagalan paling memalukan Prancis di rumah sendiri.
Daftar Isi
Persiapan yang Matang
Kegagalan di kompetisi EURO bak kawan karib bagi Timnas Prancis. Sejak menjuarainya pada tahun 2000, Prancis sangat kesulitan untuk mengulangi prestasi itu. Dari edisi 2004, 2008 hingga 2012, hasilnya selalu sama. Prancis yang dijagokan setiap tahunnya malah gagal membawa pulang trofi. Bahkan, mereka tetap gagal meraihnya ketika trofi EURO sudah berada di Prancis pada tahun 2016.
Pasca gagal di Euro 2012, Prancis kembali melakukan perombakan. Selain menyingkirkan pemain-pemain yang sudah usang, federasi sepakbola Prancis memberikan sedikit suntikan DNA juara dengan menunjuk Didier Deschamp sebagai pelatih Timnas Prancis berikutnya.
Deschamp yang pernah menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa tahun 2000 ditunjuk untuk menggantikan pelatih sebelumnya, Raymond Domenech. Deschamp diberikan kebebasan untuk menyusun pemain. Ia bahkan diizinkan untuk memantau dan menguji sendiri kelayakan pemain yang akan membela Les Bleus.
Persiapan pun dimulai lebih awal dari biasanya. Itu demi mencapai hasil yang maksimal dalam lima tahun kedepan lantaran Piala Eropa selanjutnya akan diselenggarakan di Prancis. Les Bleus kali ini akan bertindak sebagai tuan rumah EURO 2016. Namun, sebelum itu mereka akan bermain di Piala Dunia terlebih dahulu. Berbekal skuad yang belum matang, Prancis kembali dari Piala Dunia 2014 dengan tangan kosong.
Mereka kalah dari Jerman di babak perempat final. Meski gagal, Deschamp tak ambil pusing. Karena ini baru kerangka awal. Toh secara permainan, tim asuhannya telah mengalami banyak peningkatan. Mereka hanya kurang beruntung saja menghadapi Jerman yang sudah jauh lebih siap.
Sang pelatih memadukan pemain-pemain muda dan senior. Pemain-pemain seperti Patrice Evra, Laurent Koscielny, Olivier Giroud, hingga Andre-Pierre Gignac berkolaborasi dengan pemain-pemain yang lebih muda seperti Raphael Varane, Paul Pogba, dan Antoine Griezmann. Rising star seperti N’Golo Kante, Dimitri Payet, dan Kylian Mbappe pun dipanggil guna melengkapi skuad.
Federasi sepakbola Prancis pun mulai menyusun agenda uji coba. Laga demi laga telah dilewati dan Prancis mengantongi hasil yang sangat memuaskan dalam dua tahun. Dari 16 laga, Prancis hanya kalah empat kali. Mereka bahkan mengalahkan Spanyol, Jerman, dan Portugal sampai dua kali. Skuad Prancis kali ini terlihat lebih siap dari sebelum-sebelumnya.
Diguncang Teror
Di saat tim sudah siap dan kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat Prancis, peristiwa memilukan justru melanda Prancis. Menjelang EURO 2016, Prancis diguncang beberapa serangan teror mematikan. Banyak korban berjatuhan, tingkat keamanan negara Prancis pun mulai dipertanyakan.
Semua berawal pada awal Januari tahun 2015. Kala itu, peristiwa yang tak terduga menimpa gedung Charlie Hebdo. Kantor surat kabar yang sedang beroperasi dan dipenuhi oleh para pekerja disusupi oleh dua pria bersenjata. Tercatat ada 12 orang korban jiwa dan 11 lainnya mengalami luka-luka akibat insiden ini.
Di saat duka belum mereda dan air mata keluarga korban belum mengering, serangan dalam skala yang jauh lebih besar terjadi beberapa bulan setelahnya. Setidaknya, ada tujuh titik yang menjadi target serangan para organisasi terlarang ini. Mulai dari kantor, lokasi konser, restoran, hingga stadion sepakbola semua mengalami dampaknya. Serangan besar-besaran ini kabarnya menewaskan sampai 129 orang.
Salah satu stadion yang terdampak oleh serangan ini adalah Stade de France, yang saat itu sedang menggelar laga persahabatan antara Prancis vs Jerman. Padahal stadion tersebut nantinya akan menjadi salah satu venue Piala Eropa 2016. Laga pembukaan dan final rencananya akan digelar di stadion bersejarah itu.
Ini jelas jadi pukulan telak bagi calon tuan rumah. Rangkaian insiden yang sampai menelan banyak korban itu menimbulkan kekhawatiran dari berbagai negara yang berpartisipasi di putaran final Piala Eropa 2016. Namun, pihak penyelenggara memastikan turnamen akan tetap berjalan sesuai rencana. Mereka tak akan membatalkan atau memindahkan lokasi turnamen meski ada serangan teror.
