Keberhasilan Public Investment Fund (PIF) mengakuisisi Newcastle United pada Oktober 2021 merupakan hari yang menggembirakan untuk fans The Magpies. Bagaimana tidak? Selain berhasil menendang owner problematik, Mike Ashley, masuknya PIF dengan uang tak terbatas yang mereka miliki memberi angin segar untuk masa depan The Magpies.
Namun, bukannya menjadi klub yang royal dan berprestasi, progres Newcastle United malah terasa jalan di tempat. Gagal lolos ke Champions League, kesulitan merekrut pemain baru, hingga isu dianaktirikan PIF menjadi masalah yang kini melanda The Magpies. Lantas, apa sih yang sebenarnya terjadi pada Newcastle United?
Kegagalan Demi Kegagalan Newcastle United
PIF masuk ke Newcastle dengan membawa janji manis mengubah The Magpies menjadi klub elit di Eropa. Wajar dong, dengan sumber daya yang mereka miliki, rasanya janji PIF tersebut tak terasa muluk-muluk.
Terlebih apabila berkaca dengan apa yang sudah terjadi di Eropa, hal tersebut bagaikan oasis di tengah padang pasir bagi fans The Magpies. Mereka sudah kehausan di tengah situasi yang gersang nan tandus, kok ketemu sedanau air, ya seger!
Lihat saja apa yang terjadi pada Manchester City dan Paris Saint-Germain. Mereka yang sebelumnya cuma klub biasa dengan dana ala kadarnya berubah menjadi klub kaya raya bertabur bintang. Yang paling penting, prestasi pun mulai berdatangan. Tak cuma prestasi kelas nasional, tapi juga internasional. Masuk final Champions League bukan lagi mimpi, apalagi juara seperti Manchester City.
Janji manis tersebut memang terlihat sangat meyakinkan di awal. Pada musim 2022/23, musim pertama PIF bisa mengontrol transfer dan perencanaan tim, mereka jor-joran membeli pemain-pemain top. Alexander Isak, Anthony Gordon, Sven Botman, Matt Targett, dan Nick Pope mereka datangkan dengan mahar kurang lebih 181,6 juta euro (Rp 3,13 triliun).
Mereka pun finis di posisi keempat dan berhak berlaga di Champions League 2023/24. Pada titik ini, mayoritas fans sepak bola tentu menganggap bahwa niat PIF bukan sekadar bualan, apalagi bagi fans The Magpies, mereka bagai terbang ke awan.
Sandro Tonali dan 3 pemuda berbakat: Harvey Barnes, Tino Livramento, dan Yankuba Minteh, mereka datangkan pada musim panas 2023. Semua demi Newcastle United berprestasi di Eropa. Namun sial, bukan prestasi yang mereka dapat, malah bibit-bibit masalah yang tumbuh merambat.
Dimulai dari kasus judi yang menimpa Sandro Tonali, Newcastle pun terseok-seok di Eropa. The Magpies gagal keluar dari fase grup. Jadi juru kunci. Bahkan mereka lebih rendah dari klub yang tak kalah morak-marik dalam dan luar lapangan, AC Milan.
Kedalaman skuad mereka tampak rapuh. Paruh kedua 2023/24, performa mereka terjun bebas. Kalah 6 dari 7 laga menunjukkan adanya masalah pada tim. Badai cedera melanda sehingga FA Cup dan Piala Liga pun tak mampu mereka gapai.
Gongnya baru terjadi di akhir musim. Meski mereka berhasil bersaing dengan Manchester United dalam perebutan posisi ketujuh, mereka tetap gagal lolos ke Eropa. Sebab, pada ajang FA Cup, Manchester United ternyata keluar sebagai juara. Bayangkan saja, seburuk apa tim ini kok sampai dipecundangi sama klub problematik seperti Manchester United.
Sementara di musim panas 2024, Newcastle United terseok-seok di bursa transfer setelah dua edisi sebelumnya tampil gegap gempita. Mereka kesulitan membeli seorang Marc Guehi yang dibandrol sekitar 82 juta euro (Rp 1,4 triliun) oleh Crystal Palace.
Sampai-sampai mereka dikabarkan mengincar Jayden Oosterwolde yang dibandrol sekitar 24 juta euro (Rp 413,8 miliar) oleh Fenerbahce sebagai alternatif. Itu pun mereka masih harus menjual pemain potensial seperti Elliot Anderson dan Yankuba Minteh untuk tambahan dana di bursa transfer.
Sungguh miris, padahal dulu Newcastle sangat jor-joran, tapi kini malah gali lubang tutup lubang. Bahkan, terancam jadi klub yang harus kejar setoran.
