Dulu Ditakuti, Sekarang Merana! Apa yang Terjadi dengan Wakil Italia di Eropa?

spot_img

Siapa yang masih ingat kapan terakhir wakil Italia menjuarai UCL? Ya, sudah 15 tahun silam, sejak Inter berpesta di Santiago Bernabeu. Sudah terlalu lama tim negeri pizza rindu mengangkat trofi si kuping besar.

Untungnya, beberapa wakil Italia seperti AS Roma maupun Atalanta mampu mengobati kerinduan trofi wakil italia, meski hanya di pentas Europa League maupun Conference League.

Namun hal itu saja tampaknya tidak cukup. Apalagi kalau melihat perjalanannya termasuk di musim ini. Lihat saja nasib wakil Italia di ajang eropa musim ini. Mereka makin merana. Lantas, kenapa bisa itu terjadi?

Catatan Wakil Italia

Musim 2022/23, adalah musim yang dianggap sebagai kebangkitan wakil Italia di ajang Eropa. Bagaimana tidak? Tiga tim sekaligus bercokol di tiga final berbeda. Inter Milan di UCL, AS Roma UEL, serta Fiorentina di UECL.

Namun sayang seribu sayang, dari ketiga wakil tersebut tak satupun meraih mahkota. Fenomena seperti musim 2022/23, pastinya sudah dirindukan oleh publik sepakbola Italia. Peluang terjadinya fenomena tersebut pun sebenarnya terbuka di musim ini.

Lihat saja di UCL, Italia berhasil mengirimkan lima wakilnya, yakni Inter, AC Milan, Juventus, Bologna dan Atalanta. Sementara di Europa League ada duo ibukota AS Roma dan Lazio. Lalu di Conference League ada Fiorentina.

Berguguran

Namun harapan terjadinya fenomena seperti musim 2022/23, hanya tinggal mimpi. Sebab, satu per satu wakil dari negeri pizza berguguran di berbagai ajang. Di UCL, wakil Italia tinggal tersisa satu, yakni Inter yang berhasil melaju ke perempat final.

Tim sekota Inter, yakin AC Milan secara mengejutkan bertekuk lutut dari wakil Belanda, Feyenoord di babak playoff 16 besar. Begitu pula Atalanta, sang juara Europa League musim lalu itu, dipermalukan wakil Belgia, Club Brugge di babak playoff 16 besar.

Sementara itu Bologna, sebagai tim pendatang baru di UCL, terlihat tertatih-tatih di babak grup. Rossoblu terlihat “newbie” dan belum siap menghadapi ketatnya persaingan di level UCL. Mereka hanya mampu mengoleksi enam poin saja di fase grup.

Sama seperti di UCL, di UEL kini juga hanya tersisa Lazio. Lazio ini patut dibanggakan Italia. Mereka sukses menjadi pemuncak grup UEL musim ini, dan lolos ke perempat final. Sayang, keperkasaan Biancocelesti itu tak diikuti tim sekota AS Roma. Serigala ibukota justru tersungkur setelah disingkirkan wakil Spanyol, Athletic Bilbao di babak playoff 16 besar. Sementara itu di Conference League, Fiorentina masih menjadi harapan satu-satunya Italia. Mereka masih bertahan setelah dengan susah payah lolos ke babak perempat final.

Perubahan Pelatih

Melihat fenomena bergugurannya wakil Italia, bisa dilihat dari berbagai faktor. Terutama faktor perubahan yang banyak terjadi dalam klub. Perubahan yang terjadi meliputi pelatih maupun pemain, yang berpengaruh pada performa yang inkonsisten.

Kita lihat dari faktor perubahan pelatih. Tim seperti Bologna, AC Milan, AS Roma, Juventus, mengalami perubahan pelatih. Bologna yang baru mencicipi UCL lagi setelah 60 tahun absen, mengalami pergantian pelatih dari Thiago Motta ke Vincenzo Italiano. Meski Vincenzo Italiano punya rekam jejak yang apik di Fiorentina, ia belum punya pengalaman yang cukup untuk berlaga di sengitnya persaingan UCL.

Begitupun AC Milan. Sudah lama tertanam gaya permainan ala Stefano Pioli, lalu tiba-tiba berganti pelatih ke Paulo Fonseca lalu Sergio Conceicao. Meski gaya permainannya hampir mirip, mereka berdua belum cukup punya pengalaman menangani tim sebesar Rossoneri.

Lalu Juventus, pergantian pelatih dari Allegri ke Thiago Motta ternyata tak seperti yang diharapkan. Motta yang diharapkan bisa merevolusi permainan Si Nyonya Tua agar lebih atraktif dan menyerang, eh…malah jadi bumerang. Jika boleh membandingkan, lebih mendingan Allegri. Meski sering buat kesal fans dengan taktik sangkar burungnya, namun lihat.. dua kali Bianconeri diantarkannya masuk final UCL.