Fase Grup
Piala Eropa 2016 jadi misi ganda yang harus dituntaskan oleh Timnas Prancis. Kini, bebannya bukan lagi menjuarai kompetisi, melainkan jadi ajang pembuktian bahwa Prancis adalah negara yang aman dan bersahabat bagi negara-negara lain. Hal yang selaras juga ditegaskan oleh Hugo Lloris sebelum kick off laga pembuka kontra Rumania.
“Seluruh warga Prancis benar-benar membutuhkan gelar ini, untuk menguatkan diri agar selalu dalam kebersamaan. Kami telah mengalami masa-masa sulit berupa kejadian tragis. Tapi kami bangga tampil di lapangan dan kami benar-benar merasakan bahwa warga Prancis berada di belakang kami,” kata Lloris kepada BBC.
Diiringi doa seluruh masyarakat Prancis, Les Bleus memulai EURO 2016 dengan satu langkah pasti, yakni mengalahkan Rumania di laga pembuka. Mengakhiri babak pertama dengan skor kacamata, Prancis menyusun rencana kejutan di babak kedua. Olivier Giroud membuka kran gol Prancis tandukannya di menit 57. Striker AC Milan itu berhasil mendahului penjaga gawang Rumania saat berduel di udara.
Keunggulan Les Bleus tak bertahan lama, keputusan yang keliru dari Patrice Evra ketika mengantisipasi pergerakan Nicolae Stanciu membuahkan penalti untuk Rumania. Bogdan Stancu yang ditunjuk sebagai eksekutor pun menunaikan tugasnya dengan sangat baik. Hugo Lloris berusaha menebak arah bola, tapi ia menjatuhkan badan ke arah yang salah. Rumania menyamakan kedudukan menit 65.
Dua menit sebelum laga usai, Dimitri Payet muncul sebagai pembeda. Melalui gol spektakulernya, Prancis mengunci kemenangan 2-1 atas Rumania. Tren positif pun berlanjut di laga kedua melawan Albania. Meski terasa sulit, Prancis berhasil mengakhiri perlawanan Albania dengan skor 2-0.
Setelah 20 tembakan yang gagal menembus gawang Etrit Barisha, kesabaran Timnas Prancis akhirnya membuahkan hasil di menit ke-90. Antoine Griezmann yang masuk sebagai pemain pengganti membuka keunggulan melalui sundulan. Enam menit berselang, Payet lagi-lagi jadi pengunci kemenangan melalui tendangan pisangnya.
Sementara di laga ketiga kontra Swiss, pertandingan berjalan cukup membosankan. Hugo Lloris dkk mengakhiri laga dengan hasil imbang 0-0. Walaupun demikian, Prancis tetap lolos ke fase knock out sebagai juara Grup A dengan perolehan tujuh poin.
Comeback Lawan Ireland
Lolos sebagai juara grup, skuad asuhan Didier Deschamp berhak menantang Republik Irlandia yang lolos sebagai peringkat tiga terbaik. Di atas kertas, Prancis jelas diunggulkan dalam duel babak 16 besar kali ini. Namun, seluruh penonton yang hadir di Groupama Stadium dibuat terbelanga saat Irlandia justru unggul lebih dulu melalui sepakan penalti di menit-menit awal.
Selama babak pertama, Prancis gagal menyamakan kedudukan. Paul Pogba dan rekan-rekan memasuki ruang ganti dengan keadaan tertinggal 1-0. Meski demikian, Tim Ayam Jantan memulai babak kedua dengan optimis. Mereka seperti tak kehilangan rasa percaya diri meski dalam keadaan tertinggal.
Entah petuah apa yang disampaikan oleh Deschamp di jeda laga, para pemain Timnas Prancis tampil begitu menawan di babak kedua, terutama Griezmann. Laga baru berjalan tujuh menit, Griezmann menyamakan kedudukan. Pemain bernomor punggung tujuh itu kembali menghidupkan asa Timnas Prancis.
Tak puas dengan hanya mencetak satu gol, Griezmann kembali mencatatkan namanya di papan skor pada menit 61. Menyambut umpan dari Giroud, Griezmann menggandakan kedudukan. Mengakhiri laga dengan skor 2-0, Prancis melaju ke babak perempat final. Di perempat final, Les Bleus sudah ditunggu oleh tim kejutan, Islandia.
Mengalahkan Para Viking
Islandia datang ke Stade de France dengan status kuda hitam. Mereka jadi salah satu tim yang mengejutkan publik bisa melaju sejauh ini. Berbekal skuad seadanya, Islandia bahkan membuat Timnas Inggris yang bertabur bintang angkat kaki di babak 16 besar. Meski demikian, Didier Deschamp pede bisa menaklukan mereka.
Dan benar saja, Prancis berhasil unggul cepat melalui gol Olivier Giroud dan Paul Pogba. Les Blues bahkan mampu mencetak dua gol lagi sebelum turun minum. Islandia bukan tanpa perlawanan. Di babak kedua, mereka mulai menunjukan apa itu semangat viking. Menit 56, akhirnya Kolbeinn Sigthórsson memperkecil keunggulan.