A brilliant fightback on the night 👏
Our European adventure continues in the Europa League 🔜#NEWACM #UCL #SempreMilan pic.twitter.com/cilvm7TNXS
— AC Milan (@acmilan) December 13, 2023
PIF Sedang Bangun “IKN” Piala Dunia 2034
Salah satu sebab yang membuat Newcastle tak lagi tampil trengginas di bursa transfer adalah berpindahnya fokus PIF dari Newcastle United ke proyek strategis dalam negeri mereka sendiri. Arab Saudi sebagai negara induk PIF sedang punya proyek semacam “IKN”. Mereka sedang membangun sebuah kota baru dan sekitar 11 stadion baru untuk Piala Dunia 2034.
Meski saham PIF di Newcastle naik menjadi 85% sejak kepergian Amanda Staveley dan Mehrdad Ghodoussi pada Juli 2024 lalu, PIF malah tak terlalu memperhatikan urusan The Magpies di bursa transfer kali ini. Sebagai BUMN Arab Saudi, akan sangat wajar apabila PIF lebih mementingkan uangnya untuk pembangunan dalam negeri, alih-alih mendanai The Magpies yang angin-anginan.
Bisa dibilang, musim ini Newcastle United diperlakukan layaknya anak tiri. Urusan mereka dinomorduakan oleh PIF. Tapi begitulah nasib sebagai tim BUMN, The Magpies secara tak langsung harus tunduk pada tuannya, Arab Saudi. Kalau tidak mau tunduk, bukan tidak mungkin 85% dana yang digelontorkan Arab Saudi akan direnggut dari mereka. Newcastle akan menjadi tim pesakitan.
Imagine the future with us in 2034! 💚
The #Saudi2034bid invites the world to join us on our journey of remarkable transformation as the home of global sport 🇸🇦 ⚽
Discover more: https://t.co/x8yAKWCwGE#GrowingTogether pic.twitter.com/Z90GfWK2Yg
— Saudi Arabia FIFA World Cup™️ 2034 bid (@Saudi2034bid) July 31, 2024
Newcastle United Bakal Jadi Sapi Perah?
Pada awal Agustus 2024, terdengar kabar bahwa PIF telah bertemu dengan 777 Partners untuk merealisasikan niatnya membangun sebuah franchise sepak bola layaknya City Football Group (CFG). Nantinya, proyek ini akan menjadikan Newcastle United sebagai seorang kakak dari adik-adik yang akan PIF adopsi ke dalam payung keluarga Arab Saudi.
Give Me Sport menyebutkan bahwa PIF dan 777 Partners telah berdiskusi soal kemungkinan pembelian klub Prancis, Red Star FC dan klub Belgia, Standard Liege. 777 Partners sendiri merupakan pemilik Genoa, Hertha Berlin, dan Vasco da Gama. Tak hanya itu, 777 Partners juga memiliki saham minoritas di Sevilla dan Melbourne Victory.
Tak hanya klub-klub tadi, PIF juga dikabarkan berniat untuk mengakuisisi klub fenomenal yang baru bangkrut, Girondins Bordeaux. PIF juga disebutkan sedang melakukan pendekatan formal untuk membeli sebagian saham AS Monaco.
Arab Saudi sepertinya akan membayar 67% kepemilikan Dmitry Rybolovlev yang memang sedang dijual. Namun, PIF tak akan bisa membeli AS Monaco 100%, sebab keluarga Kerajaan Monaco sebagai tuan tanah harus tetap memiliki jatah di klub berwarna merah putih tersebut.
Niat PIF mendirikan franchise menunjukkan bahwa mereka sedang benar-benar membutuhkan uang. Kelihatannya mereka sedang mencoba membangun mesin uang yang bisa digunakan untuk membantu pendanaan pembangunan proyek penunjang Piala Dunia 2034. Newcastle adalah salah satunya.
Ini bisa jadi kabar buruk bagi seluruh fans The Magpies. Impian mereka untuk menjadi klub royal dengan segudang prestasi sepertinya masih harus disimpan lagi. Mereka lebih dekat dengan kemungkinan menjadi sapi perah ketimbang menjadi juara dan mencetak sejarah.
Kenyataan tampak masih jauh dari impian. Niat hati bisa sepuasnya jor-joran, The Magpies malah terancam jadi klub yang kejar setoran.
🚨 PIF are moving ahead with plans to make Newcastle United part of a multi-club model and are engaged in talks with 777 Partners about acquiring clubs from them.
Meetings have taken place, with Red Star (France) and Standard Liege (Belgium) both discussed.#NUFC Via @JacobsBen pic.twitter.com/KPqNSIl1ti
— 𝗠𝗼𝘂𝘁𝗵 𝗼𝗳 𝘁𝗵𝗲 𝗧𝘆𝗻𝗲 #NUFC (@ToonMouthTyne) August 1, 2024
https://youtu.be/aXAIWwbxpRs
Sumber: The Guardian, Transfermarkt, Football365, Arab News, Parametric Architecture, dan Give Me Sport