Prahara pergantian pelatih juga terjadi di tim ibu kota AS Roma. Giallorossi yang berjaya di Eropa berkat tangan dingin Jose Mourinho, tiba-tiba beralih ke tangan Daniele De Rossi. Lalu, bukannya De Rossi dipertahankan agar konsisten, eh.. malah diganti lagi. Musim ini, Giallorossi hobi gonta-ganti pelatih, dari De Rossi, Ivan Juric, dan kini Claudio Ranieri.

Perubahan Pemain

Pergantian pelatih otomatis akan banyak mempengaruhi skuad. Setiap pelatih yang datang, pasti punya selera pemain yang berbeda. Terkadang dari perubahan tersebut memerlukan fase adaptasi tersendiri yang tak bisa instan.

Lihat saja Bologna, ketika kehilangan pemain kunci seperti Joshua Zirkzee dan Ricardo Calafiori, mereka seketika oleng. Penggantinya seperti Emil Holm maupun Thijs Dalinga, terlihat belum sepadan.

Lalu Juventus, sudah berapa banyak pemain mereka yang berganti musim ini? Sebagian besar punggawa mereka berganti di era Thiago Motta. Alih-alih berkontribusi, justru banyak pemain yang didatangkan Motta belum menunjukan tajinya. Sebut saja seperti Douglas Luiz, Lloyd Kelly, maupun Teun Koopmeiners. Apesnya, justru pemain yang dilepas mereka seperti Moise Kean dan Nicolo Fagioli, kini jadi gacor bersama Fiorentina.

Sama halnya dengan Si Nyonya Tua, AC Milan juga banyak mengubah komposisi pemain musim ini di bawah Paulo Fonseca dan Sergio Conceicao. Bayangkan saja, di era dua pelatih tersebut sudah banyak sekali terjadi bongkar pasang pemain. Misalnya saja, pemain yang didatangkan Fonseca seperti Alvaro Morata, justru didepak ketika Sergio Conceicao datang.

Kondisi di AC Milan itu juga mirip di AS Roma. Selera pemain De Rossi tak sama dengan selera Juric maupun Ranieri. Misal saja, Ranieri lebih suka memakai bek tengah seperti Matt Hummels dibanding Hermoso. Ia juga lebih menyukai bek kanan seperti Devyne Rensch ketimbang Zeki Celik atau Saud Abdulhamid.

Konflik Internal

Selain perubahan pelatih dan pemain, faktor konflik juga menjadi penyebab beberapa klub Italia berguguran di ajang Eropa. Di Juventus, Thiago Motta terus didesak untuk mundur berkat hasil minor di level domestik. Ruang ganti Si Nyonya Tua juga masih diselimuti awan gelap, ketika terkuak kabar dari media Il Corriere Della Sera, bahwa ada beberapa pemain yang frustrasi karena terus dikecam Thiago Motta.

Konflik antara pelatih dan pemain juga terjadi di AC Milan. Beberapa pemain andalan seperti Theo Hernandez, dikabarkan tidak suka gaya melatih Sergio Conceicao. Konflik Sergio Conceicao dengan Theo Hernandez pun akhirnya memuncak ketika tragedi kartu merah Theo Hernandez saat melawan Feyenoord.

Oh iya, jangan lupakan juga kegagalan Atalanta. La Dea juga diselimuti konflik internal. Pemain yang menggendong musim lalu, Ademola Lookman terlibat perselisihan hebat dengan Gasperini soal transfer. Puncaknya, yakni ketika mereka adu argumen setelah kegagalan penalti Lookman saat melawan Club Brugge.

Koefisien dan Peluang Menyelamatkan

Kandasnya wakil Italia berimbas pada peringkat koefisien UEFA. Sebab, peringkat koefisien UEFA inilah yang akan membuat Serie A kembali bisa mengirimkan lima wakilnya di UCL musim depan.

Serie A kini berada di posisi ketiga koefisien UEFA dengan poin 19.937, di bawah La Liga (21.678), dan Premier League (24.250). Serie A harus menyalip La Liga guna mendapatkan dua besar koefisien UEFA agar meraih jatah kuota lima klub di UCL musim depan. Lalu bagaimana caranya?

Salah satunya yakni, Inter menjadi juara UCL. Hmmm… berat sih memang. Tak hanya itu saja, publik sepakbola Italia juga berharap agar wakil Spanyol tak menjuarai ajang UEL atau UECL. Syukur-syukur, Lazio dan Fiorentina yang bisa menjuarai UEL dan UECL. Kalau itu bisa terjadi, selain bisa membuat Serie A meraih jatah lima kuota di UCL, muka Italia di kancah Eropa juga bisa terselamatkan.

Sumber Referensi : tntsports, cultofcalcio, footballitalia, onefootball

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru