Pernah dengar julukan Mr. Runner-Up? Ya, julukan yang sepintas terlihat keren tapi memiliki arti yang buruk itu melekat pada pemain legendaris asal Jerman, Michael Ballack. Di balik banyaknya gelar yang telah diraih, ternyata Ballack dianggap sebagai pemain yang paling sering “nyaris juara”, baik di level klub maupun Internasional.
Kesialan ini ternyata tidak hanya dialami oleh Ballack. Mantan klubnya, yakni Bayer Leverkusen pun layak menyandang julukan yang sama. Bagaimana tidak? Sudah lima kali mereka menjadi runner-up Bundesliga. Bayangkan, lima kali! Lima kali berjuang, lima kali pula tak berjodoh. Tak cuma di Bundesliga saja, Leverkusen juga tercatat pernah jadi runner-up di berbagai kompetisi lain, seperti DFB-Pokal dan Liga Champions.
Dari banyaknya kegagalan yang dialami Bayer Leverkusen, setidaknya ada tiga momen nyaris juara yang paling menyakitkan. Kegagalan tersebut terjadi di musim yang sama, yakni musim 2001/02. Lantas, bagaimana kisah Leverkusen melewati musim yang terkutuk tersebut?
Daftar Isi
Dihantui Kegagalan Musim 1999/00
Rangkaian mimpi buruk Bayer Leverkusen di musim 2001/02 berawal dari dua musim sebelumnya, yakni musim 1999/00. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Bayer Leverkusen memulai musim 1999/00 dengan biasa-biasa saja.
Meski demikian, Bayer Leverkusen yang kala itu ditukangi oleh Christoph Daum jadi tim yang sulit untuk dikalahkan. Pertahanan Leverkusen memang bukan yang terkuat, tapi skuad asuhan Daum selalu punya cara untuk menghindari kekalahan dan memaksa laga berakhir imbang. Bahkan, menjelang akhir musim 1999/00, Die Werkself hanya mengantongi dua kekalahan.
Pada musim 1999/00 Leverkusen benar-benar tampil sebagai penantang gelar Bundesliga. Namun, karena banyaknya hasil imbang yang diperoleh, Leverkusen harus bersaing ketat dengan Bayern Munchen hingga pekan terakhir.
Di hari terakhir, Bayer Leverkusen hanya membutuhkan hasil imbang untuk memastikan gelar juara Bundesliga pertama dalam sejarah. Berhadapan dengan tim semenjana seperti Unterhaching, Die Werkself jelas diunggulkan untuk mengamankan tiga poin dengan mudah.
Sayangnya, pertandingan yang diadakan pada tanggal 20 Mei 2000 berakhir di luar perkiraan belasan ribu penonton yang hadir di stadion. Laga yang harusnya berakhir manis justru jadi mimpi buruk bagi Leverkusen. Skuad asuhan Christoph Daum takluk dengan skor 0-2. Kekalahan ini kian menyakitkan karena salah satu gol yang bersarang di gawang Leverkusen adalah buah dari kesalahan sang bintang, Michael Ballack.
Sementara itu, Bayern Munchen berhasil mengandaskan perlawanan Werder Bremen dengan skor 3-1. Dengan tambahan tiga poin, itu sudah cukup untuk memindahkan perayaan gelar juara yang awalnya di Uhlsport Park ke Olympiastadion, Munich.
Kegagalan Bundesliga Musim 2001/02
Dua musim berselang, bukannya terlepas dari bayang-bayang kegagalan di masa lalu, sindrom runner-up justru masih saja menghinggapi Bayer Leverkusen. Bisa dibilang, malah makin parah. Musim 2001/02 akan selalu dikenang oleh para pendukung Leverkusen sebagai musim yang paling mengenaskan.
Bayer Leverkusen mengawali musim 2001/02 dengan pergantian kursi kepelatihan. Kehadiran Klaus Toppmoller diharapkan membawa angin segar bagi tim. Namun, Toppmoller bukanlah pelatih dengan CV menterang yang biasa membawa timnya meraih kejayaan. Pelatih asal Jerman itu cuma pelatih medioker yang sebelumnya sempat menukangi VfL Bochum.
Walaupun berstatus pelatih minim prestasi, Toppmoller yang dibekali dengan skuad yang kompetitif berhasil memberikan kesan positif di awal musim. Pelatih yang kini sudah berusia 72 tahun itu mampu meningkatkan performa Bayer Leverkusen. Toppmoller membawa Leverkusen mengarungi 14 pertandingan tanpa menelan satu pun kekalahan.
Bahkan tak jarang Leverkusen dibuat menang dengan skor telak. Contohnya saat menaklukan Freiburg, Stuttgart, dan Hamburg dengan skor identik, 4-1. Rangkaian hasil positif ini jadi awal yang amat baik untuk kembali merajut asa menjuarai Bundesliga musim 2001/02.
Skuad Bayer Leverkusen kala itu pun berisikan pemain-pemain yang memiliki kualitas jauh lebih baik dari sebelumnya. Pemain dengan kualitas mumpuni menghiasi setiap lini. Namun, yang paling bikin tim lawan ketar-ketir adalah lini depannya. Kala itu ada Oliver Neuville, Dimitar Berbatov, dan top skor sepanjang masa Leverkusen, Ulf Kirsten. Tak heran apabila Leverkusen diunggulkan di Bundesliga musim tersebut.
Ketikung Borussia Dortmund
Sialnya, di saat harapan yang mulai membumbung tinggi, skuad racikan Klauss Toppmoller mulai lengah. Superioritas Bayer Leverkusen justru mulai menurun di pertengahan musim. Performa Leverkusen anjlok di spieltag 15 di mana kekalahan demi kekalahan mulai menyapa Dimitar Berbatov dan kawan-kawan.
Werder Bremen jadi tim pertama yang merusak mimpi Leverkusen. Saat berkunjung ke Weserstadion, Die Werkself terpuruk dalam kekalahan 2-1. Hasil buruk inilah yang menghentikan momentum Bayer Leverkusen. Kekalahan-kekalahan lain mulai tak bisa dihindari.
Alhasil, pada pekan ke-21, puncak klasemen Bundesliga pun berpindah tangan ke Borussia Dortmund. Die Werkself yang tadinya leha-leha di puncak, tak sadar bahwa poinnya mulai tersusul. Saat itu, Leverkusen tertinggal empat poin dari Die Borussen setelah mencatatkan lima kekalahan di tujuh pertandingan terakhir sepanjang musim dingin.
Tren kekalahan Leverkusen baru terhenti di pekan ke-22 kala membantai Borussia Monchengladbach lima gol tanpa balas. Die Werkself lantas dihadapkan ujian berat dua spieltag berikutnya. BayArena, markas Bayer Leverkusen kedatangan Borussia Dortmund selaku pemuncak klasemen sementara.
Kekalahan sudah pasti akan menjauhkan mereka dari puncak klasemen. Sementara kemenangan akan membuat harapan Leverkusen untuk merengkuh trofi Bundesliga kembali terbuka. Cobaan pun dilewati dengan sempurna. BayArena seketika bergetar kala Dimitar Berbatov, Michael Ballack, Carsten Ramelow, dan Oliver Neuville silih berganti menjebol gawang Jens Lehmann.
Kemenangan 4-0 membuat Leverkusen kembali merebut puncak klasemen yang seharusnya memang jadi milik mereka. Selepas laga, Klaus Toppmoller pun mulai sombong. Ia berkelakar bahwa kekalahan-kekalahan sebelumnya hanya sebuah angin lalu. Itu bisa segera teratasi dengan perbaikan kecil. Nahas, ketika bibirnya belum kering, Leverkusen malah kembali goyah.