Merespons gol tersebut, Prancis menunjukan dominasinya di hadapan publik sendiri. Olivier Giroud mencetak gol keduanya di laga ini. Tandukan pemain AC Milan itu membuat Gylfi Sigurdsson cs semakin sulit untuk mengejar ketertinggalan. Gol Birkir Bjarnason di menit-menit akhir pun dirasa percuma.
Tim Ayam Jantan berhasil mengakhiri laga dengan skor 5-2. Meski demikian, Islandia tetap mencuri hati para penikmat sepakbola. Mereka telah memberikan warna tersendiri di turnamen kali ini. Apalagi viking clap yang menjadi ciri khas fans Islandia telah tumbuh sebagai fenomena yang menyebar ke seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Taklukan Sang Juara Dunia
Kemenangan atas Islandia membuat Prancis kian dekat dengan gelar juara. Namun, sebelum itu mereka dihadapkan dengan lawan kuat, Jerman. Bisa dibilang ini adalah lawan yang sepadan untuk skuad racikan Didier Deschamp. Karena sebelumnya Prancis hanya melawan tim-tim yang kualitasnya berada di bawah mereka.
Ini jadi pertemuan kesekian bagi kedua tim. Namun tensinya akan jauh berbeda. Prancis jelas mengusung misi balas dendam setelah sempat disingkirkan Jerman di perempat final Piala Dunia 2014. Sementara Jerman ingin membuktikan bahwa mereka tetap jadi yang terbaik di dunia.
Laga berjalan alot. Timnas Prancis tak dibiarkan bergerak dengan lihai oleh skuad racikan Joachim Low. Der Panzer mendominasi laga dengan mencatatkan 68% penguasaan bola. Meski demikian, serangan sporadis dari Les Bleus terlihat lebih efisien ketimbang Jerman. Dominasi Jerman pun runtuh saat Bastian Schweinsteiger tak sengaja menyentuh bola dengan tangannya di area terlarang.
Seperti biasa, Griezmann lah yang menjadi algojo bola mati. Menghadapi Manuel Neuer, kiper terbaik saat itu, Griezmann membawa Timnas Prancis unggul beberapa detik sebelum turun minum. Berbekal keunggulan 1-0, Prancis bermain lebih menunggu. Mesut Ozil cs menggempur pertahanan Prancis.
Alih-alih menyamakan kedudukan, Jerman yang terlalu sibuk menyerang justru kecolongan di menit 72. Memanfaatkan halauan yang tak sempurna dari Neuer, Griezmann yang entah dari mana muncul sebagai mimpi buruk Jerman. Prancis unggul 2-0 dibuatnya. Hingga peluit panjang dibunyikan, Der Panzer tak kunjung mencetak gol. Misi balas dendam pun sukses dan Griezmann jadi pemain terbaik di pertandingan tersebut.
Hasil yang Tak Diharapkan
Melenggang ke final, tim nasional Prancis dan seluruh masyarakat pun merayakannya. Di sisi lain, perayaan dirasa terlalu berlebihan mengingat masih ada satu laga lagi sebelum mereka benar-benar menjadi juara. Federasi sepakbola Prancis bahkan sudah menyiapkan bus parade guna mengarak trofi keliling Kota Paris.
Sinyal juara semakin kuat ketika pemain Prancis tahu bahwa lawan mereka di final adalah Portugal. Para pemain pun kian jumawa lantaran Portugal tak bermain bagus sejak fase grup. Cristiano Ronaldo cs bahkan hanya lolos Grup F melalui jalur peringkat tiga terbaik. Tim yang dikalahkan di semifinal pun hanya Wales, bukan Belgia atau Spanyol.
Namun kejumawaan tersebut justru membawa pilu. Mereka lupa bahwa kesombongan adalah suatu yang dibenci oleh Tuhan. Meski unggul dalam seluruh statistik pertandingan, Prancis kesulitan menjebol gawang Portugal yang dikawal oleh Rui Patricio. 18 tembakan yang tujuh diantaranya menyasar gawang semuanya mampu dimentahkan.
Ronaldo yang sudah ditandu keluar sejak menit 25 pun seakan tak melemahkan kekuatan Portugal sedikit pun. Dimitri Payet cs menemui jalan buntu. Laga yang berakhir dengan skor 0-0 hingga 90 menit waktu normal akhirnya berlanjut ke babak perpanjangan waktu. Dan di sinilah petaka mulai muncul.
Mimpi buruk Prancis itu bernama Eder. Masuk sejak babak kedua, Eder sebetulnya tak begitu mengancam gawang Hugo Lloris. Penyerang jangkung itu bahkan hanya melepaskan dua tembakan dalam 41 menit penampilannya. Namun, tak ada yang menyangka bahwa salah satu dari dua tembakan itu merobek jala Lloris di menit 109.
Seluruh bench pemain Portugal pun tumpah ruah memasuki lapangan. Timnas Prancis menanggung malu di hadapan lebih dari 75 ribu penonton yang hadir di stadion ketika harus menyerah 1-0 oleh Portugal. Mereka tetap gagal meraih trofi EURO sekalipun trofi tersebut sudah berada di Prancis.
Sumber: EURO, The Guardian, ESPN, BBC