Alih-alih menyapu bersih dengan kemenangan, Die Werkself justru kalah dua kali di tiga pertandingan terakhir musim 2001/02. Momen tersebut tak disia-siakan oleh Borussia Dortmund. Mereka mengamankan poin penuh di tiga pertandingan akhir. Upaya Leverkusen untuk meraih gelar pertamanya pun kandas. Dortmund berhasil menyalip di menit-menit akhir. Satu poin jadi pembeda nasib antara Leverkusen dan gelar juara.
Plot Twist di DFB Pokal
Ketidakberuntungan tersebut menjalar ke kompetisi lain, tak terkecuali DFB Pokal musim 2001/02. Kronologinya hampir sama, Dewi Fortuna memberikan kemenangan beruntun kepada skuad racikan Klaus Toppmoller. Tak ada kesulitan yang menghambat laju Leverkusen di setiap ronde kompetisi tersebut. Semuanya tampak mulus-mulus saja seakan gelar DFB Pokal memang ditakdirkan untuk mereka.
Sukses meredam perlawanan para pesaingnya sejak ronde pertama seperti Jans Regensburg, VfL Bochum, Hannover, TSV 1860 Munchen, hingga FC Koln di semifinal, membuat anak asuh Klaus Toppmoller melenggang ke partai puncak dengan kepala tegak. Sementara itu, di laga final mereka sudah ditunggu oleh Schalke.
Sayangnya, jatah keberuntungan mereka sudah habis. Itu ditandai dengan pengambilan keputusan yang aneh dari sang pelatih. Di laga sepenting itu, Toppmoller justru bereksperimen dengan menggunakan skema 4-1-4-1. Padahal sebelumnya Leverkusen sukses melibas lawan-lawannya dengan skema 4-4-2.
Memainkan sistem di luar kebiasaan, Bayer Leverkusen pun takluk dengan skor 4-2. Sempat unggul lebih dulu melalui sepakan kaki kanan Dimitar Berbatov, Schalke membalas empat gol sekaligus. Gol Ulf Kirsten di menit-menit akhir dirasa terlambat. Mental pemain Leverkusen sudah keburu hancur. Dengan tatapan kosong, punggawa Leverkusen kembali merelakan gelar juara yang sudah di depan mata.
Giant Killer di Liga Champions
Jika kalian mengira bahwa penderitaan Bayer Leverkusen telah usai, itu salah. Puncak dari rasa sakit ini terjadi di Liga Champions musim 2001/02. Di saat Leverkusen mengira bahwa trofi Liga Champions akan menjadi pelipur lara setelah dua kegagalan yang menyedihkan, mereka seketika sadar. Bahwa ada yang aneh dalam perjalanan mereka di UCL.
Di awal 2000-an Liga Champions masih menggunakan format yang lama, di mana Bayer Leverkusen harus melewati dua tahap penyisihan grup. Berstatus sebagai tim yang tak diunggulkan, Leverkusen kebagian lawan yang cukup berat. Barcelona, Lyon, dan jagoan dari Turki, Fenerbahce jadi tiga lawan Leverkusen di Grup F.
Diprediksi hanya akan finis di urutan ketiga di bawah Barcelona dan Lyon, Bayer Leverkusen justru berhasil finis di urutan kedua Grup F. Dari enam pertandingan yang dimainkan, Leverkusen hanya kalah dua kali. Dalam prosesnya, tim yang didirikan pada tahun 1904 itu sempat sekali menaklukan Barcelona dan Lyon.
Kegemilangan Leverkusen terus berlanjut di babak penyisihan grup kedua. Meski kembali dihadapkan dengan hasil drawing yang sulit, keberuntungan masih berpihak pada Ze Roberto cs. Leverkusen berhasil lolos dengan status juara grup. Mereka melangkahi Deportivo La Coruna, Arsenal, dan Juventus untuk menantang Liverpool di babak perempat final.
Di leg pertama, Leverkusen lebih dulu bertandang ke Inggris. Hasilnya? Kurang memuaskan. Gol semata wayang Sami Hyypia jelang turun minum membuat Leverkusen pulang dengan tangan kosong. Beruntungnya, margin gol yang harus dikejar tak begitu jauh. Ini bisa jadi pelecut semangat bagi para punggawa Leverkusen di leg kedua.
Di BayArena, Leverkusen tampil kesetanan. Bermain di hadapan puluhan ribu fans yang hadir, Leverkusen melakukan comeback yang menakjubkan. Gol Ballack di babak pertama telah mengembalikan rasa percaya bahwa asa itu masih ada. Meski sempat dibalas oleh Abel Xavier dan Jari Litmanen, Leverkusen tak gentar. Tambahan tiga gol lagi dari Ballack, Berba, dan Lucio membungkam perlawanan The Reds. Leverkusen pun lolos ke semifinal dengan agregat 4-3.
Tapi Takluk di Tangan Pawang UCL
Usai memulangkan Liverpool, Bayer Leverkusen jadi tim underdog yang ditakuti. Tim-tim lain mulai mewaspadai ancaman model apa yang akan ditunjukan oleh mereka. Itulah yang dilakukan oleh Manchester United kala menghadapi Leverkusen di babak semifinal Liga Champions 2001/02. United bermain sangat hati-hati. Mereka tak mau salah mengambil langkah.
Namun, bagaimanapun United berhati-hati, Leverkusen terlampau cerdik dalam memanfaatkan situasi. Berstatus sebagai juara bertahan Liga Inggris, United asuhan Sir Alex Ferguson bak seorang bocah yang sedang dipermainkan. Ketika United berhasil menjebol gawang Hans Jorg Butt, tak lama kemudian Leverkusen pun membalas gol tersebut. Begitu terus hingga berakhirnya dua kali 90 menit.
Dengan agregat 3-3, Bayer Leverkusen berhak menghadapi Real Madrid di laga puncak lantaran unggul agresivitas gol tandang. Laga final ini jadi laga yang berat bagi seluruh punggawa tim. Itu karena pertandingan yang dimainkan di Glasgow, Skotlandia tersebut hanya berjarak empat hari dari kegagalan Leverkusen di final DFB Pokal.
Die Werkself tak punya banyak waktu untuk meratap. Siap atau tidak, mereka harus melakoni laga hidup dan mati melawan Los Merengues yang kala itu baru merampungkan proyek Galacticos jilid pertama.
Real Madrid jelas lebih termotivasi di laga final ini. Selain datang sebagai juara bertahan La Liga, Madrid berambisi untuk meraih gelar UCL kesembilan mereka di musim tersebut. Dan benar saja, belum genap sepuluh menit laga berjalan, Los Merengues sudah unggul melalui gol Raul.
Leverkusen pun tak tinggal diam. Meski bermain sebagai bek, Lucio menanduk bola hasil tendangan bebas yang terukur dari Bernd Schneider. Larut dalam atmosfer yang mulai menggila, Lucio pun menunjukan kaos yang bertuliskan “Jesus love you”. Itu adalah sebuah tanda. Bek asal Brazil itu ingin menunjukan bahwa ia berjuang di lapangan mengatasnamakan Tuhan.
Sayangnya, Tuhan lagi-lagi tak berpihak pada Bayer Leverkusen. Gol Lucio di menit 14 menjadi tak berarti ketika Zinedine Zidane mencetak sebuah gol spektakuler dengan sepakan voli kaki kiri tepat sebelum turun minum. Gol yang masih dibicarakan hingga sekarang itu pun jadi gol terakhir yang tercipta di malam itu. Leverkusen kembali gagal meraih gelar juara untuk ketiga kalinya musim 2001/02.
Saat peluit panjang dibunyikan, para pemain dan pendukung Bayer Leverkusen hanya bisa termenung. Hujan di Hampden Park memang menyamarkan tangis mereka. Tapi hujan badai sekalipun tak akan pernah bisa menutup rasa kecewa yang dirasakan. Sambil menatap langit, punggawa Bayer Leverkusen mungkin bertanya-tanya “Apa dosa kami?”
Sumber: Bayer04, FFT, These Football Times, Independent